Memikirkan Kembali Konektivitas Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Pasca Kegagalan 'Nawacita'

Oktober ini, Presiden Indonesia Joko 'Jokowi' Widodo akan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Presiden Jokowi telah melaksanakan berbagai program pembangunan dan kebijakan baru selama satu dekade terakhir. Namun, tidak semuanya berhasil, dan ada pula yang mulai mempertanyakan warisan masa depannya. Banyak kekhawatiran yang muncul mengenai bagaimana Presiden Joko Widodo akan dikenang setelah masa pemerintahannya berakhir pada 20 Oktober?

Presiden Jokowi dan 'Nawacita' yang Terlupakan

Di awal masa kekuasaannya, Jokowi menggagas 'Nawacita' atau sembilan agenda pemerintahan yang seolah menjadi transformasi besar-besaran bagi Indonesia. Dinyatakan dengan jelas bahwa dia bertekad untuk; (1) mengembalikan negara pada tugasnya melindungi seluruh warga negara dan menyediakan lingkungan yang aman, (2) mengembangkan pemerintahan yang bersih, efektif, terpercaya, dan demokratis, (3) mengembangkan wilayah periferal, (4) melakukan reformasi lembaga penegak hukum, ( 5) meningkatkan kualitas hidup, (6) meningkatkan produktivitas dan daya saing, (7) mendorong kemandirian ekonomi dengan mengembangkan sektor-sektor strategis dalam negeri, (8) merombak karakter bangsa, dan (9) memperkuat semangat “Bhinneka Tunggal Ika” dan reformasi sosial.

Namun demikian, terdapat banyak penilaian terhadap Nawacita yang diusung Presiden Jokowi setelah satu dekade menjabat, terutama dalam upayanya membangun konektivitas antara pulau-pulau kecil terjauh di Indonesia dengan daerah pinggirannya. Tidak dapat dipungkiri kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar adalah akses terhadap pulau-pulau yang letaknya cukup jauh dari pulau-pulau besar dan belum adanya informasi rinci mengenai potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan di pulau-pulau tersebut. Belum tersedianya informasi rinci mengenai pulau-pulau kecil terluar menjadi penyebab kelalaian pengelolaan sehingga potensi yang terkandung di dalamnya tidak termanfaatkan.

Pulau-pulau kecil mendapat perhatian lebih ketika Presiden Joko Widodo mendorong pembangunan di daerah tertinggal dan perbatasan. Misalnya, banyak program di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan pembangunan yang menyasar dan fokus pada daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (terdepan, terluar, tertinggal atau '3T'). Penyediaan infrastruktur mungkin mempunyai dampak yang penting, namun belum memberikan solusi yang komprehensif.

Pulau-Pulau Kecil Terluar: Menghadapi Kendala

Pembangunan mempunyai kelebihan dan kekurangan, terutama jika menyangkut dinamika masyarakat dan sosiokultural. Membangun infrastruktur yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia, khususnya pulau-pulau terjauh, tentunya akan menimbulkan tantangan yang besar.

Misalnya saja pulau-pulau kecil terluar di wilayah utara Indonesia yang dikenal dengan nama Pulau Marampit, Marore, dan Miangas yang terletak di perbatasan Sulawesi dan Filipina, masih banyak permasalahan yang dihadapi, antara lain penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, dan perdagangan manusia di perbatasan. konflik, serta aksesibilitas dan konektivitas dalam komunitas mereka sendiri. Banyak warga di ketiga pulau tersebut yang tidak punya pilihan lain dalam hal transportasi. Mereka harus melakukan perjalanan setiap hari dengan kapal pribadi yang harganya cukup mahal namun standar keselamatannya sangat rendah.

Ini hanyalah salah satu contoh dari realitas aneh hidup di sebuah pulau kecil. Ini adalah gaya hidup yang mungkin sangat berbeda dari gaya hidup di pulau-pulau utama di Indonesia, namun masyarakat kepulauan baru saja mulai menentukan kebijakan dan program pembangunan tersendiri untuk mengakomodasi geografi kepulauan yang beragam. Ketidakmampuan pengambil kebijakan mempertimbangkan peraturan ini mengakibatkan terpinggirkannya pulau-pulau kecil, serta terbentuknya gerakan politik akar rumput untuk mempertahankan hak-hak mereka.

Harapan Baru untuk Presiden Baru?

Beberapa bulan lalu, Prabowo sebagai salah satu calon presiden menyampaikan retorika kampanyenya. Ia menekankan kesinambungan proyek-proyek Jokowi; oleh karena itu isu maritim belum menjadi prioritas kampanyenya. Selain itu, meskipun pernyataan visi resminya mencakup banyak papan khusus terkait dengan keterhubungan pulau-pulau terluar dan masalah maritim, sebagian fokusnya adalah ke dalam negeri dan masih untuk tujuan seremonial. Kampanyenya tampaknya mengabaikan pentingnya membangun populasi di pulau-pulau terluar.

Prabowo akan dilantik sebagai presiden kedelapan Republik Indonesia setelah kemenangannya dalam pemilu. Ia membawa banyak 'pekerjaan rumah' untuk menyelesaikan permasalahan konektivitas di pulau-pulau kecil terluar di Indonesia. Beberapa cara strategis mungkin bisa dipertimbangkan jika Prabowo ingin memberikan harapan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil terluar; (1) meningkatkan infrastruktur transportasi penting untuk membantu mobilitas masyarakat di pulau-pulau kecil, (2) ketika menetapkan kebijakan atau peraturan untuk pulau-pulau kecil terluar, harus ada analisis dan pemahaman mendalam terhadap konteks lokal, tidak hanya fokus geografis, tetapi juga juga faktor pendorong ekonomi, dinamika sosial budaya, dan faktor lingkungan hidup di pulau-pulau tersebut, dan (3) melibatkan pemangku kepentingan terkait yang memiliki visi yang sama untuk mengembangkan pulau-pulau kecil terluar. Kolaborasi antara para profesional yang memahami situasi pulau ini dapat memperoleh wawasan berharga dan meningkatkan efektivitas membangun konektivitas di pulau-pulau kecil.

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here