Indonesia melangkah ke kancah dunia dengan tekad segar di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Dengan pelantikannya yang menandai dimulainya apa yang diyakini banyak orang sebagai perubahan signifikan dalam orientasi kebijakan luar negeri negara ini, topik mengenai potensi keanggotaan Indonesia dalam koalisi global utama menjadi perbincangan di kalangan diplomatik. Pengumuman dan penunjukan menteri baru-baru ini oleh Prabowo menunjukkan adanya perubahan menuju aliansi, khususnya dengan kelompok-kelompok seperti BRICS, yang melambangkan kepentingan negara-negara berkembang yang mengadvokasi keterwakilan dan pengaruh yang lebih besar.
Poros geopolitik ini ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri yang baru diangkat, Sugiono, yang mengambil alih kendali diplomat veteran Retno Marsudi. Posisinya menandai penyimpangan dari pendekatan kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih terukur, yang bertujuan untuk sepenuhnya merangkul blok BRICS. Keanggotaan yang lebih cepat dicapai menunjukkan kesiapan Indonesia untuk mencapai ambisi yang lebih luas, melebihi sikap hati-hati sebelumnya.
Membawa tokoh yang berafiliasi dengan militer seperti Sugiono, yang menjabat sebagai letnan satu di Kopassus, pasukan khusus Angkatan Darat, tampaknya memperkuat pengaruh baru militer dalam kerangka pemerintahan. Persamaan sejarah juga terlihat pada era Suharto, di mana militer memegang kendali signifikan atas pemerintahan dan hubungan luar negeri. Berdasarkan apa yang disebut doktrin 'fungsi ganda', militer mempunyai kekuasaan atas masalah-masalah politik dan sosial, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai kemunduran demokrasi.
Seruan bagi keterlibatan penuh BRICS di Indonesia juga mengisyaratkan niat untuk menegaskan pengaruhnya baik sebagai pemimpin regional maupun sebagai bagian dari dialog negara-negara Selatan. Di sinilah letak alasan Sugiono, yang menyarankan agar Indonesia dapat memanfaatkan statusnya untuk memperjuangkan hak-hak pembangunan bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan yang sama.
Pendekatan ini juga harus sejalan dengan prioritas dalam negeri. Sugiono telah secara terbuka menyatakan relevansi BRICS dengan tujuan Indonesia—yaitu isu-isu seperti ketahanan pangan, kemandirian energi, dan pengentasan kemiskinan. Dengan terlibat dalam koalisi baru ini, Indonesia dapat memajukan agenda lokal dan menghasilkan manfaat besar baik secara internal maupun eksternal.
Menariknya, terdapat pembelajaran yang dapat diambil, terutama mengingat keraguan Indonesia sebelumnya mengenai terlalu dekat dengan BRICS—sesuatu yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya dengan hati-hati. Kini, keinginan pemerintahan Prabowo untuk mendorong batasan-batasan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang potensi dampaknya jika berinteraksi dengan negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
Secara ekonomi, upaya ganda untuk mendapatkan keanggotaan ini menimbulkan pertanyaan. Diskusi ekonomi saat ini menyarankan agar Indonesia menjaga hubungan dengan BRICS dan OECD untuk mendapatkan hasil ekonomi terbaik. Meskipun BRICS dipandang lebih mudah diakses, keanggotaan OECD tetap diinginkan karena stabilitas dan model ekonomi yang mapan. Tantangannya tidak hanya terletak pada tawaran keanggotaan tetapi juga bagaimana Indonesia menyeimbangkan harapan dan kewajibannya terhadap kelompok-kelompok ini.
Pengamat urusan luar negeri memperingatkan agar tidak melakukan lompatan terlalu cepat. Diskusi yang komprehensif mengenai keuntungan dan kerugian bergabung dengan BRICS harus mencakup bagaimana asosiasi tersebut mempengaruhi stabilitas ekonomi dan koordinasi regional. Para ekonom berpendapat bahwa menjaga hubungan dengan kedua blok dapat menghasilkan pengaruh strategis yang maksimal.
