Peningkatan impor minyak menggerogoti neraca perdagangan Indonesia yang positif

JAKARTA: Ekspor Indonesia kembali melampaui impor bulan lalu, namun surplus perdagangan negara ini akan jauh lebih tinggi jika tidak ada peningkatan impor minyak selama setahun terakhir.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan pada hari Senin bahwa Juni menandai “bulan ke-50 berturut-turut” surplus perdagangan karena ekspor senilai US$20,84 miliar melampaui impor US$18,45 miliar.

Walaupun hal itu menghasilkan neraca perdagangan yang positif, surplus sebesar US$2,39 miliar merupakan yang terendah dalam empat bulan.

Peningkatan impor minyak bulanan sebesar 19% yang menggerogoti surplus perdagangan Indonesia pada bulan Juni.

Nilai impor minyak bulan lalu naik 47% tahun-ke-tahun karena volume dan harga yang lebih tinggi.

Jika tidak termasuk produk minyak dan gas, surplus perdagangan akan meningkat pada bulan Juni dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Negara ini mengimpor minyak dan turunan minyak senilai US$3,27 miliar pada bulan Juni, lebih tinggi dari US$2,75 miliar pada bulan sebelumnya dan US$2,22 miliar pada bulan Juni tahun lalu.

Peningkatan bulanan tersebut disebabkan oleh lonjakan volume impor sebesar 36,6%, sedangkan kenaikan tahunan sebagian besar disebabkan oleh harga yang lebih tinggi.

Harga minyak mentah Brent melonjak dari rata-rata mendekati US$75 per barel pada Juni 2023 menjadi US$85 bulan lalu.

Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, minimnya lifting minyak membuat negara ini harus mengimpor minyak 21,3% lebih banyak pada semester I-2024 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Namun, ia mengatakan impor minyak cenderung “berfluktuasi seiring dengan jadwal restocking perusahaan minyak milik negara, PT.Pertamina”.

Ia juga mencatat bahwa angka bulan Juni mungkin terpengaruh oleh efek dasar, mengingat impor minyak pada bulan Mei dan Juni tahun lalu “rendah”.

Hosianna Evalita Situmorang, ekonom di bank swasta Bank Danamon, mengatakan lonjakan impor minyak bulanan pada bulan Juni sebagian disebabkan oleh efek musiman akibat liburan sekolah yang mendorong mobilitas dan dengan demikian permintaan bensin.

Manufaktur tidak mungkin memberikan kontribusi terhadap permintaan minyak yang lebih tinggi, tambahnya, mengingat aktivitas yang lesu di sektor tersebut sebagaimana tercermin oleh indeks manajer pembelian (PMI) yang menurun tajam pada bulan Juni.

Diterbitkan oleh S&P Global pada awal Juli dan berdasarkan survei terhadap eksekutif pembelian dari sekitar 400 perusahaan manufaktur untuk menentukan kondisi bisnis, PMI negara itu turun menjadi 50,7 pada bulan Juni, angka terendah sejak Mei 2023.

“Impor bahan baku dan barang modal juga menurun,” kata Hosianna, seraya menunjuk pada dua komponen perdagangan yang dilihat sebagai indikator kekuatan industri manufaktur.

China tetap menjadi mitra dagang terbesar negara kepulauan tersebut pada bulan Juni, dengan ekspor dan impor Indonesia berjumlah masing-masing US$4,65 miliar dan US$5,34 miliar.

Pada paruh pertama tahun ini, Indonesia mengimpor barang senilai total US$32,45 miliar dari China, naik dari US$29,98 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, ekspor ke Tiongkok pada paruh pertama turun menjadi US$27,02 miliar dari US$29,93 miliar pada paruh pertama tahun 2023.

Pertumbuhan produk domestik bruto tahunan China melambat menjadi 4,7% pada kuartal kedua dari 5,3% pada tiga bulan sebelumnya.

Meski mengalami perlambatan, Amalia dari BPS mencatat ekspor Indonesia ke China pada triwulan II tumbuh 2,63% dibandingkan triwulan sebelumnya.

David dari BCA mengatakan pertumbuhan ekspor tersebut berkat PMI Tiongkok yang terus meluas serta “kenaikan harga mineral industri” yang menyentuh 13,1% tahun ini.

“Namun, kita tidak dapat memperkirakan kondisi serupa akan terjadi pada paruh kedua tahun 2024.

“Indeks harga mineral industri telah turun 11,61% dari puncaknya, dan persediaan mineral Tiongkok melimpah, yang akan menekan permintaan impor mineral dari Tiongkok,” kata David.

Ia melanjutkan dengan menambahkan bahwa sektor manufaktur China menghadapi perlambatan karena menurunnya permintaan global dan tarif Barat semakin memperburuk keadaan.

Hal ini akan menurunkan impor mineral dan bahan mentah Tiongkok, “sehingga ekspor Indonesia ke Tiongkok pada semester kedua kemungkinan tidak akan sebaik semester pertama.”

Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat naik menjadi US$12,19 miliar pada semester pertama dari US$11,4 miliar pada enam bulan pertama tahun 2023. — The Jakarta Post/ANN

Sumber