Dengan itu 139 juta pengguna media sosialsetara dengan separuh total populasi penduduknya, Indonesia telah menjadi pusat pembelanjaan merek di media sosial, dan iklan video diperkirakan akan menjangkau US$751,4 juta tahun ini.
Namun tidak semua pembelanjaan memberikan hasil yang sama. Dalam perebutan dominasi media sosial, merek berusaha keras untuk membuat video yang menjadi viral. Namun, mencapai keseimbangan yang tepat antara nada, tren, audiens, dan waktu sering kali terasa lebih seperti keajaiban daripada sains, tidak peduli seberapa banyak strategi dan penelitian yang dilakukan.
Wisnu Satya Putra, CEO Dentsu Creative Indonesia, meraih medali emas tahun lalu dengan kampanye viral 'Recharged' untuk Pantene yang dibintangi Keanu Angelo, seorang influencer pria Indonesia yang dikenal karena kepribadiannya yang pendek dan memiliki rambut panjang yang sulit diatur. Video tersebut, kata Dentsu, mencapai 23 juta tayangan dengan 98 ribu keterlibatan dalam waktu 24 jam.
Putra mengatakan bahwa keterhubungan dan resonansi emosional adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap viralnya video merek.
“Penonton Indonesia, khususnya generasi muda, lebih menyukai konten otentik dan relevan yang mencerminkan nilai-nilai dan pengalaman mereka. Mereka menghargai kreativitas, humor, dan cerita yang sesuai dengan kehidupan dan aspirasi mereka sehari-hari,” katanya.
Putra menjelaskan, video yang relatable memungkinkan penonton melihat dirinya sendiri dalam konten tersebut. Hal ini menumbuhkan rasa kebersamaan dan pemahaman, membuat audiens lebih cenderung terlibat dengan merek. Tidak hanya itu, menyelaraskan video dengan tren saat ini lalu melengkapinya dengan daya tarik yang kuat dalam beberapa detik pertama dan elemen yang dapat dibagikan dapat mendorong interaksi penonton dan memperkuat visibilitas.
Menciptakan hits viral: seni atau sains?
Terlepas dari wawasan ini, viralitas masih sulit dipahami. Oleh karena itu, tidak ada formula standar untuk itu. “Tidak ada formula untuk membuat video viral. Anda dapat mengikuti format tertentu yang bisa dilakukan oleh video viral lainnya, namun tidak ada jaminan bahwa format tersebut akan berhasil,” kata Chetan Shetty, direktur pelaksana Digital Sea, grup agensi yang menaungi McCann Indonesia dan FCB Jakarta. Meski begitu, lanjutnya, viralitas bisa dipacu.
Di Digital Sea, Shetty dan timnya menjalankan toko konten sosial bernama Snack Studio, yang membuat lebih dari 200 video TikTok setiap bulan atas nama 25 merek dari empat pemasar utama. Studio ini telah menetapkan kerangka kerja untuk membuat video merek berdasarkan perilaku konsumen, tren, dan pesan merek. Mereka melakukan riset video untuk mengetahui preferensi penonton, kemudian mengkategorikannya ke dalam ciri-ciri perilaku seperti rasa ingin tahu dan takut ketinggalan (FOMO).
@jharnabhagwani Moodboosterku sehari-hari @Pesona Vitalis ✨ #Saatnya Untuk Berkilau #VitalisEDTSparkle ♬ Saatnya Berkilau – Vitalis
“Pernahkah Anda melihat video transformasi riasan di TikTok? Itu menggunakan rasa ingin tahu sebagai cirinya,” jelas Shetty. “Mau menonton karena ingin tahu hasil akhirnya,” jelasnya sambil menunjukkan video transformasi riasan TikTok karya pembuat konten wanita asal Indonesia, Jharna Bhagwani. Video (lihat di atas), yang merupakan proyek McCann Indonesia untuk merek wewangian Indonesia Vitalis, telah ditonton lebih dari 66 juta kali di platform tersebut.
Kejutan juga merupakan alat yang ampuh untuk menjadi viral. “Jika Anda dapat mengejutkan audiens, kemungkinan besar Anda akan mendorong share,” catat Shetty. Snack Studio bahkan menggunakan dasbor internal untuk melacak tren di TikTok, Instagram, X (sebelumnya Twitter), dan Google, menghasilkan ide video segar berdasarkan data waktu nyata.
