5 hal yang perlu diketahui tentang perjanjian pertahanan Indonesia-Australia dan mengapa itu penting – Firstpost

Australia dan Indonesia telah menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan baru yang oleh para pemimpin disebut sebagai momen bersejarah dalam hubungan bilateral.

Sebagai negara tetangga yang memiliki perbatasan laut terpanjang di dunia, Australia dan Indonesia memiliki hubungan dan kerja sama keamanan yang telah lama terjalin. Indonesia selalu menjadi salah satu pelabuhan pertama yang disinggahi oleh perdana menteri Australia yang baru.

Menyoroti hubungan tersebut dalam jumpa pers saat kesepakatan tersebut diumumkan, Presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, mengatakan bahwa “tidak ada hubungan yang lebih penting daripada hubungan antara kedua negara besar kita”. Kesepakatan tersebut akan memungkinkan lebih banyak latihan militer bersama dan kunjungan antara kedua negara.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menjuluki kesepakatan itu sebagai “perjanjian bersejarah”. Ia mengatakan kesepakatan itu akan “memperkuat kerja sama pertahanan kita yang kuat dengan memperdalam dialog, memperkuat interoperabilitas, dan meningkatkan pengaturan praktis”.

Meskipun kesepakatan tersebut telah diumumkan, kesepakatan tersebut akan dirampungkan dalam beberapa hari mendatang ketika Menteri Pertahanan Australia Richard Marles akan berkunjung ke Indonesia untuk menandatangani kesepakatan tersebut. Kedua negara telah mengatakan tahun lalu bahwa mereka sedang merundingkan pakta baru untuk menggantikan perjanjian kerja sama pertahanan mereka yang sudah ada.

Berikut lima hal yang perlu diketahui tentang perjanjian keamanan Australia-Indonesia

1. Lebih banyak latihan, lebih banyak interoperabilitas

Perjanjian keamanan baru tidak hanya akan memungkinkan lebih banyak latihan militer gabungan antara militer Australia dan Indonesia tetapi juga akan meningkatkan interoperabilitas.

“Kesepakatan ini akan memberikan interoperabilitas yang jauh lebih besar antara angkatan pertahanan kita, menyediakan lebih banyak latihan antara angkatan pertahanan kita, bekerja sama di ranah global untuk mendukung tatanan berbasis aturan, dan yang terpenting, memungkinkan kita untuk beroperasi dari negara masing-masing,” kata Menteri Pertahanan Australia Marles.

Tidak ada informasi lain yang diketahui tentang kesepakatan tersebut. Albanese, Marles, atau Subianto tidak menjawab pertanyaan dari pers setelah pengarahan.

2. Faktor Tiongkok

Sekalipun baik Indonesia maupun Australia tidak menyebut China, kenyataannya kesepakatan itu terjadi pada saat Australia dan para mitranya merasa khawatir dengan kegiatan agresif dan rancangan hegemonik China di kawasan Indo-Pasifik.

Tiongkok tidak bersikap agresif di perairan sekitar pantainya, tetapi juga telah menjangkau negara-negara kepulauan di Indo-Pasifik. Jangkauan Australia ke Tiongkok juga harus dilihat sebagai bagian dari upaya untuk membendung Tiongkok di kawasan tersebut.

Australia memandang Indo-Pasifik sebagai wilayah kekuasaannya dan bekerja sama dengan mitra yang memiliki pemikiran serupa seperti Amerika Serikat dan India untuk mengekang pengaruh dan gangguan Tiongkok di kawasan tersebut.

Dalam sambutannya, Albanese mengatakan kesepakatan ini tidak hanya penting bagi kedua negara, tetapi juga penting bagi “stabilitas kawasan yang kita tinggali bersama”.

3. Tetapi apakah kesepakatan itu praktis?

Meskipun Australia dan Indonesia telah mencapai kesepakatan, masih ada pertanyaan tentang kepraktisan kesepakatan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan diajukan di baris depan karena Indonesia tidak memiliki kekhawatiran yang sama mengenai China seperti Australia atau mitra-mitranya.

Indonesia juga telah menyatakan tidak akan menjadi bagian dari aliansi mana pun.

Euan Graham, seorang analis di lembaga pemikir Australian Strategic Policy Institute, mempertanyakan lebih lanjut nilai strategis kesepakatan itu bagi Australia dan menyoroti bahwa Indonesia telah menjelaskan bahwa negara itu akan tetap tidak berpihak. Ia mengatakan kepada AP bahwa ini berarti Indonesia akan menjadi bagian dari negara-negara yang tidak ingin secara resmi berpihak pada atau menentang blok kekuatan besar mana pun seperti Amerika Serikat.

“Masalahnya adalah Indonesia tidak memiliki persepsi ancaman yang sama seperti Australia terhadap China,” kata Graham.

4. Pakta pertahanan Australia terbaru

Dalam beberapa tahun terakhir, Australia telah terlibat dalam banyak pembicaraan dan perjanjian terkait keamanan.

Perjanjian yang paling menonjol adalah AUKUS dengan Inggris dan Amerika Serikat. Perjanjian ini ditujukan agar Australia menerima kapal selam bertenaga nuklir untuk Angkatan Laut Kerajaan Australia. Bagian kedua dari AUKUS difokuskan pada peningkatan kemampuan bersama dan interoperabilitas di bidang keamanan siber, kecerdasan buatan, teknologi kuantum, dan kemampuan bawah laut tambahan.

Meskipun ini bukan perjanjian baru, perjanjian lain telah menjadi penting karena kawasan ini menghadapi ancaman bersama dari Tiongkok. Terdapat Perjanjian Pertahanan Lima Kekuatan (FPDA) dengan Malaysia, Selandia Baru, Singapura, dan Inggris dan mewajibkan para anggotanya untuk berkonsultasi jika terjadi serangan terhadap Malaysia atau Singapura.

Ada pula Dialog Keamanan Quadrilateral dengan Amerika Serikat, Jepang, dan India. Meskipun bukan aliansi keamanan, meningkatnya fokus pada keamanan dan stabilitas Timur Tengah memberinya dimensi keamanan yang kuat. Selain itu, tahun lalu, keempat negara mengadakan latihan militer bersama di Australia.

5. Kekhawatiran hak asasi manusia

Ada kekhawatiran bahwa pemerintah Indonesia mungkin menggunakan kesepakatan itu untuk keuntungan politik rezim tersebut.

Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan terdapat arus bawah Islamis yang kuat di negara tersebut. Terdapat pula kekhawatiran hak asasi manusia terkait aturan seputar jilbab dan komunitas queer di negara tersebut. Human Rights Watch (HRW) mengatakan pemerintah Australia harus menggunakan platform yang disediakan oleh kesepakatan tersebut untuk mendesak Indonesia agar “memenuhi komitmen terkait hak asasi manusia yang telah dibuat oleh pemerintahan Indonesia sebelumnya tetapi gagal dipenuhi”.

“(Kekhawatiran hak asasi manusia) ini mencakup beberapa isu sulit seperti aturan wajib jilbab, tindakan keras terhadap kaum LGBT, dan keengganan pemerintah untuk mengizinkan jurnalis asing dan pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa mengunjungi Papua Barat,” kata Direktur HRW Australia Daniela Gavshon, seperti dikutip The Guardian.

HRW menyatakan bahwa hingga 100.000 warga Papua telah mengungsi sejak 2018 ketika kekerasan antara pasukan Indonesia dan militan meningkat di wilayah tersebut, menurut surat kabar tersebut.

HRW telah menandai laporan pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa di wilayah tersebut.

Sumber