Pekerjaan Jarak Jauh Dapat Merusak Budaya Kantor Dan Merugikan Kesehatan Mental Anda

Ketika kerja jarak jauh menjadi hal yang lazim dalam semalam, sepertinya masa depan pekerjaan telah tiba—kantor tiba-tiba menjadi ketinggalan jaman, perjalanan pulang pergi lenyap, dan karyawan menikmati fleksibilitas baru. Dunia usaha merayakan perubahan ini sebagai kemenangan bagi perusahaan dan pekerja.

Janji dari pekerjaan jarak jauh sangat menarik: produktivitas yang lebih tinggi, keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik, dan kebebasan untuk bekerja dari mana saja. Namun di balik visi utopis ini terdapat kenyataan yang jauh lebih gelap—yang mungkin berdampak pada kesehatan mental, mendorong isolasi, dan menghilangkan budaya yang membuat pekerjaan terasa manusiawi.

Ilusi Kebebasan

Sekilas, kerja jarak jauh terasa seperti pelarian dari kungkungan kehidupan kantor tradisional. Tidak ada lagi percakapan canggung di lift, tidak ada lagi makan siang di kafetaria yang mengecewakan, tidak ada lagi bilik yang menyesakkan. Namun apa yang awalnya terasa seperti kebebasan, bagi sebagian orang, dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menindas. Tanpa batasan yang secara alami disediakan oleh lingkungan kantor, pekerjaan menyerbu setiap sudut kehidupan. Meja dapur menjadi ruang konferensi, kamar tidur juga berfungsi sebagai ruang kerja, dan sofa—yang dulunya merupakan tempat untuk bersantai—kini menjadi tuan rumah bagi email larut malam dan tenggat waktu di menit-menit terakhir.

Perbedaan antara kehidupan pribadi dan profesional menjadi kabur, pekerjaan mulai memasuki malam hari, akhir pekan, dan bahkan hari libur. Teknologi yang seharusnya membebaskan kita—laptop, ponsel pintar, dan Slack—memastikan kita selalu berada dalam jangkauan, selalu diharapkan untuk merespons, selalu siap menerima panggilan. Ironisnya, tawaran otonomi untuk kerja jarak jauh dapat menjadi bentuk pengawasan terus-menerus, karena karyawan tidak pernah sepenuhnya “keluar”.

Kurangnya pemisahan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dapat menyebabkan kelelahan. Bagi banyak pekerja jarak jauh, perasaan “selalu bekerja” menjadi beban mental yang tidak dapat mereka hilangkan. Tanpa adanya sinyal yang jelas untuk meninggalkan pekerjaan—seperti meninggalkan kantor secara fisik—stres akan meningkat, dan tekanan kinerja menjadi tidak dapat dihindari.

Isolasi: Epidemi Tersembunyi

Isolasi mungkin merupakan efek samping paling berbahaya dari pekerjaan jarak jauh. Meskipun para introvert (seperti saya) mungkin pada awalnya menyukai lingkungan yang tenang dan bebas gangguan, tidak adanya hubungan antarmanusia yang nyata dapat mulai berdampak buruk pada semua orang. Kantor, dengan segala kekurangannya, memberikan peluang untuk kolaborasi spontan, penyelesaian masalah tatap muka, dan check-in informal dengan rekan kerja. Mungkin momen-momen ini—betapapun biasa-biasa saja—adalah perekat yang menyatukan hubungan di tempat kerja.

Jika tidak ada interaksi ini, karyawan akan dihadapkan pada pertemuan virtual yang bersifat transaksional dan dingin. Kelelahan saat melakukan zoom memang nyata, tetapi ini lebih dari sekadar kelelahan menatap layar sepanjang hari. Ini adalah keterasingan yang datang dari lingkungan video call yang steril dan impersonal. Ekspresi wajah lebih sulit dibaca, bahasa tubuh tidak terdengar, dan percakapan terstruktur secara kaku seputar agenda rapat, sehingga menyisakan sedikit ruang untuk diskusi organik.

Persahabatan yang pernah tumbuh subur di ruang kantor kini berubah menjadi rasa keterpisahan. Pekerja jarak jauh sering kali merasa terisolasi, tidak hanya dari rekan kerja mereka, namun juga dari misi perusahaan yang lebih besar. Tanpa ritual sosial sehari-hari dalam kehidupan kantor—istirahat makan siang, minum kopi, jalan-jalan bersama tim—karyawan akan mulai merasa seperti mereka bekerja dalam ruang hampa, terputus dari tim dan tujuan bersama.

Isolasi ini dapat menimbulkan konsekuensi kesehatan mental yang serius. Kesepian telah dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan bahkan memperpendek umur, menurut US Surgeon General's laporan tentang efek penyembuhan dari hubungan sosial dan komunitas. Bagi banyak pekerja, hilangnya komunitas dan terisolasinya pekerjaan jarak jauh memperburuk permasalahan ini, sehingga menyebabkan peningkatan risiko kelelahan dan pelepasan diri.

Matinya Budaya Kantor

Mungkin dampak paling besar dari kerja jarak jauh adalah terkikisnya budaya kantor. Budaya perusahaan—yang dulu ditentukan oleh nilai-nilai, ritual, dan hubungan bersama—dapat menjadi kenangan belaka bagi banyak tim jarak jauh. Kurangnya kedekatan fisik berarti bahwa norma-norma budaya lebih sulit untuk diperkuat, dan tanpa ritme alami kehidupan kantor, perusahaan-perusahaan akan kesulitan untuk mempertahankan rasa kesatuan yang pernah mendefinisikan norma-norma tersebut.

