Bayangkan sebuah dunia di mana ponsel cerdas, laptop, atau bahkan mobil Anda berhenti bekerja. Dunia ini tidak lama lagi jika Anda mempertimbangkan bahwa satu komponen kecil, semikonduktor, chip berbasis silikon yang menggerakkan hampir setiap aspek kehidupan modern, merupakan jantung dari semua teknologi.
Mulai dari peralatan medis dan energi ramah lingkungan hingga kecerdasan buatan dan pertahanan nasional, semikonduktor adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang menggerakkan sistem yang membuat dunia tetap berjalan. Keripik sudah menjadi bagian integral sehingga gangguan apa pun pada pasokannya akan menimbulkan guncangan pada perekonomian, industri, dan kehidupan sehari-hari.
Bagi kami, memasuki industri semikonduktor bukan hanya tentang bergabung dengan era digital; ini tentang mengambil kendali atas denyut nadi dunia modern. Membangun sektor semikonduktor di sini tidak hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi tetapi juga kemandirian dan keamanan berkat pengendalian teknologi yang mendorong inovasi global. Kita mempunyai kesempatan langka untuk menjadi yang terdepan dalam era baru, di mana mereka yang memimpin produksi chip akan membentuk masa depan.
Namun saat kita mengarahkan pandangan kita pada industri yang berisiko tinggi ini, perjalanan Amerika Serikat mengungkap potensi dan tantangannya. Amerika yang pernah menjadi pemimpin semikonduktor, beralih ke model “fabel” beberapa dekade yang lalu, dengan melakukan outsourcing produksi ke Asia, khususnya TSMC Taiwan, untuk memangkas biaya. Strategi ini tampaknya berhasil, hingga COVID-19 mengungkap kerentanan dalam mengandalkan produsen asing. Karena kekurangan chip yang parah semakin mempertegas risikonya, Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang CHIPS pada tahun 2022, dan menginvestasikan miliaran dolar untuk memulihkan basis manufakturnya.
Saat ini, AS berencana memproduksi 20 persen semikonduktor dunia pada tahun 2030. Namun upaya tersebut penuh dengan tantangan: kekurangan tenaga kerja terampil, jadwal proyek yang rumit, dan persaingan global dengan pesaing seperti Tiongkok yang mengerahkan sumber daya untuk kemampuan pembuatan chipnya sendiri. Meskipun keberhasilan awal, seperti pabrik TSMC di Arizona, menandakan kemajuan, para ahli memperingatkan bahwa diperlukan lebih banyak hal, dan menyerukan “CHIPS Act 2” yang berfokus pada pelatihan dan penelitian tenaga kerja.
Bagi kami, kebangkitan semikonduktor AS bukan sekadar berita utama; ini adalah cetak biru dan peluang. Dengan strategi yang tepat, kita dapat mewujudkan peran kita sendiri di dunia semikonduktor, merebut sebagian dari pasar penting ini dan memanfaatkan teknologi serta keterampilan yang menyertainya. Pengalaman AS mengungkap kenyataan pahit: membangun sektor semikonduktor membutuhkan lebih dari sekadar uang, hal ini memerlukan talenta terampil, kedalaman teknologi, dan ekosistem pendukung yang kuat.
Langkah pertama bagi kami sudah jelas: mengembangkan tenaga kerja terampil. Pembuatan dan desain chip yang canggih memerlukan keahlian khusus yang seringkali tidak dimiliki oleh negara-negara berkembang. Membangun kumpulan talenta ini berarti berinvestasi dalam program pelatihan dan menjalin kemitraan dengan universitas dan perusahaan teknologi global. Kolaborasi semacam ini dapat mempercepat jalur pendidikan, melatih para insinyur dan teknisi untuk mendorong ambisi kita di bidang semikonduktor. Dengan talenta lokal, kami bisa menjadi tujuan menarik bagi pembuat chip internasional yang ingin berekspansi.