Pada abad ke-19, perekonomian Peru meningkat pesat karena negara tersebut memiliki banyak guano, zat yang digunakan untuk pupuk. Namun, pada tahun 1909, keunggulan Peru lenyap dalam semalam ketika para ilmuwan Jerman menemukan cara untuk membuat amonia secara artifisial, yang memungkinkan mereka memproduksi pupuk dalam skala besar. Demikian pula pada tahun 1970an, karet merupakan pilar penting bagi perekonomian Malaysia. Ketika negara-negara lain menemukan dan mengkomersialkan karet sintetis, hal ini memberikan pukulan telak terhadap perekonomian negara tetangga kita.
Kisah guano, karet, dan banyak komoditas lainnya memberikan sebuah kisah peringatan bagi negara-negara kaya sumber daya termasuk Indonesia, yang telah mendominasi pasar nikel global. Nikel bukanlah guano atau karet, dan bisa dibilang nikel lebih penting dibandingkan komoditas lainnya. Meskipun demikian, nikel tidak kebal terhadap keusangan yang dijelaskan di atas, mengingat produksi baterai kendaraan listrik mungkin beralih ke teknologi lain yang membutuhkan lebih sedikit nikel.
Skenario yang mungkin terjadi ini tidak melemahkan gagasan “hilirisasi”, yaitu kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberikan nilai tambah terhadap sumber daya alamnya yang melimpah, termasuk nikel, namun hal ini menunjukkan perlunya melakukan hal tersebut secara lebih efektif. Sejauh ini manfaat ekonomi dari kebijakan ini tidak diragukan lagi. Hilirisasi telah menyebabkan penurunan ekspor dan investasi, serta pertumbuhan ekonomi sebesar dua digit di beberapa wilayah di Indonesia.
Selain itu, di luar statistik makroekonomi, hilirisasi juga mempunyai arti yang sangat berarti bagi kehidupan banyak orang. Puluhan ribu masyarakat di wilayah yang jauh dari pusat perekonomian negara, yang sebelumnya tidak terlihat dan tidak terdengar, kini menjadi lebih baik berkat hilirisasi. Misalnya saja, rata-rata pendapatan tenaga kerja di Morowali dan Halmahera, dua episentrum hilir, masing-masing sebesar 54 persen dan 13 persen lebih tinggi dari rata-rata nasional pada tahun 2022. Bagi Indonesia, mengabaikan kebijakan hilirisasi sama saja dengan merugikan diri sendiri.
Terkait hal ini, Presiden Prabowo Subianto yang mulai menjabat pada 20 Oktober sudah tepat dalam memutuskan bahwa hilirisasi akan terus menjadi prioritas pemerintahannya. Ada beberapa hal yang memerlukan perbaikan dimana pemerintah sudah mempunyai alat-alatnya. Misalnya, terdapat peraturan mengenai perlindungan lingkungan dan hak-hak pekerja yang harus ditegakkan oleh pemerintah dengan lebih baik.
Meski demikian, mengutak-atik margin saja tidak cukup. Agar hilirisasi dapat mencapai potensi maksimalnya sebagai mesin pembangunan transformatif, dan agar Indonesia tidak menjadi korban perubahan teknologi, diperlukan perubahan paradigma. Meskipun hilirisasi memberikan dampak positif, peran Indonesia dalam ekosistem hilir masih terbatas pada pasokan bijih, sedangkan teknologi industri hilir masih dimonopoli oleh investor asing. Status quo ini tidak dapat dipertahankan.
Seperti yang disorot dalam laporan pembangunan global Bank Dunia tahun 2024, untuk melepaskan diri dari jebakan negara-negara berpendapatan menengah, negara-negara berkembang memerlukan lebih dari sekadar investasi. Mereka juga memerlukan “infus” – yaitu penyebaran teknologi asing ke seluruh perekonomian dalam negeri. Tanpa adanya infus, dampak investasi terhadap transformasi ekonomi jangka panjang pada akhirnya akan hilang begitu saja. Memanfaatkan teknologi juga akan menjadi bukti masa depan industri hilir kita. Meskipun di masa depan baterai kendaraan listrik mungkin memerlukan lebih sedikit atau bahkan tidak memerlukan nikel sama sekali, dengan teknologi, Indonesia masih memiliki apa yang diperlukan untuk memproduksi baterai kendaraan listrik.