Namun, ada pengakuan terhadap dinamika regional yang lebih luas yang sedang terjadi. Hubungan historis Indonesia dengan ASEAN menggarisbawahi keyakinan mendasar Indonesia terhadap multilateralisme—sebuah prinsip yang diharapkan tetap menjadi bagian integral dalam pendekatannya. Pelibatan BRICS baru-baru ini juga dapat berdampak pada upaya untuk menjalin hubungan yang lebih kuat di dalam ASEAN, yang mungkin dipandang berlawanan dengan esensi kolaboratif organisasi tersebut.
Meskipun pemerintahan Prabowo menunjukkan kepercayaan diri, para ahli mendesak adanya navigasi yang hati-hati di antara blok-blok kekuasaan. Tugasnya adalah menyeimbangkan hubungan Indonesia yang sedang berkembang tanpa terlihat terlalu bergantung atau agresif. Penekanan pada taktik diplomasi ini akan menjadi hal yang mendasar, terutama ketika negara tersebut mendefinisikan posisinya dalam struktur hubungan internasional yang lebih luas.
Yang penting, langkah menuju keanggotaan BRICS mengingatkan kembali pada warisan Indonesia sebagai anggota pendiri Gerakan Non-Blok. Penafsiran yang sedikit berbeda muncul di bawah kepemimpinan Prabowo, di mana kelompok non-blok kini dapat beradaptasi untuk memfasilitasi keterlibatan dengan negara-negara besar, yang, secara paradoks, dapat menempatkan negara ini kembali ke dalam ikatan komitmen geopolitik.
Karena Prabowo ingin berperan lebih dari sekedar penjaga gerbang urusan dalam negeri Indonesia, para pengamat melihat bagaimana kebijakannya akan berjalan. Melibatkan Tiongkok melalui latihan militer dan menghidupkan kembali hubungan dengan Rusia menunjukkan bahwa Indonesia siap mengambil sikap yang lebih tegas. Pergeseran ini mungkin menandakan niat Jakarta untuk membangun jalur di wilayah yang belum pernah dipetakan sebelumnya, yang mencerminkan aspirasi dan kehati-hatian.
Pada saat yang sama, potensi konsekuensi dari keputusan-keputusan strategis ini sedang dipantau secara ketat. Apakah Indonesia mundur dari komitmennya untuk menegakkan demokrasi dan kebebasan sipil? Pembangunan menuju pemerintahan yang lebih militeristik menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang, namun para pendukung berpendapat bahwa refleksi terhadap kebutuhan keamanan nasional ini dapat bermanfaat bagi Indonesia ketika negara ini bergulat dengan masalah teritorial dan stabilitas regional.
Ke depan, masih harus dilihat seberapa sukses Indonesia dalam upayanya untuk terlibat secara mendalam dengan BRICS di tengah perubahan norma-norma internasional. Pendekatan kebijakan luar negeri Prabowo yang tegas mungkin menghasilkan aliansi dan tantangan yang tidak terduga, yang mendorong kemajuan bangsa namun juga memerlukan kewaspadaan terhadap nilai-nilai demokrasi yang ingin dijunjung tinggi.
Bagi banyak masyarakat Indonesia, pertanyaannya adalah apakah pengaruh militer yang baru ini akan memberikan manfaat terbaik bagi negara atau apakah hal ini mencerminkan kemunduran terhadap preseden sejarah. Di sinilah letak ketegangannya—antisipasi akan keterlibatan global yang lebih besar serta perlunya menjaga institusi demokrasi dan tatanan sosial di Indonesia.
Hanya waktu yang akan membuktikan apakah langkah-langkah ambisius ini akan memperkuat status Indonesia sebagai pemain global, memperkuat prioritasnya di panggung dunia dan menjamin kepercayaan di antara warga negaranya tanpa mengorbankan esensi demokrasi dan kohesi sosialnya.