Budaya kantor bukan hanya tentang happy hour atau latihan membangun tim. Ini tentang perasaan memiliki yang tidak berwujud—mengetahui bahwa Anda adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri Anda sendiri, bahwa kontribusi Anda penting bagi tim, dan bahwa Anda berupaya mencapai tujuan bersama. Di lingkungan terpencil, titik kontak ini mudah hilang. Pesan kendur dan panggilan Zoom adalah pengganti yang buruk untuk interaksi sehari-hari yang secara organik menumbuhkan kepercayaan dan kolaborasi.

Bagi karyawan baru, tantangannya lebih besar. Bergabung dengan perusahaan dari jarak jauh berarti kehilangan cara-cara halus dalam menyerap budaya—dengan mengamati bagaimana rekan kerja berinteraksi, memahami aturan tidak tertulis di kantor, dan merasakan langsung lingkungan perusahaan. Tanpa pengalaman ini, banyak pekerja jarak jauh merasa terkatung-katung, kesulitan untuk berasimilasi dengan budaya yang tidak dapat mereka lihat atau sentuh.

Bahkan perusahaan yang bangga memiliki budaya yang kuat pun mengalami kesulitan untuk menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam lingkungan virtual. Banyak yang mengandalkan kesenangan yang dipaksakan—happy hour virtual, malam permainan Zoom, dan latihan membangun tim—untuk mengisi kesenjangan tersebut, namun upaya ini sering kali terasa hampa dan performatif. Tanpa adanya hubungan antarmanusia yang sejati, aktivitas-aktivitas ini hanya dianggap sebagai gangguan digital.

Dampak Kesehatan Mental

Peralihan ke pekerjaan jarak jauh juga membawa dampak buruk yang signifikan terhadap kesehatan mental. Sebelum pandemi ini, banyak perusahaan mulai memperhatikan kesejahteraan mental karyawan dengan lebih serius, dengan menawarkan program mindfulness, tunjangan kesehatan, dan akses ke profesional kesehatan mental. Namun peralihan mendadak ke pekerjaan jarak jauh—ditambah dengan tekanan menghadapi krisis global—telah menciptakan badai besar yang menyebabkan meningkatnya masalah kesehatan mental.

Tanpa rutinitas dan struktur kehidupan kantor, banyak pekerja jarak jauh melaporkan merasa cemas dan kewalahan. Isolasi, kurangnya batasan, dan konektivitas yang konstan menyisakan sedikit ruang untuk dekompresi. Meskipun beberapa perusahaan telah mengakui dampak buruk terhadap kesehatan mental akibat kerja jarak jauh dengan mendorong karyawannya untuk mengambil hari kesehatan mental atau menerapkan hari “tidak ada rapat”, solusi-solusi ini sering kali gagal. Pekerja jarak jauh sering kali merasa bersalah karena mengundurkan diri karena takut dianggap kurang produktif atau kurang berkomitmen dibandingkan rekan mereka yang bekerja di kantor.

Tidak adanya isyarat fisik mempersulit manajer untuk memperhatikan ketika seorang karyawan sedang mengalami kesulitan. Di lingkungan kantor, lebih mudah untuk mendeteksi tanda-tanda kelelahan yang tidak kentara—kelelahan, mudah tersinggung, ketidakhadiran—tetapi di dunia maya, tanda-tanda peringatan ini bisa luput dari perhatian hingga semuanya terlambat.

Bagi sebagian orang, isolasi pekerjaan jarak jauh telah mengubah rumah mereka menjadi semacam penjara yang dibuat sendiri, di mana pekerjaan tidak bisa dihindari dan kesejahteraan pribadi dikorbankan demi produktivitas. Ketegangan mental akibat harus menghadapi pekerjaan, kehidupan rumah tangga, dan ekspektasi akan ketersediaan yang konstan membuat banyak pekerja kehabisan tenaga, sehingga mempertanyakan keberlanjutan pekerjaan jarak jauh dalam jangka panjang.

Mencapai Keseimbangan: Model Hibrida

Ketika dunia sedang menyesuaikan diri dengan kenyataan pascapandemi, perusahaan harus bergulat dengan dampak nyata dari kerja jarak jauh. Meskipun transisi ini menawarkan kemudahan yang tak terbantahkan—tidak perlu bepergian, jadwal fleksibel, dan akses ke kumpulan talenta global—jelas juga bahwa ada sesuatu yang mendasar yang hilang dalam transisi ini. Janji dari kerja jarak jauh adalah cara kerja yang lebih seimbang dan manusiawi. Namun bagi sebagian orang (bisa dibilang banyak orang), hal ini justru memberikan hasil yang sebaliknya: pemutusan hubungan, kelelahan, dan kematian perlahan dari budaya kantor yang dulunya semarak.

Meskipun kerja jarak jauh memiliki tantangan tersendiri, kembali ke kehidupan kantor secara penuh belum tentu merupakan solusinya: pilihan hybrid adalah solusinya. Kunci dari pekerjaan jarak jauh yang berkelanjutan terletak pada penetapan batasan dan ekspektasi yang jelas. Perusahaan dapat mendorong karyawan untuk melepaskan diri dari aktivitas sehari-hari setelah jam kerja dan menerapkan praktik yang membina koneksi, bahkan di ruang virtual. Hari-hari di kantor yang terjadwal, dikombinasikan dengan fleksibilitas jarak jauh, menawarkan jalan tengah yang mencegah isolasi namun tetap memberikan otonomi yang dihargai oleh banyak orang.

Keseimbangan ini mengakui bahwa tidak ada solusi yang bisa diterapkan untuk semua masalah. Dengan mengadaptasi model kerja terhadap kebutuhan individu dan perusahaan, organisasi dapat mempertahankan produktivitas dan kesejahteraan karyawan tanpa mengorbankan budaya dan koneksi yang menjadikan pekerjaan bermakna.

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here