Setelah kemenangan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024, ia membuat keputusan kunjungan luar negeri pertama sebagai presiden terpilih ke Tiongkokdi mana ia disambut hangat oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping di Balai Agung Rakyat. Kunjungan ini menggarisbawahi hubungan bilateral yang semakin erat antara kedua negara, yang menyoroti hubungan ekonomi yang kuat dan pertukaran antarmasyarakat yang dinamis.
Meskipun hubungan ini kuat, hubungan militer antara Indonesia dan Tiongkok masih relatif tenangLatihan militer bilateral, yang merupakan komponen penting dari kerja sama pertahanan antar negara, ditangguhkan pada tahun 2015 karena adanya perselisihan di Laut Natuna UtaraNamun, pada 13 Agustus 2024, selama dialog bersama luar negeri dan pertahanan Tiongkok-Indonesia, pejabat senior dari kedua negara setuju untuk melanjutkan latihan militer gabungandengan demikian menghidupkan kembali kolaborasi pertahanan mereka.
Meskipun latihan belum dilakukan, perkembangan ini menimbulkan pertanyaan penting: Mengapa Indonesia dan Cina melanjutkan latihan militer gabungan mereka?
Bagi Indonesia, latihan militer merupakan sarana untuk menunjukkan “Aktif dan Bebas”-nya.Aktif dan Bebas) kebijakan luar negeri di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik di Asia Tenggara. Sebagai peserta utama dalam latihan militer yang dipimpin AS di kawasan tersebut, keputusan Indonesia untuk melakukan latihan militer bilateral dengan Tiongkok mengirimkan sinyal yang jelas kepada Amerika Serikat dan Tiongkok bahwa Indonesia tidak akan memihak dalam persaingan geopolitik yang sedang berlangsung.
Di sisi lain, Tiongkok ingin menggunakan latihan militer untuk membangun kepercayaan dengan Indonesia, menyadari bahwa Indonesia sering dianggap sebagai pemimpin de facto ASEAN, dengan kemampuan unik untuk menggalang negara-negara Asia Tenggara dan memengaruhi dinamika keamanan regional.
Kebijakan Luar Negeri yang “Aktif dan Bebas”
“Indonesia”Kebijakan luar negeri “Aktif dan Bebas”yang didirikan setelah kemerdekaan pada tahun 1949, menekankan non-blok sambil secara aktif terlibat dalam diplomasi untuk mempromosikan stabilitas regional dan global. Prinsip ini dibentuk oleh pengalaman sejarah Indonesia, termasuk konflik Chola-Majapahit pada tahun 1000-an, penjajahan Belanda, invasi Jepang selama Perang Dunia II, dan dinamika Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sebelum tahun 2007, Indonesia menghindari latihan militer bilateral dengan negara-negara besar, termasuk AS, karena keengganannya untuk menampung pasukan asing, sebuah sentimen yang berakar pada masa lalu kolonialnya. Namun, pasca-Perang Dingin, Indonesia memulai latihan bersama dengan AS., yang dicontohkan oleh “Garuda Shield” tahunan sejak 2007, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penjagaan perdamaian. Latihan-latihan ini sangat penting bagi Indonesia, kontributor keenam terbesar bagi pasukan penjaga perdamaian PBB. Latihan gabungan Indonesia dengan AS memberikan pengalaman tempur yang realistis, akses ke teknologi militer untuk pertahanan kepulauan, dan memperkuat upaya bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana (HADR), terutama setelah tsunami Boxing Day 2004 yang mematikan.
Sesuai dengan kebijakan “Aktif dan Bebas”, Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama pertahanan dengan Tiongkok pada tahun 2007yang meliputi latihan militer gabungan. Dari tahun 2011 hingga 2014, Tentara Nasional Indonesia (TNI-AD) dan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) telah menyelenggarakan latihan kontraterorisme “Sharp Knife” tahunan. Namun, latihan ini berskala lebih kecil dibandingkan dengan latihan Garuda Shield Indonesia-AS, sebagian karena kendala bahasa dan perbedaan operasional.
Namun, tantangan terbesarnya adalah sengketa Laut Natuna Utara, di mana “sepuluh garis putus-putus” (dulunya “sembilan garis putus-putus”) yang samar-samar yang menunjukkan klaim maritim Tiongkok berpotongan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Latihan Sharp Knife ditangguhkan pada tahun 2015 setelah tindakan Indonesia terhadap kapal penangkap ikan ilegal Tiongkok dan ketegangan diplomatik berikutnya. Sejak saat itu, tidak ada latihan militer bilateral yang dilakukan antara PLA dan TNI-AD, meskipun Indonesia telah mengundang Tiongkok untuk bergabung dalam latihan multinasional, seperti Latihan Angkatan Laut Multilateral Komodo yang dilaksanakan dua kali setahun.
Pada bulan April 2024, Presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, bertemu dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, untuk membahas pertukaran militer dan dimulainya kembali latihan bersama antara kedua negara. Minat baru ini didorong oleh meningkatnya persaingan Tiongkok-AS dan kekhawatiran bahwa peningkatan aktivitas militer AS di kawasan tersebut dapat menyeret Indonesia ke dalam konflik.
