Dari fleksibel hingga hemat: Gen Z menolak konsumsi berlebihan

Di antara produk-produk yang sarat “gudang pagi” video dan perolehan Piala Stanley, Anda akan menemukan tren internet baru yang menjadi viral di seluruh Barat.

Ini bukan tren konsumsi biasa. Alih-alih menjual produk, gaya hidup, atau estetika, tren ini justru melakukan hal sebaliknya.

“Underconsumption-core” menjadi tren daring karena para kreator konten meromantisir gaya hidup yang sederhana. Berakar pada kesederhanaan dan memaksimalkan manfaat barang-barang yang ada, tren ini melawan budaya fleksibel konsumsi massal.

Di TikTok, ada lebih dari 47,1 juta unggahan (pada saat artikel ini ditulis) yang didedikasikan untuk “inti konsumsi rendah.” Klip-klip menunjukkan orang-orang menggunakan kembali toples kaca, mengikuti rutinitas perawatan kulit minimal, menggunakan riasan hingga mengenai wajan, memiliki furnitur bekas, dan mengenakan sepatu kets yang sama setiap hari.

Filosofi antimaterialis ini telah menyebar ke Tiongkok. Di media sosial Xiaohongshu, tagar seperti #minimalismlife (#极简生活) dan #lowdesirelife – yang dibandingkan dengan “underconsumption-core” – telah ditonton puluhan juta kali seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang beralih ke gaya hidup yang lebih sadar dan sederhana. Seperti di TikTok, video-video ini sering kali menunjukkan para kreator berbagi kiat tentang cara menghemat uang, menggunakan kembali produk yang sudah ada, dan hanya membeli apa yang mereka butuhkan.

“Meningkatnya tren ‘underconsumption-core’ dan ‘low desire lifestyle’ di kalangan Gen Z Tiongkok mencerminkan adanya pergeseran nilai-nilai konsumen,” ujar Olivia Plotnick, pakar media sosial Tiongkok dan pendiri Wai Social Jing Harian“Generasi ini mendefinisikan ulang kesuksesan dan kepuasan, menjauh dari konsumsi berlebihan menuju kehidupan yang lebih sadar dan berdasarkan pengalaman.”

Bukanlah suatu kebetulan bahwa wacana konsumerisme sadar semakin populer di dunia maya. Gerakan ini muncul di tengah pusaran volatilitas ekonomi, ketegangan geopolitik, dan meningkatnya masalah lingkungan di seluruh dunia.

Penurunan belanja diskresioner baru-baru ini, ditambah dengan meningkatnya angka pengangguran di kalangan pemuda di negara tersebut, juga mempercepat tren di Tiongkok. Menurut Jurnal Wall StreetAngka pengangguran Gen Z naik ke rekor tertinggi sebesar 21,3% pada tahun 2023. Pada bulan Juni tahun ini, angka pengangguran berada di angka 13,2%.

“Kita menyaksikan konvergensi faktor-faktor yang mendorong perubahan ini,” imbuh Plotnick, seraya menunjuk pada meningkatnya kesadaran konsumen Tiongkok terhadap isu-isu lingkungan dan preferensi terhadap produk-produk khusus dibanding logo-logo yang mencolok.

Di tengah gejolak sosial ekonomi negara ini, netizen yang sadar budaya ini mempelopori tren gaya hidup baru, termasuk “berbaring datar“,” “biarkan membusuk“,” “kemiskinan yang luar biasa,” dan “gaya hidup dengan keinginan rendah.”

Generasi digital Tiongkok mulai mengurangi konsumsi berlebihan dan pengeluaran berlebihan, dan lebih memilih gaya hidup “rendah keinginan material”. Gambar: Xiaohongshu

Kelelahan influencer juga berperan dalam menjamurnya tren ini. “Apakah ada yang sudah melewati era influencer akhir-akhir ini?” Pengguna TikTok Meghan Pexton bertanya kepada para pengikutnya dalam sebuah pertanyaan rekaman video yang ditonton lebih dari 200.000 kali.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh perusahaan intelijen Gen Z YPulse, 45% partisipan berusia antara 13 dan 22 tahun mengatakan bahwa influencer tidak lagi memiliki kekuatan yang sama seperti dulu. Namun, sebuah laporan kasus terbaru dari Bisnis Mode menemukan bahwa influencer masih menghasilkan perbincangan besar terhadap merek, meskipun konsumen menjadi semakin sinis.

Peningkatan konsumsi-inti bertepatan dengan munculnya “deinfluencer” di seluruh dunia. Gelombang baru anti-influencer ini telah mendapatkan ketenaran daring melalui upaya membongkar tren, menyarankan alternatif yang lebih murah, dan mencegah pembelian yang tidak perlu.

Meski begitu, platform sosial yang memicu tren deinfluencing dan underconsumption adalah aplikasi yang sama yang menyebarkan konten yang mempromosikan materialisme. TikTok, misalnya, mempromosikan pembelanjaan melalui fitur Shop dan memberi penghargaan kepada influencer melalui tautan afiliasi. Begitu pula di Tiongkok, di mana alat streaming langsung Douyin dan milik Xiaohongshu Fungsionalitas e-dagang telah muncul sebagai sarana belanja utama bagi warganet.

Karena semakin banyaknya konsumen Gen Z di seluruh Tiongkok dan Barat yang menolak hiperkonsumerisme, Plotnick yakin bahwa peralihan dari siklus tren internet yang tiada henti ini menunjukkan keinginan akan kebiasaan yang lebih autentik dan dapat dicapai.

“Pergeseran ini bukan berarti menolak konsumsi sepenuhnya, tetapi lebih kepada mengonsumsi dengan lebih sadar,” tambah Plotnick. “Ini adalah langkah menuju pengeluaran rasional, di mana pembelian dievaluasi berdasarkan nilai jangka panjang dan keselarasan dengan nilai-nilai pribadi.”



Sumber