Apakah Anda akan membayar seseorang untuk menulis tesis universitas Anda?
Bagi sebagian orang, jawabannya akan langsung “tidak” karena berbagai alasan, baik moral, hukum, maupun praktis. Bagi yang lain, mungkin “layanan” semacam itu tidak terpikirkan, sama sekali tidak pernah terdengar, atau terlalu mahal.
Namun di Indonesia, bisnis yang sudah berkembang selama puluhan tahun ini dikenal dengan nama joki atau penulis bayaran, di mana sesama mahasiswa atau lulusan baru menulis tesis, disertasi, esai panjang, atau tugas kelas milik mahasiswa lain dengan bayaran murah, kembali menjadi berita.
Ketika joki bukan hal baru di Indonesia, hal ini telah menjadi bahan pembicaraan yang kembali hangat baru-baru ini menyusul sebuah video viral yang diunggah di X pada bulan Juli oleh pendiri platform media sosial politik What Is Up Indonesia, Abigail Limuria.
Di dalam videoLimuria menyebutkan sejumlah permasalahan yang sudah dihadapi dalam sistem pendidikan Indonesia, termasuk kesejahteraan guru, kurikulum, dan kualitas pengajaran, dan melanjutkan bahwa praktik joki hanya menambah masalah yang ada.
“Yang membuat saya heran adalah banyak orang tidak menyadari bahwa ini salah,” katanya. “Ayolah, bagaimana mungkin kalian tidak menyadari bahwa ini adalah penipuan?”
Video ini telah ditonton sekitar 11 juta kali, dan memicu diskusi dari para pelajar, akademisi, dan bahkan beberapa orang joki mereka sendiri, membela praktik tersebut dan menyesalkan kurangnya pekerjaan lain di Indonesia.
Tidak diragukan lagi, konsep penulis bayaran berasal dari pertemuan berbagai faktor.
Salah satunya adalah pasar kerja di Indonesia yang sudah jenuh, yang berarti para mahasiswa dan lulusan baru perlu mencari cara kreatif untuk menghasilkan uang. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, tingkat pengangguran pada Februari 2024 berada pada angka 4,82 persen.
Masalah lainnya tentu saja adalah dosen universitas yang kelebihan beban dan digaji rendah, yang sering kali berjuang menghadapi kelas berukuran besar dengan ratusan mahasiswa, dan tugas administratif yang sangat banyak sehingga membuat mereka tidak punya waktu untuk mengatasi masalah seperti meningkatnya penggunaan AI dan plagiarisme.
Ketiga, mahasiswa di Indonesia sudah terbiasa dengan konsep jokidengan banyak orang gagal melihatnya sebagai praktik tidak jujur, tetapi justru merupakan jalan pintas yang diambil semua orang.
Mengapa harus menulis tesis Anda sendiri, ketika semua teman Anda telah menyewa orang lain untuk menulis tesis mereka?
Siswa di kelas X, dan sejumlah akademisi, juga menyalahkan kurangnya dukungan bagi siswa atas keputusan untuk membayar orang lain guna mengerjakan tugas mereka.
Secara khusus, beberapa pihak menyoroti kegagalan banyak lembaga di Indonesia dalam mengajarkan mahasiswa cara meneliti topik secara akurat dan menyusun tesis akademis untuk mencerminkan temuan mereka – lagi-lagi karena terlalu terbebani dengan pengajaran dan penandaan bahwa mereka hanya punya waktu untuk mengajarkan silabus inti mereka.
Mungkin salah satu alasan utama praktik ini berkembang pesat adalah karena praktik ini benar-benar tidak memiliki stigma yang melekat padanya – hal ini dibuktikan dengan cara para juru tulis bayaran secara terbuka mempromosikan layanan mereka di platform media sosial dan pasar e-commerce.
Namun tidak hanya itu joki tidak etis, hal ini juga melanggar hukum – sebuah fakta yang dikonfirmasi oleh Akun X Kementerian Pendidikan Indonesiayang membalas video viral Limuria.
“Civitas akademika dilarang menggunakan joki (jasa orang lain) untuk menyelesaikan tugas dan karya ilmiah karena melanggar etika dan hukum. Ini merupakan bentuk plagiarisme yang dilarang dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” tulis cuitan tersebut.
Namun, memberantas praktik yang tersebar luas tersebut sulit dilakukan, karena universitas kecil kemungkinannya untuk melaporkan mahasiswanya ke pihak berwenang karena plagiarisme, bahkan jika mereka tahu praktik itu ada.
Penelitian tentang praktik juga masih sangat sedikit. joki, membuatnya sulit untuk menilai seberapa luas sebenarnya hal ini terjadi, dan bagaimana universitas dapat menangani sesuatu yang sudah tertanam sangat dalam di dunia akademis Indonesia.
Beberapa dosen di X menyarankan bahwa masalah lainnya adalah bahwa lembaga akademik Indonesia hanya menawarkan opsi tesis untuk lulus, dan ini dapat diubah menjadi esai pribadi atau bentuk ujian lain yang akan lebih sulit untuk dijiplak oleh mahasiswa.
Tentu saja, ini adalah sesuatu yang dapat dianggap sebagai cara untuk membatalkan praktik kecurangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Namun, pada tingkat yang lebih dalam, institusi akademik perlu memberikan lebih banyak bimbingan dan dukungan bagi mahasiswa dan lebih waspada terhadap praktik joki – daripada mempraktikkan pendekatan “tidak melihat kejahatan” yang tidak melakukan apa pun untuk mengatasi masalah tersebut.
Jika lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia menutup mata terhadap kecurangan bahkan sebelum para siswa memasuki dunia kerja dan kehidupan publik, kemungkinan besar mereka akan terus belajar dari pengalaman buruk para petinggi akademis yang seharusnya memberi contoh.