Selama Dialog Shangri-La 2024, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengumumkan rencana untuk meningkatkan latihan Garuda Shield dari format bilateral menjadi multilateral, yang sekarang dinamakan “Super Garuda Shield,” untuk mendukung “tatanan internasional berbasis aturan.” Sebagai tanggapan, Menteri Pertahanan Tiongkok Dong Jun, mengkritik AS karena meningkatkan kehadiran militernya dan memicu ketegangan regional.
Potensi dimulainya kembali latihan militer gabungan antara Indonesia dan Tiongkok bertujuan untuk mencapai dua tujuan utama. Pertama, Indonesia berupaya meyakinkan Tiongkok bahwa partisipasinya dalam latihan Super Garuda Shield yang dipimpin AS tetap difokuskan pada penguatan kemampuan untuk mengatasi ancaman keamanan non-tradisional, seperti bencana alam, dan peningkatan operasi penjaga perdamaian PBB. Kedua, dengan melanjutkan latihan bersama dengan Tiongkok, Indonesia memberi isyarat kepada AS bahwa Indonesia tetap netral dan tidak akan memihak di antara kedua negara adikuasa tersebut.
Motivasi Tiongkok: Membangun Kepercayaan dan Meredakan Ketegangan Regional
Ketertarikan Tiongkok untuk melanjutkan latihan militer bersama dengan Indonesia didorong oleh keinginan untuk membangun kepercayaan. Menurut Survei Keadaan Asia Tenggara 2024Hampir 57 persen responden Indonesia tetap waspada terhadap pengaruh regional Tiongkok karena sengketa maritim bilateral di Laut Natuna Utara, ketegangan di Laut Cina Selatan yang lebih luas, dan kecurigaan historis tentang campur tangan Tiongkok dalam politik Indonesia. Meningkatnya ketegasan Tiongkok telah menyebabkan negara-negara Asia Tenggara menyambut kehadiran militer AS untuk mengimbangi Tiongkok, yang menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penahanan.
Meskipun Tiongkok tidak melakukan latihan militer bilateral dengan Indonesia sejak tahun 2015, partisipasinya dalam latihan militer Indonesia Latihan Angkatan Laut Multilateral Komodo sangat penting dalam membina kepercayaan karena kedua negara berkolaborasi dalam isu-isu seperti pembajakan dan bencana alam.
Dengan membangun kepercayaan dengan Indonesia melalui latihan militer bersama, Tiongkok bermaksud menyelesaikan sengketa maritimnya secara bilateral dengan negara-negara tetangganya. Indonesia, yang secara tradisional mampu menggalang kekuatan negara-negara Asia Tenggara untuk melawan ketegasan Tiongkok, menunjukkan kepemimpinannya pada bulan September 2023 dengan memulai latihan tri-layanan “ASEAN-Solidarity”yang melibatkan enam negara ASEAN lainnya, termasuk mitra terdekat Tiongkok, Kamboja. Latihan ini menunjukkan persatuan dan komitmen ASEAN terhadap hukum internasional di tengah sengketa Laut Cina Selatan.
Meskipun Tiongkok lebih memilih perundingan bilateral, solidaritas ASEAN memaksa Tiongkok untuk terlibat dengan blok tersebut secara keseluruhan. Dengan demikian, dengan memupuk rasa percaya dengan Indonesia, Tiongkok berharap dapat meminimalkan dampak negara-negara yang tidak mengklaim sambil tetap mempertahankan pengaruhnya dalam perundingan bilateral mengenai sengketa maritim.
Melanjutkan Latihan Militer Gabungan?
Rincian latihan militer antara Tiongkok dan Indonesia yang akan dilaksanakan masih dalam tahap finalisasi, namun Para analis memperkirakan mereka akan fokus pada isu keamanan non-tradisional yang berskala kecil dan tingkat rendah seperti pembajakan dan antiterorisme.
Bagi Indonesia, dimulainya kembali latihan militer bersama dengan Tiongkok akan memperkuat kebijakan luar negerinya yang “Aktif dan Bebas” di tengah meningkatnya persaingan antarnegara adidaya. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk mempertahankan sikap yang seimbang dan menunjukkan kemampuannya dalam mengelola ketegangan geopolitik yang kompleks. Namun, ketegangan regional yang sedang berlangsung, khususnya di Laut Natuna Utara dan Laut Cina Selatan dapat mempersulit dimulainya kembali latihan-latihan ini secara penuh, karena membahayakan stabilitas lingkungan regional yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
Bagi Tiongkok, dimulainya kembali latihan militer dengan Indonesia merupakan manuver strategis yang bertujuan membangun kepercayaan dan mengatasi ketegangan regional. Hal ini mencerminkan strategi Tiongkok yang lebih luas untuk memperkuat hubungan bilateral dan meredakan perselisihan regional.
Bagi ASEAN, keputusan Indonesia untuk melanjutkan latihan bersama dengan Tiongkok dapat berkontribusi pada tatanan keamanan regional yang lebih kooperatif. Kolaborasi ini sangat berharga dalam menangani masalah keamanan non-tradisional yang mendesak, yang berpotensi meletakkan dasar bagi lingkungan keamanan regional yang tidak terlalu tegang.