Indonesia masih berada dalam 'tahun cahaya' dalam pemerataan pembangunan antar kawasan: Ekonom

JAKARTA: Indonesia hanya melihat sedikit atau bahkan tidak ada kemajuan dalam mengalihkan fokus pembangunan dari Pulau Jawa selama satu dekade terakhir, meskipun Presiden Joko “Jokowi” Widodo (foto) berjanji untuk meratakan kegiatan ekonomi di seluruh negeri.

Jokowi, yang akan mengundurkan diri pada tanggal 20 Oktober, telah menunjuk pada proyek-proyek penting yang ia jalankan yaitu membangun industri hilir dan memindahkan pemerintahan ke ibu kota baru di Kalimantan sebagai cara untuk membantu daerah-daerah tertinggal di negara ini untuk mengejar ketertinggalannya, namun data yang ada mengecewakan. .

Direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kepada The Jakarta Post pada Selasa (8 Oktober) bahwa Indonesia masih “beberapa tahun cahaya” dari pembangunan yang merata, mengingat perekonomian “Jawa-sentris”.

“Narasi dan realisasi pembangunan tidak sinkron,” kata Bhima, seraya menambahkan bahwa terdapat “paradoks” mengingat laporan masyarakat tentang pengalihan aktivitas ekonomi dari Jawa sementara proyek infrastruktur besar masih dilaksanakan di pulau tersebut.

Di antara beberapa contohnya, pulau ini telah menjadi saksi berdirinya jalur kereta api berkecepatan tinggi di Jawa Barat, Kawasan Industri Batang di Jawa Tengah, dan pabrik peleburan tembaga PT Freeport Indonesia di Jawa Timur.

Data terkini Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah yang disampaikan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kepada Post pada Selasa, mengungkapkan Jawa telah menyelesaikan sebanyak 74 proyek sejak pertengahan 2016 dengan nilai total Rp 610,9 triliun. (US$38,92 miliar).

Pulau Sumatera berada di urutan kedua dengan 36 proyek dengan total nilai yang jauh lebih rendah yaitu Rp 348,2 triliun, sementara wilayah lain mencatat jumlah PSN yang diselesaikan kurang dari setengah jumlah PSN di Pulau Jawa, dengan nilai yang jauh lebih rendah.

Satu-satunya pengecualian adalah Sulawesi, dimana total proyek yang telah selesai mencapai Rp 580,17 triliun, berkat investasi pada proyek industri hilir untuk memurnikan cadangan nikel yang besar di wilayah tersebut.

Berbicara kepada Post dalam sebuah wawancara pada tanggal 30 September, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui bahwa proyek padat modal tersebut hanya menciptakan lapangan kerja “besar-besaran” selama tahap pembangunan infrastruktur, “tetapi setelah pembangunan, (permintaan) tenaga kerja relatif terbatas. ”.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan kepada Post pada hari Selasa bahwa beberapa proyek padat modal “tidak menciptakan lapangan kerja dan kegiatan ekonomi bagi (masyarakat) sekitar; dalam jangka menengah, (proyek-proyek tersebut) justru akan (menjadi) beban bagi mereka”, karena utang pemerintah untuk membiayai proyek-proyek tersebut menumpuk.

Wijayanto mengatakan sebagian besar investasi asing langsung (FDI) yang masuk ke nusantara tidak berkualitas baik, karena didominasi oleh investasi berbasis sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan akan habis begitu sumber daya tersebut habis.

“FDI berkualitas tinggi lebih memilih (pergi ke) negara-negara sejenis seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan India, semua ini berkat iklim bisnis di Indonesia yang semakin memburuk dalam 10 tahun terakhir,” kata Wijayanto.

Ia berargumentasi bahwa, alih-alih melakukan pembangunan di seluruh negeri, “konsentrasi kekuatan ekonomi dan politik justru meningkat”, dan bahkan ketika agenda hilir dapat meningkatkan PDB beberapa daerah, masyarakat dari Pulau Jawa lah yang paling merasakan manfaatnya.

Salah satu contohnya adalah industri nikel di Sulawesi Selatan, yang telah mendorong pertumbuhan ekonomi di provinsi ini namun hanya sedikit meningkatkan lapangan kerja selama tiga tahun terakhir.

“PDB (mencerminkan) di mana kue ekonomi diciptakan, bukan di mana masyarakat dapat menikmati kue tersebut. Disparitas riilnya dijamin akan semakin tinggi, mengingat (banyak manfaat) sumber daya alam daerah dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa,” kata Wijayanto.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 57,37 persen PDB Indonesia berasal dari Jawa pada paruh pertama tahun 2024, yang merupakan perubahan kecil dari 57,39 persen ketika Jokowi pertama kali dilantik pada tahun 2014.

Pulau Sumatera menempati posisi kedua dengan jumlah sekitar 22 persen, sedangkan wilayah lain di Indonesia jika digabungkan jumlahnya kurang dari 21 persen.

Angka tersebut sedikit berfluktuasi selama masa kepresidenan Jokowi, namun secara keseluruhan porsinya tetap tidak berubah. Mengingat kesenjangan yang terus berlanjut antara Pulau Jawa dan daerah lain di Indonesia, Wijayanto mengatakan Jokowi “belum berhasil” mencapai pembangunan yang merata.

Ekonom senior Institute for the Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan kepada Post pada hari Selasa bahwa Indonesia masih “jauh” untuk mewujudkan pembangunan yang merata.

Ia mengatakan bahwa PDB Indonesia sebagian besar didorong oleh pengeluaran rumah tangga, sehingga wajar jika Pulau Jawa memimpin dengan angka tersebut, mengingat jumlah penduduknya adalah 155 juta orang, atau lebih dari 55 persen total penduduk Indonesia.

Tauhid mengatakan bahwa sulit bagi daerah lain untuk mengejar PDB Jawa, karena masyarakat enggan pindah ke daerah tersebut karena infrastruktur yang tidak memadai, yang merupakan masalah yang seharusnya ditangani oleh PSN. – The Straits Times/ANN

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here