Dari 'Sipepek' hingga 'Sithole': Aplikasi dan program pemerintah Indonesia yang diberi nama yang diduga 'seksis' menuai protes dan seruan untuk perubahan

JAKARTA: Nama-nama tersebut dirancang untuk menarik perhatian publik, tetapi beberapa aplikasi dan program yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia dituduh memiliki konotasi seksis dan bernada seksual, sehingga memicu kritik publik yang keras dan seruan agar dilakukan perubahan.

Hal ini terjadi bahkan ketika Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan – sebuah lembaga independen yang bertujuan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia – memperingatkan terhadap objektifikasi tubuh atau gender melalui penggunaan nama-nama tersebut.

Di antara yang paling banyak menuai kontroversi adalah aplikasi platform sosial “Sipepek” yang dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten Cirebon. Aplikasi yang merupakan akronim dari Sistem Informasi Administrasi Layanan Kesejahteraan Sosial daerah tersebut, dirancang untuk memfasilitasi program penanggulangan kemiskinan dan asuransi kesehatan bagi warga kurang mampu di sana.

Namun, nama tersebut dikritik oleh beberapa pihak, termasuk seorang Anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa karena dianggap memiliki arti ganda.

Menurut media lokal, istilah “Sipepek” diambil dari bahasa daerah Cirebon, yang terletak di provinsi Jawa Barat, yang berarti “lengkap” atau “semuanya ada”. Sementara itu, menurut kamus umum bahasa Indonesia, kata “pepek” memiliki arti lain dan terutama merujuk pada alat kelamin wanita.

Selly Andriany Gantina dari PDIP mengatakan nama aplikasi tersebut harus diganti karena telah menimbulkan reaksi negatif dan kesalahpahaman di kalangan sebagian masyarakat.

“Setahu saya, di luar Cirebon, atau menurut (kamus umum bahasa Indonesia) sendiri, kata 'pepek' punya konotasi yang berbeda, bahkan vulgar.

“Hal ini tentu saja menimbulkan reaksi negatif dan kesalahpahaman di kalangan masyarakat dan netizen di mana pun. Penting bagi kita untuk mendengarkan kritikan ini dan menggunakan umpan balik tersebut sebagai bahan evaluasi,” katanya seperti dikutip detikNews, Senin (8/7).

Namun, pihak berwenang di Kabupaten Cirebon membela nama aplikasi tersebut dan juru bicara pemerintah menegaskan kembali makna nama tersebut bagi daerah: Bahwa aplikasi tersebut merupakan layanan “satu atap” untuk layanan menyeluruh bagi masyarakat.

Meskipun ada penjelasan ini, aplikasi tersebut telah diejek di media sosial, dengan para pengguna yang mengunggah komentar-komentar sarkastis secara daring. Seorang pengguna di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, menulis: “Mereka yang membuat aplikasi itu, tetapi sayalah yang malu karenanya.”

Kontroversi ini meluas hingga ke luar Cirebon. Aplikasi dan program lain dengan nama yang aneh termasuk “Sithole” – sistem informasi konsultasi daring – yang dikelola oleh Pengadilan Negeri Semarang serta “Siska Ku Intip”, sebuah program yang mengintegrasikan perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi.

Yang terakhir – yang secara bahasa sehari-hari berarti “Saya mengintip Siska” – dianggap seksis oleh netizen, dengan “Siska” dianggap sebagai nama perempuan.

Selain itu, ada pula yang mempersoalkan program yang disebut “Mas Dedi Memang Jantan” yang berupaya memberikan perlindungan bagi pekerja rentan. Jika diterjemahkan, program tersebut secara harfiah berarti: “Dedi adalah lelaki macho.”

Menurut media lokal, secara luas diakui bahwa “Dedi” merujuk pada mantan Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono, yang lengser pada Maret 2024 setelah menyelesaikan masa jabatannya. Ia menjadi tamu pada peluncuran program tersebut pada Agustus 2022 dan memberikan sambutan pembukaan.

Para kritikus mengatakan bahwa nama-nama aplikasi dan program ini biasanya berasal dari singkatan atau akronim yang kreatif dan biasanya dimaksudkan agar mudah diingat oleh para pengguna. Namun, nama-nama ini cenderung menuai kritik karena mudah disalahartikan sebagai sesuatu yang menyinggung atau tidak pantas.

Tn. Mardana Ali Sera dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhaluan Islam telah mengkritik penggunaan akronim eksentrik dengan konotasi seksual atau vulgar yang lazim di sejumlah aplikasi dan program pemerintah.

Ia mengatakan beberapa nama yang digunakan cenderung merendahkan etika dan meminta agar nama-nama aplikasi tersebut segera diubah. Ia juga meminta masyarakat untuk melaporkan program atau platform digital yang memiliki nama yang tidak pantas.

Sementara itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga telah angkat bicara mengenai masalah ini.

“Penggunaan akronim memang dimaksudkan agar masyarakat mengetahui dan mengingat program pemerintah. Namun, istilah yang dipilih harus tepat, tidak mengobjektifikasi tubuh atau mengkonotasikan penampilan tubuh atau gender,” kata komisioner Siti Aminah Tardi, seperti dikutip media setempat.

Pada awal bulan Mei, Presiden Joko Widodo memerintahkan pejabat pemerintah untuk hentikan pengembangan aplikasi seluler baruyang bertujuan untuk mengurangi kerumitan birokrasi.

Arahan tersebut datang sebagai bagian dari inisiatif INA Digital, yang berupaya mengintegrasikan sistem dan data sekitar 27.000 aplikasi yang ada yang dioperasikan oleh berbagai kementerian dan pemerintah daerah.

Ia mencatat bahwa integrasi ini dapat membantu pemerintah melakukan penghematan, dengan menyebutkan bahwa pengembangan aplikasi daring baru yang dibatalkan dapat menghemat anggaran pemerintah sekitar 6,2 triliun rupiah (US$388,11 juta).

Sumber