Sekali lagi, hal ini tidak berarti bahwa Indonesia harus meninggalkan hilirisasi; itu berarti pemerintah harus membawanya ke tingkat berikutnya. Indonesia harus memanfaatkan hilirisasi sebagai batu loncatan bagi masyarakat dan perusahaan untuk menguasai teknologi industri hilir. Dalam “Hilirisasi 2.0,” masyarakat Indonesia – bukan sumber daya negara – harus menjadi pihak yang mengambil kendali.
Bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional, pemasukan teknologi bukan hanya tentang penelitian dan pengembangan. Yang dibutuhkan bukan sekadar inovasi yang terbukti cukup mampu dihasilkan oleh banyak peneliti Indonesia, namun komersialisasi inovasi termasuk teknologi luar negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan dalam negeri berperan penting sebagai sarana komersialisasi. Masalahnya adalah, perusahaan lebih memilih bertahan di zona nyaman daripada melakukan diversifikasi ke sektor teknologi tinggi baru. Dalam literatur ekonomi, diversifikasi ke sektor-sektor baru penuh dengan berbagai kegagalan pasar, termasuk eksternalitas informasi dan koordinasi. Oleh karena itu, intervensi pemerintah dalam hal ini diperlukan.
Agar diversifikasi dapat berkembang, dukungan pendanaan adalah kuncinya. Berdasarkan survei Bank Dunia tahun 2023, akses terhadap pembiayaan merupakan kendala terbesar dalam dunia usaha di Indonesia. Di pasar, modal cenderung berorientasi jangka pendek karena investor yang menghindari risiko ingin mendapatkan keuntungan cepat. Oleh karena itu, pemerintah dapat berupaya menyediakan modal “sabar” bagi perusahaan untuk melakukan diversifikasi, jenis modal yang seringkali tidak mampu ditawarkan oleh pasar. Modal sabar ini dapat mencakup pinjaman lunak jangka panjang atau suntikan ekuitas untuk perusahaan dalam negeri yang menunjukkan potensi mereka untuk bersaing di sektor industri hilir baru seperti penyulingan nikel atau manufaktur baterai kendaraan listrik. Kebijakan tersebut harus disertai dengan evaluasi dan persyaratan yang ketat, dan perusahaan yang tidak dapat memenuhi target tertentu seperti dalam hal investasi atau produksi harus dihentikan dari dukungan pemerintah.
Kebijakan modal yang sabar ini adalah sesuatu yang sering dilakukan oleh macan-macan Asia Timur. Misalnya antara tahun 1962 dan 1985, 58 persen pinjaman bank di Korea Selatan adalah pinjaman lunak yang diarahkan pemerintah pada sektor manufaktur yang strategis. Dengan modal kesabaran ini dan banyak dukungan pemerintah lainnya, banyak konglomerat Korea akhirnya melakukan diversifikasitermasuk Hyundai (dari konstruksi hingga mobil), Samsung (dari penyulingan gula hingga elektronik), dan LG (dari kosmetik hingga elektronik).
Kebijakan ini mungkin mendapat kecaman dari mereka yang berpendapat bahwa pemerintah harus menyingkir. Namun kritik tersebut tidak berarti apa-apa ketika banyak negara, baik negara maju maupun berkembang, kini menerapkan kebijakan industri yang proaktif. Lebih jauh lagi, kritik tersebut bertentangan dengan kenyataan bahwa selama beberapa dekade perusahaan-perusahaan Indonesia belum melakukan diversifikasi secara memadai dari sektor-sektor tradisional. Tanpa terobosan kebijakan, dapatkah Indonesia terus melakukan hal yang sama dan mengharapkan hasil yang berbeda?
Hilirisasi 1.0 telah meletakkan landasan yang kokoh, namun sudah saatnya Indonesia meningkatkan upayanya menuju Hilirisasi 2.0, dimana keunggulan komparatif negara tidak lagi hanya terletak pada sumber daya alam namun juga kecerdikan masyarakatnya untuk memanfaatkan sumber daya tersebut semaksimal mungkin.