Lip service tentang transisi energi Indonesia dalam pidato Jokowi | Opini | Eco-Business

Dalam rangka memperingati HUT ke-79 Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pidato yang sebagian isinya menyinggung transisi energi negara ini.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa selama ini pemerintahnya konsisten dalam menjalankan transisi energi Indonesia secara cermat dan bertahap. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa transisi energi yang diinginkan pemerintah adalah transisi yang adil, yakni menghasilkan energi yang mudah diakses dan terjangkau oleh masyarakat. Benarkah pernyataan Presiden Jokowi tersebut?

Jawaban singkatnya adalah tidak. Sejak awal, Presiden Jokowi tidak serius dalam melaksanakan transisi energi. Di berbagai acara internasional, Presiden Jokowi kerap membanggakan skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), yang bertujuan untuk menyalurkan dana dari negara maju guna mendukung kegiatan transisi energi di negara berkembang. Namun, ia juga mengatakan bahwa JETP tidak boleh mengganggu bisnis batu bara secara keseluruhan, sehingga mengunci bahan bakar fosil.

Hampir bersamaan dengan peluncuran JETP, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Bila dicermati secara saksama, Perpres 112 tersebut seolah menjadi payung hukum bagi keberlangsungan bisnis batu bara melalui captive power atau pembangkit listrik terpadu di kawasan industri.

Teknik Jokowi mengunci batu bara kemudian terlihat dalam Rencana Kebijakan dan Investasi Komprehensif (CIPP) untuk JETP Indonesia yang diluncurkan pada November 2023. Dalam CIPP, pembangkit listrik terintegrasi di kawasan industri sama sekali tidak diperhitungkan. Apakah penguncian batu bara ini konsisten dengan pelaksanaan transisi energi yang adil?

Lebih lanjut, Presiden Jokowi mendefinisikan transisi energi yang adil sebagai transisi di mana energi terbarukan dapat diakses dan terjangkau oleh masyarakat. Secara logika, agar energi dapat diakses dan terjangkau, energi tersebut harus diproduksi di dekat masyarakat. Sentralisasi energi harus dilakukan untuk demokratisasi energi. Namun, kenyataan di lapangan berbeda. CIPP mengabaikan pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat dan mengarahkan investasinya pada pengembangan energi terbarukan skala besar. Pengembangan energi terbarukan skala besar memperkuat sentralisasi energi dan sering menimbulkan konflik agraria dan lingkungan dengan masyarakat sekitar.

Di sisi lain, terkait energi terbarukan berbasis masyarakat, hasil riset Pusat Studi Ekonomi dan Hukum Indonesia (Celios) dan 350.org Indonesia yang berjudul Peluang dan Tantangan Energi Terbarukan Berbasis Komunitasmenunjukkan bahwa jika 50 persen dari dana JETP senilai US$20 miliar dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan skala masyarakat, maka dapat menghasilkan kapasitas sebesar 2,18 gigawatt (GW). Artinya, pembangkit energi terbarukan berbasis masyarakat setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit PLTU setara Cirebon-1 yang berkapasitas 660 megawatt (MW). Tak hanya itu, energi terbarukan berbasis masyarakat juga mampu memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp10.529 triliun dalam kurun waktu 25 tahun.

Meskipun pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat akan menghasilkan energi yang lebih mudah diakses dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia, namun tidak dianggap menguntungkan oleh negara-negara kaya dan lembaga bantuan internasional karena struktur pendanaan JETP didominasi oleh utang luar negeri.

Komitmen Presiden Jokowi yang lemah terhadap transisi energi semakin terlihat ketika pemerintah memberikan konsesi pertambangan batu bara kepada dua ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Presiden Jokowi harus menyadari bahwa permasalahan batu bara tidak hanya terbatas pada wilayah penambangannya, tetapi juga pembakaran batu bara yang menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dan memperburuk krisis iklim. Hal ini jelas melemahkan komitmen Presiden Jokowi terhadap transisi energi.

Keterlibatan NU dan Muhammadiyah dalam bisnis kotor energi batubara tidak saja menjadi mesin cuci bagi dosa ekologis industri batubara tetapi juga akan melemahkan gerakan lingkungan hidup oleh masyarakat sipil Indonesia.

Ke depannya, gerakan lingkungan hidup akan berbenturan dengan NU dan Muhammadiyah. Sebagai pemangku kepentingan dalam bisnis energi batu bara, NU dan Muhammadiyah hampir pasti akan menolak gagasan transisi energi bersih karena akan mengganggu kepentingan bisnis mereka. Bisa jadi, untuk menghentikan gerakan lingkungan hidup menyebarkan narasi tentang transisi energi, kedua ormas itu akan menggunakan narasi keagamaan. Penggunaan narasi keagamaan untuk membela energi batu bara ini bisa berujung pada kekerasan fisik dan verbal terhadap aktivis lingkungan hidup. Apakah ini yang dimaksud Presiden Jokowi dengan melaksanakan transisi energi secara hati-hati?

Kekhawatiran kita sekarang adalah praktik hanya basa-basi soal transisi energi ini akan terus berlanjut di era Presiden Indonesia berikutnya, Prabowo Subaianto. Di forum internasional, Prabowo secara teratur menegaskan bahwa pemerintahannya merupakan kelanjutan dari Presiden Jokowi. Artinya, tidak akan ada perubahan dalam pemerintahan Prabowo dalam hal kebijakan energi.

Salah satu alasan publik meragukan komitmen Prabowo terhadap transisi energi adalah rekam jejak presiden terpilih dan keterkaitannya dengan pengusaha energi batu bara. Pada Pilpres 2024, bos perusahaan batu bara Garibaldi 'Boy' Thohir dengan percaya diri menyatakan dukungannya kepada Prabowo. Padahal, menurut Jaringan Advokasi Pertambangan (JATAM)Prabowo Subianto pernah menjadi pemegang saham di perusahaan batu bara dengan luas konsesi 4.793 hektar di Berau, Kalimantan Timur. Transisi energi yang adil seperti apa yang dapat diharapkan dari Prabowo Subianto mengingat hubungannya dengan industri batu bara yang kotor?

Menghadapi kenyataan ini, kami perkirakan basa-basi transisi energi Jokowi akan dilanjutkan oleh Prabowo selama lima tahun ke depan. Awan gelap perlindungan lingkungan membayangi cakrawala Indonesia. Satu-satunya cara untuk menghilangkannya adalah dengan mengajak masyarakat untuk terus bersuara tentang seperti apa seharusnya transisi energi yang adil. Namun, mungkin saja di masa mendatang, bersuara akan menjadi kemewahan, seperti halnya saat Presiden Soeharto, yang juga mantan mertua Prabowo Subianto, berkuasa di Indonesia.

Firdaus Cahyadi adalah Ketua Tim sementara Indonesia untuk kelompok kampanye iklim 350.org.

Sumber