Indonesia batalkan rencana perubahan UU Pemilu setelah ribuan orang protes | Berita Politik

Para pengunjuk rasa bentrok dengan polisi setelah sekutu presiden yang akan lengser mencoba merevisi aturan pemilu, yang dapat memunculkan dinasti politik.

Anggota parlemen Indonesia telah membatalkan rencana untuk meratifikasi revisi undang-undang pemilu, kata wakil ketua parlemen setelah ribuan orang melakukan protes di depan gedung parlemen.

Pada hari Kamis, DPR bersiap untuk membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai persyaratan usia kandidat untuk pemilihan kepala daerah mendatang, menggantikan keputusan yang menyatakan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep yang berusia 29 tahun, tidak memenuhi syarat.

Jika diterapkan, perubahan tersebut dapat semakin meningkatkan pengaruh politik presiden yang akan lengser. Para kritikus mengatakan perubahan tersebut ditujukan untuk membangun dinasti politik.

Namun dengan ribuan pengunjuk rasa berteriak di luar gedung parlemenpara legislator mengatakan mereka telah menunda sidang darurat. Kemudian, wakil ketua DPR mengatakan perubahan yang diusulkan akan dibatalkan untuk periode pemilihan ini, yang tampaknya merupakan perubahan haluan.

“Secara resmi diputuskan bahwa revisi UU Pilkada tidak dapat dilanjutkan. Artinya, revisi hari ini dibatalkan,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kepada wartawan seusai bentrokan.

Para pengunjuk rasa membakar ban dan menyalakan petasan sambil meneriakkan slogan-slogan menentang Widodo, yang lebih dikenal sebagai Jokowi.

Warga menghadiri aksi unjuk rasa di luar Gedung DPR RI untuk menentang revisi UU Pemilu
Demonstran blokir akses masuk gedung DPR di Jakarta (Bay Ismoyo/AFP)

Polisi Indonesia menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa yang mencoba menyerbu gedung parlemen setelah mereka merobohkan sebagian pagar dan melemparkan batu ke arah polisi.

Para pengunjuk rasa menduduki jalan di depan gedung. Sebagian membawa spanduk dan poster sementara yang lain menyalakan api dan membakar ban.

“Saya datang ke sini karena negara saya berada di ambang kehancuran. Para anggota parlemen ini telah menipu rakyat,” kata pengunjuk rasa berusia 64 tahun Muhammad Saleh Zakaria kepada kantor berita AFP.

Protes juga dilaporkan terjadi di Yogyakarta, Makassar, Bandung dan Semarang.

Warga menghadiri aksi unjuk rasa di luar Gedung DPR RI untuk menentang revisi UU Pemilu
Polisi antihuru-hara berjaga saat orang-orang berunjuk rasa di luar gedung DPR (Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters)

Kantor Presiden Jokowi berupaya meredakan kerusuhan. “Pemerintah berharap tidak ada disinformasi atau fitnah yang dapat memicu kekacauan dan kekerasan,” kata juru bicara Hasan Nasbi kepada wartawan.

Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa menolak gugatan terhadap batasan usia yang melarang orang di bawah 30 tahun untuk mencalonkan diri sebagai gubernur daerah, yang akan menghalangi putra Widodo, Kaesang, untuk mencalonkan diri dalam kontestasi daerah di Jawa Tengah.

Pengadilan juga mempermudah partai politik untuk mencalonkan kandidat dengan mengurangi persyaratan bahwa mereka harus memegang setidaknya 20 persen kursi legislatif lokal.

Kaesang diperkirakan akan menduduki jabatan berpengaruh dalam kontes daerah pada bulan November. Para sekutu presiden telah berupaya mencari cara untuk menyiasati batas usia minimum 30 tahun bagi para kandidat dengan memberlakukannya pada saat pelantikan. Kaesang akan berusia 30 tahun pada bulan Desember.

Keributan itu terjadi beberapa bulan setelah putra sulung Widodo, Gibran Rakabuming Raka, 36 tahun, terpilih sebagai wakil presiden termuda Indonesia, yang memicu tuduhan nepotisme. Widodo juga dituduh membantu mengangkat penggantinya, kepala pertahanan Prabowo Subianto, yang akan menjabat pada bulan Oktober.

Para ahli mengatakan masyarakat Indonesia mulai kecewa dengan Widodo dan upayanya untuk mempertahankan pengaruh politik. Ia mengundurkan diri sebagai presiden setelah menjalani masa jabatan maksimum dua periode lima tahun.

“Masyarakat marah dengan manipulasi yang sedang berlangsung terhadap sistem demokrasi kita,” kata Ika Idris, pakar politik yang berbasis di Jakarta di pusat penelitian data dan demokrasi Universitas Monash.

“Itu terjadi berulang kali dan cepat. Ada keinginan yang jelas untuk … memperluas kekuasaan.”

Sumber