Bertujuan untuk membuat lebih banyak iklan yang dapat dibagikan secara konsisten, Snack Studio telah memanfaatkan dan mengembangkan dasbor internal yang mengumpulkan data dari TikTok, Instagram, X, dan Google untuk melacak tren terkini di internet. Tren, wawasan konsumen, dan pesan merek dipetakan untuk menghasilkan berbagai ide video.
Selain itu, Digital Sea bermitra dengan perusahaan kecerdasan buatan, Gimmefy, untuk menyusun beberapa kampanye video sehari-hari guna mempercepat proses produksi sementara kampanye yang lebih besar masih menggunakan pendekatan konvensional.
Konten khusus
Selain kreativitas dan ide, Putra mengatakan bahwa menyesuaikan konten video berdasarkan budaya dan perilaku unik platform telah menjadi strategi Dentsu Indonesia untuk menciptakan video merek yang sangat menarik. “Untuk TikTok, kami memprioritaskan konten pendek dan tajam yang memanfaatkan tren. Instagram memungkinkan narasi yang lebih halus secara visual, sementara Facebook cocok untuk penyampaian cerita yang membangun komunitas. YouTube sering kali berfungsi sebagai platform untuk interaksi yang lebih dalam,” ungkapnya. Selain itu, perusahaan berfokus pada tema abadi dan penyampaian cerita yang relevan untuk memastikan video tersebut memiliki interaksi yang lama setelah dipublikasikan.
Tentu saja, kepribadian individu influencer media sosial memainkan peran penting. Putra menyampaikan bahwa influencer yang ideal untuk video merek harus selaras dengan nilai-nilai merek, sesuai dengan target audiens, dan benar-benar terhubung dengan pengikut mereka.
“Influencer memainkan peran penting dalam meningkatkan viralitas suatu video di media sosial dan platform digital. Mereka telah membangun kepercayaan dengan audiensnya, yang dapat menghasilkan tingkat keterlibatan yang lebih tinggi dan jangkauan yang lebih luas. Ketika seorang influencer membagikan video merek, hal itu tidak hanya memanfaatkan basis pengikut mereka tetapi juga mendorong tindakan berbagi dan diskusi,” jelasnya.
Dentsu juga membedakan strategi videonya berdasarkan demografi penonton. “Humor dan keterhubungan biasanya digunakan untuk audiens yang lebih muda, sedangkan narasi yang lebih canggih cocok untuk segmen yang lebih tua,” tambah Putra.
Ignatius Untung, pakar behavioral marketing sekaligus Chief Marketing Officer Biensi Fesyenindo menjelaskan, video relatable lebih cenderung memiliki engagement yang tinggi karena memicu alam bawah sadar penonton atau sistem otak autopilot.
Merujuk pada buku psikologi karya Daniel Kahneman, Berpikir, Cepat, dan Lambat (2011)Untung mengatakan otak manusia terdiri dari dua cara berpikir yaitu sistem 1 (sistem autopilot) dan sistem 2 (sistem pilot). Sistem autopilot cepat, intuitif, emosional, dan bekerja berdasarkan ingatan atau pengalaman yang tersimpan. Sementara itu, sistem percontohannya lambat, analitis, dan beroperasi berdasarkan penilaian logis.
“Penelitian menunjukkan manusia dominan menggunakan sistem autopilot termasuk dalam pengambilan keputusan. Itu sebabnya sebuah video bisa menjadi viral jika memicu alam bawah sadar penontonnya, mendorong mereka untuk mengklik dan membagikannya,” ujarnya.
Meski demikian, Untung menegaskan, video viral belum tentu berdampak pada pertumbuhan bisnis dan penjualan merek tersebut. “Konten dapat memiliki tingkat shareability yang tinggi namun tidak menjamin orang akan membeli produk tersebut. Itu adalah dua hal yang berbeda,” katanya.
Terkait permasalahan tersebut, Shofiyyah Rahman, analis bisnis senior di perusahaan konsultan pemasaran Markplus Corp., mengungkapkan bahwa video viral lebih berdampak pada merek dengan model business-to-consumer (B2C) yang berfokus pada barang konsumsi. “Ini bekerja paling baik pada merek yang konsumennya terpapar media sosial dan membuat keputusan pembelian sendiri,” katanya.
Bagi merek lokal yang lebih kecil, Rahman menambahkan, viralitas dapat menjadi sebuah terobosan.
“Produk-produk dari brand ternama seperti Unilever, P&G, dan Wings Group, banyak tersedia di pasaran dan sudah dikenal masyarakat. Tanpa kampanye viral pun, mereka sudah memiliki banyak saluran penjualan,” tambahnya.