JAKARTA: Seorang pejabat dikecam karena menuntut 300 kali lipat anggaran yang dialokasikan untuk kementerian barunya. Undangan acara keluarga ditandai dengan kop surat resmi pemerintah.
Pemerintahan presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, mungkin baru berumur beberapa hari, namun kabinetnya sudah dirundung kontroversi.
Hanya sehari setelah Prabowo dilantik pada tanggal 20 Oktober, Menteri Hak Asasi Manusia yang baru diangkat, Natalius Pigai, langsung menuai kritik luas setelah ia mengeluh pada tanggal 21 Oktober bahwa kantor barunya hanya akan menerima anggaran tahunan sebesar 64 miliar rupiah (AS). $4 juta).
Natalius berpendapat anggaran sebesar 20 triliun rupiah lebih pas untuk kementerian yang baru dibentuk.
“Dari 20 triliun rupiah (yang dibutuhkan), hanya 64 miliar (yang disediakan). Impian, visi dan keinginan Presiden Indonesia tidak akan terwujud,” kata Menkeu seperti dikutip BBC Indonesia.
Beberapa politisi mengecam pernyataan tersebut, dengan mengatakan bahwa Natalius seharusnya membicarakan hal ini dengan Prabowo ketika ia menjabat alih-alih mengungkapkan ketidaksenangannya di depan umum.
“Permintaan ini seharusnya dibahas secara internal di pemerintahan terlebih dahulu,” kata Andreas Hugo Pareira, anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam sebuah pernyataan pada 24 Oktober.
“Setiap kenaikan (anggaran) signifikan yang dilakukan suatu kementerian akan berdampak pada anggaran kementerian atau sektor lain yang juga membutuhkan dana besar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.”
PDI-P bukan bagian dari koalisi yang berkuasa dan Prabowo belum menanggapi insiden tersebut.
Pada tanggal 22 Oktober, Yandri Susanto, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, mendapat kecaman karena mengirimkan undangan peringatan kematian ibunya menggunakan kop surat dan stempel kantor barunya, yang ditujukan untuk urusan resmi.
Pak Yandri mengatakan dia terlalu sibuk untuk menyadari bahwa stafnya mengirimkan undangan menggunakan kop surat.
“Saya masih baru menjadi menteri. Saya masih belajar,” kata Menkeu pada 23 Oktober seperti dikutip portal berita Bisnis Indonesia.
Begitu banyak drama dalam waktu singkat tidak mengejutkan para analis, mengingat beragamnya latar belakang profesional, asosiasi politik, dan pengalaman birokrasi Kabinet “Merah Putih” di bawah kepemimpinan Prabowo.
“Mereka berasal dari latar belakang berbeda dan mewakili kepentingan berbeda. Kontroversi ini muncul sebagai konsekuensi dari upaya Pak Prabowo untuk mengakomodasi para pendukungnya,” kata Hendri Satrio, seorang analis politik dari Universitas Paramadina Jakarta, kepada CNA.
Dengan total 116 posisi: 48 menteri, 56 wakil menteri, lima kepala badan dan tujuh utusan khusus, Kabinet Prabowo adalah yang terbesar yang pernah ada di negara ini dalam enam dekade.
Sebaliknya, pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo hanya memiliki 34 menteri dan 17 wakil menteri.
Presiden baru memutuskan untuk memisahkan beberapa kementerian seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipecah menjadi tiga lembaga berbeda: Kementerian Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan Tinggi, Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; dan kementerian kebudayaan.
Pak Prabowo berargumen bahwa penambahan posisi kabinet baru diperlukan agar setiap menteri bisa fokus pada peran tertentu dan dengan demikian meningkatkan kinerjanya.
Namun para analis mengatakan pertukaran politik bisa menjadi alasan sebenarnya di balik keputusan tersebut.
Hanya sekitar 20 posisi di kabinet yang dipimpin oleh Pak Prabowo yang diisi oleh akademisi dan teknokrat. Sisanya ditempati oleh politisi dari koalisi 11 partainya, pengusaha yang mendukung kampanyenya, dan mantan bawahan Prabowo di Kementerian Militer dan Pertahanan.
Hendri dari Universitas Paramadina mengatakan Kabinet yang begitu besar dan beragam rentan terhadap konflik dan perpecahan internal, sehingga mengurangi efektivitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
“Pak Prabowo perlu meninjau ulang kabinetnya secara berkala dan ia perlu mengambil tindakan tegas terhadap menteri-menteri yang berkinerja buruk jika ia ingin program-program utamanya berhasil,” katanya.
KABINET “CHUNKY”.
Prabowo memenangkan pemilihan presiden pada bulan Februari dengan dukungan sembilan partai politik.
Sejak saat itu, ia mampu merayu dua partai lainnya: Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera, setelah bertemu dengan para pemimpin kedua partai secara terpisah pada bulan Agustus untuk membahas antara lain kemungkinan mereka bergabung dengan Kabinet.
“Prabowo menginginkan stabilitas politik sehingga mereka yang tidak memiliki kursi (di parlemen) dapat diakomodasi dalam pemerintahannya,” kata Arya Fernandes dari lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta pada sebuah diskusi pada tanggal 25 Oktober.