Pendeta Indonesia pertama yang ditahbiskan di AS gembira menyambut kunjungan Paus Fransiskus

Warga negara Indonesia-Amerika pertama yang ditahbiskan sebagai pendeta Katolik di Amerika Serikat sangat gembira menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke negara asalnya, di mana, katanya, “imannya begitu hidup.”

Pastor Miguel Marie, seorang Misionaris Fransiskan Sabda Abadi, lahir di Jawa Barat, Indonesia, dan beremigrasi ke California utara bersama keluarganya pada usia 12 tahun.

Biarawan Fransiskan ini merayakan ulang tahun ke-20 pentahbisannya sebagai imam tahun ini, yang merupakan peringatan pertama yang bersejarah bagi 129.000 diaspora Amerika Indonesia di AS.

Pastor Miguel bersama ibu dan ayahnya pada Misa pertamanya tahun 2004. Kredit: Pastor Miguel
Pastor Miguel bersama ibu dan ayahnya pada Misa pertamanya tahun 2004. Kredit: Pastor Miguel

Imam yang saat ini bertugas di Kuil Sakramen Mahakudus di Hanceville, Alabama itu menyoroti pentingnya perjalanan Paus mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Meskipun 87% penduduk negara ini beragama Islam, lebih dari 29 juta orang Kristen tinggal di Indonesia. Pew Research Center menemukan bahwa orang Indonesia termasuk di antara orang-orang paling religius di dunia dalam laporannya tahun 2019 yang berjudul “The Global God Divide.”

“Orang-orang ini benar-benar menjalankan iman mereka,” kata Pastor Miguel. Tidak jarang gereja-gereja penuh pada hari Minggu di Indonesia, di mana tingkat kehadiran Misa lebih tinggi daripada di banyak negara Eropa.

“Jika Paus datang ke sana, saya rasa itu akan benar-benar memperkuat mereka dalam terus berusaha menjalankan iman mereka,” imbuhnya.

Perjalanan Pastor Miguel

Pastor Miguel tumbuh di Bogor, sebuah kota sekitar 40 mil di selatan ibu kota Jakarta, tempat Paus Fransiskus akan berkunjung pada 3–6 September.

Saat itu, Indonesia berada di bawah kediktatoran militer Suharto, yang rezim Orde Baru (1966–1998) ditandai oleh kekerasan dan diskriminasi terhadap penduduk Indonesia etnis Tionghoa.

“Di keluarga kami, kami semua lahir di Indonesia, tetapi kami memiliki latar belakang Tionghoa,” kata Pastor Miguel.

“Ketika kami tinggal di sana … orang Tionghoa Indonesia sering dipandang negatif. … Isu rasis itu sampai pada titik di mana ayah saya khawatir dengan keluarga, terutama kami anak-anak.”

Orang tuanya, yang telah berpindah agama menjadi Katolik, membuat keputusan untuk beremigrasi ke Amerika Serikat. Keluarga itu tiba di California pada bulan Agustus 1981, seminggu sebelum Ibu Angelica memulai Eternal Word Television Network (EWTN) di Alabama, tempat Pastor Miguel kemudian menemukan panggilan hidupnya.

Setelah pindah ke California utara, tantangan terbesar yang dihadapi Miguel adalah belajar bahasa Inggris pada usia 12 tahun, tetapi begitu ia berhasil mengatasi rintangan itu, ia berkembang pesat. Ia melanjutkan pendidikannya di DeVry Institute of Technology di Phoenix dan memperoleh gelar sarjana sains dalam sistem informasi komputer.

Pastor Miguel merayakan ulang tahun ke-25 kehidupan religiusnya pada tahun 2023. Kredit: Pastor Miguel
Pastor Miguel merayakan ulang tahun ke-25 kehidupan religiusnya pada tahun 2023. Kredit: Pastor Miguel

(Cerita berlanjut di bawah)

Berlangganan buletin harian kami

Saat bekerja sebagai teknisi sistem untuk Electronic Data Systems di San Francisco, ia mulai menghadiri misa harian. Setelah menghadiri Hari Pemuda Sedunia di Denver pada tahun 1993, menjadi jelas baginya bahwa ia memiliki panggilan untuk menjadi pendeta Katolik.

Atas dorongan pembimbing rohaninya, ia mengunjungi komunitas Fransiskan milik Ibu Angelica. Selama kunjungannya ke Alabama, ia menghadiri beberapa rekaman EWTN dan sangat tersentuh oleh wawancara langsung yang disaksikannya sehingga ia mengajukan permohonan untuk masuk ke komunitas tersebut pada akhir minggu.

Ia masuk Misionaris Fransiskan Sabda Abadi pada tahun 1996 dan mengucapkan kaul pertamanya dua tahun kemudian, dengan mengambil nama religius Pastor Miguel untuk menghormati Beato Miguel Pro. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 5 Juni 2004.

Romo Miguel tidak tahu bahwa dirinya adalah orang Indonesia pertama yang ditahbiskan di AS hingga beberapa tahun kemudian ketika seorang seminaris dari Los Angeles menghubungi dan mengundang biarawan tersebut ke tahbisan keuskupannya di LA sebagai imam Indonesia ketiga yang ditahbiskan di AS. Ia menjelaskan bahwa ia mengetahui siapa orang pertama tersebut dari statistik USCCB.

Merenungkan kembali 20 tahun masa imamatnya, Pastor Miguel ingat bahwa itu tidak selalu mudah.

“Namun kasih karunia Tuhan menolong saya melewatinya,” katanya.



Sumber