Golden Visa Berkonotasi Negatif di Luar Negeri, Yakin Bisa Datangkan Investasi?

JAKARTA Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menduga kebijakan Golden Visa erat kaitannya dengan wacana Family Office di Indonesia. Menurutnya, belum tentu Golden Visa ini akan mendatangkan investasi besar dari luar negeri.

Pemerintah baru saja merilis kebijakan Golden Visa Indonesia. Layanan ini diharapkan dapat menjadi daya tarik untuk menarik lebih banyak warga negara asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Secara sederhana, Golden Visa dapat diartikan sebagai hak istimewa yang diberikan kepada warga negara asing berupa visa tinggal terbatas dalam jangka waktu tertentu apabila ingin berinvestasi di Indonesia.

Presiden Joko Widodo mengklaim Indonesia memiliki potensi besar sebagai tujuan investasi global, karena memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik, stabilitas politik yang terjaga, serta bonus demografi dan sumber daya alam yang melimpah.

Jokowi mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang menjanjikan bagi investor dan talenta global.

“Semua itu akan memberikan pelaku elektoral yang hebat bagi negara, mulai dari capital gain, lapangan pekerjaan, transfer teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan yang lainnya,” kata Presiden di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (25/07).

Namun di sisi lain, Jokowi tidak ingin Golden Visa ini diberikan kepada orang sembarangan. Ia hanya ingin fasilitas ini diberikan kepada pelancong yang berkualitas, jadi benar-benar selektif. Jokowi tidak ingin Golden Visa malah meloloskan orang-orang yang membahayakan keamanan negara.

Meski pemerintah sangat optimistis mampu menarik investor asing melalui Golden Visa, namun sejumlah pengamat ekonomi tidak demikian.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira bahkan mengatakan, tujuan visa ini erat kaitannya dengan Family Office yang digembar-gemborkan pemerintah.

Mengutip Investopedia, Family Office merupakan firma penasihat pengelolaan aset pribadi yang melayani individu superkaya atau berkekayaan sangat tinggi. Dengan membentuk Family Office, pemerintah berharap Paracrazy Rich akan menempatkan dananya di Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan terbang ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab untuk mempelajari Family Office.

Melihat kerennya pemerintah dalam membuka Family Office di Indonesia, Bhima menduga kebijakan Golden Visa erat kaitannya dengan rencana tersebut.

“Tidak bisa dipisahkan antara Golden Visa dan Family Office, karena di berbagai negara tempat Family Office berkantor, banyak orang superkaya yang meminta perlakuan keimigrasian khusus,” kata Bhima saat dihubungi VOI.

Meski demikian, Bhima mengingatkan bahwa Golden Visa belum tentu akan menarik investasi ke Indonesia dalam waktu dekat. Ada beberapa hal yang ditegaskan Bhima terkait hal ini.

Pertama, masa transisi pemerintahan dinilai sebagai masa krusial agar sejumlah calon investor aktif dan familiar. Selain itu, Bhima menilai Golden Visa hanya sebagai pemanis untuk menarik investasi.

“Siapa menteri keuangan, atau tim ekonomi pemerintahan Prabowo menjadi pertimbangan penting karena mempengaruhi kepastian kebijakan investasi,” jelas Bhima.

“Pada akhirnya, investor akan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, kedalaman pasar keuangan, daya saing industri, dan tingkat kompleksitas birokrasi. Di sinilah letak persaingan yang ketat dengan negara-negara seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia,” imbuhnya.

Masalah terakhir adalah terkait perlindungan data pribadi dan data transaksi keuangan yang juga menjadi perhatian. Bhima khawatir kasus kebocoran di Pusat Data Nasional beberapa waktu lalu akan menjadi catatan bagi calon penerima Golden Visa untuk memindahkan asetnya ke Indonesia. Terakhir, ia juga meminta pemerintah untuk berhati-hati karena investasi senilai minimal Rp5,3 miliar bisa jadi hanya aset portofolio.

“Ketika investor sudah mendapat Golden Visa, bagaimana pemerintah bisa mengawasi jika ada penarikan portofolio? Karena aset seperti investasi surat utang dan saham yang sangat likuid bisa keluar kapan saja,” katanya.

“Intinya memang banyak pertimbangan ya, dan Golden Visa bukan satu-satunya cara untuk mendorong investasi masuk,” kata Bhima menambahkan.

Golden Visa bukanlah hal baru bagi negara lain. Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana mengatakan, ada lebih dari 60 negara yang memberlakukan kebijakan ini pada 2022.

Saint Kitts & Nevis, negara kecil dengan dua pulau di kawasan Karibia yang pertama kali menerapkan Golden Visa pada tahun 1984. Skema ini diikuti oleh Kanada, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa lainnya.

Namun, menurut Andri, Golden Visa sudah mulai ditinggalkan oleh sejumlah negara seperti Australia, Portugal, Spanyol, dan Bulgaria karena dinilai tidak efektif. Selain itu, ada potensi untuk dijadikan media kejahatan seperti pencucian uang, pengemplang pajak, atau menyembunyikan uang haram.

Investasi yang masuk ke negara yang menerapkan Golden Visa juga kebanyakan hanya digunakan untuk membeli properti atau sekedar deposito.

“Jarang sekali dan tidak ada yang berinvestasi langsung seperti mendirikan perusahaan,” kata Andri

“Di Yunani misalnya, Golden Visa digunakan oleh investor untuk membeli properti di tempat wisata, akibatnya harga properti akan meningkat sangat signifikan,” imbuhnya.

Andri masih menuturkan, laporan IMF menyebutkan, investor asal China menjadikan negara pemberi Golden Visa sebagai safe paradise atau tempat aman untuk membersihkan bahkan menyembunyikan dana-dana kotornya.

Citra negatif Golden Visa ini pula yang menjadi penyebab negara-negara maju menghentikan kebijakannya.

Jika pemerintah benar-benar ingin menarik dana investor asing, yang perlu dilakukan adalah membersihkan beberapa hal termasuk menghilangkan pungutan liar yang memberatkan pengusaha, menciptakan birokrasi yang bersih, dan menyederhanakan perizinan.


Versi bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Arab, dan Prancis dibuat secara otomatis oleh AI. Jadi mungkin masih ada ketidakakuratan dalam penerjemahan, mohon selalu gunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama kami. (sistem didukung oleh DigitalSiber.id)



Sumber