Indonesia akan memangkas penjualan bahan bakar bersubsidi untuk membatasi polusi, kata pejabat

JAKARTA (Reuters) – Indonesia berencana untuk meningkatkan kualitas bahan bakar bersubsidi dan berpolusi, sambil juga menjualnya ke lebih sedikit kendaraan, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas udara di ibu kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya, kata seorang pejabat senior pemerintah.

Ekonomi terbesar di Asia Tenggara saat ini menerapkan subsidi menyeluruh untuk bensin oktan 90 yang banyak digunakan dan beberapa biodiesel, yang memiliki kandungan sulfur tinggi yang berkontribusi terhadap polusi udara terus-menerus di kota-kota besar.

Pemerintah akan memerintahkan perusahaan energi negara PT.Pertamina untuk menurunkan kandungan sulfur dalam bahan bakar tersebut dan membatasi penjualannya, kata Rachmat Kaimuddin, wakil menteri koordinator yang membidangi sektor transportasi.

Sebagian subsidi bahan bakar kemudian akan dialokasikan kembali ke PT.Pertamina untuk membantu mendanai biaya produksi bahan bakar yang lebih bersih, katanya kepada wartawan pada Kamis malam.

Perusahaan akan melarang penjualan bahan bakar ini pada mobil-mobil tertentu, imbuhnya, tanpa memberikan rincian. Menurut keterangan dari pihaknya, pihaknya akan menyediakan kode QR bagi setiap pembeli untuk melacak pembelian bahan bakar. Awal bulan ini, 4 juta kendaraan telah diberi kode QR, kata perusahaan tersebut.

“Penyaluran BBM bersubsidi harus tepat sasaran,” kata Rachmat seraya menambahkan pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM tersebut. Sepeda motor, angkutan umum, taksi, dan mobil angkutan umum tetap bisa membelinya.

Usulan pemerintah untuk anggaran 2025 telah mencakup rencana reformasi subsidi energi. Usulan tersebut saat ini sedang dibahas di DPR dan diharapkan akan disetujui pada akhir September.

Indonesia telah mengalokasikan 335 triliun rupiah ($21,75 miliar) untuk subsidi energi, termasuk untuk listrik dan sejumlah gas untuk memasak, untuk tahun 2024 dan 394,3 triliun rupiah dalam anggaran tahun 2025, data Kementerian Keuangan menunjukkan.

($1 = 15.400.0000 rupiah)

(Laporan Fransiska Nangoy; Laporan tambahan oleh Stefanno Sulaiman; penyuntingan oleh Miral Fahmy)

Sumber