Enam perusahaan tambang batu bara terbesar belum melaporkan emisi gas metana mereka | INSIDER

Enam dari 10 perusahaan batubara terbesar di Indonesia belum melaporkan emisi metana tambang batubara (CMM) dari kegiatan produksinya, yang secara signifikan mengindikasikan bahwa dampak lingkungan dari penambangan batubara tidak dihitung secara komprehensif dan dengan demikian menghilangkan peluang penting untuk dekarbonisasi mengingat gas metana memiliki efek pemanasan 30 kali lebih banyak daripada CO2.

Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru EMBER yang berjudul: “Risiko mengabaikan gas metana dalam penambangan batu bara. Keenam perusahaan tersebut adalah PT Berau Coal, PT Bumi Resources, PT Adaro Energy, PT Bayan Resource, PT Baramulti Suksessarana, dan PT ABM Investama. Emisi metana tambang batu bara yang tidak dilaporkan oleh keenam perusahaan tersebut dapat memiliki signifikansi yang sama dengan emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dan konsumsi listrik untuk penambangan.

EMBER adalah lembaga pemikir independen dan nirlaba tentang iklim dan energi dengan tujuan untuk mempercepat transisi energi bersih dengan data dan analisis. EMBER menggunakan penelitian terbaru berdasarkan data untuk mendorong kebijakan yang mendukung sistem kelistrikan bersih.

Sementara itu, empat perusahaan tambang batu bara terbesar yang telah memasukkan gas metana tambang batu bara dalam inventarisasi emisinya adalah PT Indo Tambangraya Megah, PT Bukit Asam, PT Golden Energy Mines, dan PT Indika Energy. Namun, perbedaan intensitas gas metana mereka tujuh kali lebih besar antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Selain itu, perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan informasi rinci yang menjadi dasar perbedaan intensitasnya.

Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi di EMBER Indonesia, mengatakan beberapa perusahaan batubara terbesar di Indonesia telah mulai mengurangi emisi melalui berbagai langkah dekarbonisasi seperti komitmen untuk mencapai emisi nol bersih dan mengembangkan bisnis energi hijau.

“Namun, sebagian besar belum memberikan perhatian yang signifikan terhadap dampak emisi gas metana tambang batu bara dan upaya penanganannya. Pengukuran dan pelaporan emisi gas metana merupakan langkah krusial dalam upaya dekarbonisasi tambang batu bara dan penyelarasannya dengan standar nasional dan internasional,” kata Dody dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 30 Juli 2024.

Laporan EMBER menyebutkan pengembangan inventaris gas rumah kaca yang komprehensif termasuk metana yang mudah menguap akan membantu perusahaan-perusahaan ini memahami emisi mereka dan merancang strategi mitigasi yang efektif. Sementara emisi metana yang tidak dilaporkan berisiko merusak upaya dekarbonisasi perusahaan-perusahaan batu bara dan menghambat komitmen Indonesia dalam Ikrar Metana Global.

Secara keseluruhan, EMBER memperkirakan emisi CMM dari 10 perusahaan batu bara terbesar di Indonesia lebih dari 8 juta ton CO2 atau sepertiga dari total potensi emisi perusahaan tersebut. Kesepuluh perusahaan tersebut berkontribusi terhadap setengah dari total produksi batu bara Indonesia.

Dengan risiko produksi batu bara yang berlebihan tahun ini, catatan emisi CMM menjadi lebih penting. Pemerintah telah menyetujui produksi batu bara tahun 2024 sebesar 992 juta ton, jauh lebih banyak dari kuota yang ditetapkan tahun sebelumnya sebesar 710 juta ton. Padahal, permintaan batu bara domestik saat ini sedang menurun dan berbagai proyeksi permintaan memengaruhi importir besar. Oleh karena itu, laporan EMBER menekankan pentingnya kebijakan yang mengintegrasikan keberlanjutan dalam industri batu bara.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menilai laporan EMBER ini cukup penting dan memiliki landasan untuk menyampaikan fakta bahwa sektor pertambangan khususnya batubara memiliki potensi besar sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca di samping pemanfaatannya untuk pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

“Laporan ini dapat menjadi rekomendasi awal bagi pemerintah dan pelaku usaha pertambangan untuk lebih berkontribusi dalam mencapai net zero emission. Terlebih lagi, Indonesia sebagai pelaksana Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) melalui Standar EITI 2023, perusahaan tambang migas, batubara, dan mineral dapat didorong untuk membuka data emisi,” kata Aryanto.

Sumber