Laporan: Ledakan Energi Kayu Mengancam Hutan dan Masyarakat di Asia Tenggara

TEMPO.CO, JakartaPenelitian baru diluncurkan di ASEAN Summit telah mengungkapkan ancaman yang mengkhawatirkan terhadap hutan tropis di Asia Tenggara karena pesatnya pertumbuhan industri kayu menjadi energi. Laporan tersebut, 'Peringatan yang Tidak Dihiraukan: Ancaman Biomassa Hutan terhadap Hutan Tropis di Indonesia dan Asia Tenggara'mengungkap bagaimana kebijakan energi Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan mendorong “solusi iklim palsu” yang dapat memberikan dampak signifikan penggundulan hutan dan degradasi lingkungan.

Berdasarkan temuan tersebut, lebih dari 10 juta hektar hutan tropis utuh di Indonesia – setara dengan lebih dari delapan juta lapangan sepak bola FIFA – terancam akibat meningkatnya permintaan serpihan kayu dan pelet untuk bahan bakar pembangkit listrik di Jepang, Korea Selatan. , dan Indonesia. Laporan tersebut, yang diterbitkan bersama oleh organisasi seperti Earth Insight, Auriga Nusantara, dan Forest Watch Indonesia, menyoroti dampak destruktif dari kebijakan energi biomassa yang mendukung pembakaran kayu untuk bahan bakar, berkontribusi terhadap deforestasi besar-besaran dan hilangnya keanekaragaman hayati, kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan. pada hari Kamis, 10 Oktober.

Temuan-temuan utama dalam laporan ini menyoroti wawasan rinci mengenai skala ancaman tersebut, termasuk lebih dari 10 juta hektar hutan tropis utuh yang terancam oleh perkebunan energi dan pabrik pelet kayu, yang mencakup lebih dari 127 Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama (KBA); 400.000 hektar hutan yang tidak terganggu, termasuk wilayah habitat orangutan, berada dalam zona perkebunan energi, sehingga mengancam ekosistem yang kaya; zona pengangkutan pabrik serpihan kayu dan pabrik pembakaran bersama dapat membahayakan lebih dari 4,1 juta hektar habitat orangutan.

Investigasi lapangan yang dilakukan laporan tersebut di Gorontalo mengungkapkan adanya deforestasi dalam skala besar, dengan lebih dari 1.000 hektar hutan primer ditebangi dalam satu tahun terakhir untuk ekspor wood pellet ke Korea Selatan dan Jepang. Komunitas lokal mulai menyuarakan penolakan terhadap kegiatan ini karena khawatir akan dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial.

Bioenergi Indonesia: Co-firing Plants dan Chip Mills Sumber: handout Auriga, Earth Insight

Kebijakan Energi Mengancam Hutan

milik Indonesia transisi energi rencana yang bertujuan untuk menghasilkan 19,7 TWh energi dari biomassa kayu pada tahun 2025, merupakan penyebab utama deforestasi. Lebih dari 60% energi ini berasal dari pembakaran kayu dan batu bara, dan konsesi hutan yang ditetapkan sebagai 'perkebunan energi' diharapkan dapat memasok setengah dari kebutuhan biomassa. Hal ini dapat menghancurkan hutan dalam skala industri, dengan potensi laju deforestasi mencapai 2,1 juta hektar per tahun.

Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan merupakan kontributor utama permintaan ini. Pada tahun 2021, negara-negara ini membeli lebih dari 99% ekspor pelet kayu Indonesia. Program subsidi mereka telah meningkatkan produksi wood pellet secara signifikan di Asia Tenggara, sehingga mendorong kerusakan hutan lebih lanjut. Kebijakan energi terbarukan Korea Selatan sendiri telah meningkatkan produksi pelet kayu dari 20.000 ton pada tahun 2012 menjadi 330.000 ton pada tahun 2021, sementara Jepang diproyeksikan menjadi konsumen pelet kayu terbesar di dunia.

Para ahli memperingatkan bahwa pembakaran kayu untuk energi bukanlah solusi berkelanjutan seperti yang diklaim. Meskipun biomassa sering dikategorikan sebagai karbon netral, klasifikasi ini mengabaikan emisi karbon dari deforestasi dan pembakaran kayu. Pembangkit listrik tenaga biomassa mengeluarkan CO2 hingga 60% lebih banyak per megawatt-jam dibandingkan pembangkit listrik tenaga batu bara modern. Selain itu, utang karbon – waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan kembali untuk mengimbangi emisi tersebut – berkisar antara 40 hingga 900 tahun, tergantung pada tipe hutan.

Di tengah krisis yang berkembang ini, para pemimpin lokal dan aktivis lingkungan hidup menyerukan tindakan segera untuk melindungi hutan dan masyarakat di wilayah tersebut. Timer Manurung, Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, memperingatkan bahwa perluasan perkebunan biomassa di Indonesia dapat menghancurkan ekosistem penting dan memperburuk tantangan iklim negara.

“Jepang dan Korea Selatan mendorong pasar untuk perluasan perkebunan biomassa. Pada saat yang sama, kebijakan pembakaran bersama oleh pemerintah dapat meningkatkan konsumsi biomassa kayu sebesar 8.400%, sehingga menimbulkan ancaman besar terhadap sisa hutan dan masyarakat lokal,” kata Timer.

Kelompok lingkungan hidup mendesak pemerintah negara-negara Asia Tenggara untuk mempertimbangkan kembali ketergantungan mereka pada biomassa dan berinvestasi pada solusi energi berkelanjutan. Tyson Miller, Direktur Eksekutif Earth Insight, menekankan bahwa para pengambil keputusan di kawasan ini harus memperhatikan peringatan para ilmuwan dan memprioritaskan sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, dan tenaga pasang surut.

“Menggunakan biomassa tidak hanya akan meningkatkan emisi gas rumah kaca namun juga melemahkan solusi berbasis alam yang sangat penting untuk mengatasi krisis iklim,” katanya.

Urgensi untuk melindungi hutan Indonesia, yang merupakan penyerap karbon penting dan rumah bagi spesies yang terancam punah, kini semakin mendesak. Seiring dengan permintaan global energi terbarukan Saat ini, tantangannya terletak pada membedakan solusi yang benar dari solusi yang berisiko menyebabkan kerusakan lebih lanjut terhadap lingkungan dan orang-orang yang bergantung padanya.

Pilihan Editor: Indonesia Soroti Masalah Laut Cina Selatan dan Hak Asasi Manusia di KTT ASEAN

klik disini untuk mendapatkan update berita terkini dari Tempo di Google News

diperbarui: 10 Oktober 2011 – penambahan waktu siaran pers yang diterima Tempo.



Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here