India terkenal secara global karena industri filmnya yang berkembang pesat. Pada tahun 2023 saja, India memproduksi 1.796 film yang mengejutkan menurut statista.com, dalam berbagai bahasa, menjadikannya produser film terkemuka di dunia. Sinema India membanggakan keberagaman dan hasil luar biasa yang tak tertandingi secara global. Namun, bagi negara yang memproduksi film lebih cepat dibandingkan negara lain, jumlah teater di India menceritakan kisah yang sangat berbeda – sebuah paradoks yang mengungkap seberapa jauh sinema India harus melangkah dalam menjangkau banyak sekali penonton pencinta film.
Angka-angka di Balik Kekeringan Layar
Jika kita melihat angka-angkanya, kesenjangannya sangat mencengangkan. India baru memiliki sekitar 11.000 layar yang terdaftar di situs web Pemerintah. Yang aktif jauh lebih sedikit dan diperkirakan berjumlah sekitar 9.000. Itu berarti kita memiliki satu layar untuk setiap 1,5 lakh populasi. Bandingkan dengan AS yang memiliki 1 layar per 8.500 orang dan Tiongkok dengan 1 layar per 17.000 orang. Bahkan negara yang relatif kecil seperti Korea Selatan memiliki 2.700 layar untuk populasi 5 crore, setara dengan kepadatan di Tiongkok.
Bagi pembaca awam, hal ini mungkin tampak seperti perbedaan angka saja, namun penting untuk mempertimbangkan dampak dari angka-angka tersebut. India, dengan populasi melebihi 1,4 miliar, memiliki 9.000 layar aktif, dibandingkan dengan 40.000 layar di Amerika Serikat (populasi: 34 crore) dan 80.000 layar aktif di Tiongkok (populasi: 141 crore). Hal ini berarti bahwa jutaan orang India tidak dapat menonton film di bioskop karena tidak tersedianya film di wilayah mereka dan bukan karena mereka tidak ingin menontonnya.
Peluang Box Office yang Terlewatkan?
Jumlah bioskop di India yang sedikit tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan bagi penonton bioskop; ini juga merupakan peluang pendapatan besar yang lolos. milik India kantor tiket pendapatannya, meskipun produksi filmnya sangat besar, berada di kisaran 12.000 crore atau $1,47 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat, yang menghasilkan $9 miliar pada tahun 2023 di dalam negeri, atau Tiongkok, yang pendapatan box office-nya melampaui $7,7 miliar pada tahun yang sama. Perkiraan menunjukkan bahwa box office India bisa meningkat dua kali lipat, mencapai $5 miliar jika jumlah bioskop diperluas untuk memenuhi permintaan.
Kesenjangan Perkotaan-Pedesaan: Siapa yang Bisa Pergi ke Bioskop?
Kelangkaan bioskop bahkan lebih jelas terlihat ketika kita mempertimbangkan kesenjangan antara kota dan desa di India. Kota-kota seperti Mumbai, Delhi, dan Bengaluru memiliki akses layar yang relatif lebih tinggi, meskipun masih jauh di bawah tolok ukur global. Namun di daerah pedesaan, dimana lebih dari 65% penduduk India tinggal, menonton film di bioskop memerlukan perjalanan jarak jauh ke layar terdekat, sehingga hal ini menjadi penghalang yang signifikan bagi banyak calon penonton bioskop.
Kekurangan ini berdampak besar pada industri film regional, dengan bahasa-bahasa seperti Marathi, Bhojpuri, dan Assam seringkali kekurangan ruang layar, terutama di wilayah di mana bahasa-bahasa tersebut digunakan.
Masalah lain yang mengganggu bisnis teater adalah masalah harga. India memiliki pendapatan per kapita sebesar $2.800; bandingkan dengan Tiongkok dan AS yang mempunyai $12.400 dan $72.000. Jadi, kita tertinggal jauh dalam hal pendapatan dan jika kita melihat nilai tukar dalam hal PPP (Purchasing Power Parity) satu dolar terhadap rupee berada pada angka 22. Sekarang jika kita mengambil ATP dari PVR Inox, jumlahnya sekitar 260 , yang dalam hal PPP adalah $11,8 dan itu adalah ATP di seluruh Bioskop AS. Jadi, dengan pendapatan nasional rata-rata sebesar 4%, peserta pameran terbesar kami mengenakan harga yang sama dengan Bioskop AS. Kami secara efektif telah mengalahkan harga orang biasa dari Bioskop.
Ekonomi Membangun Lebih Banyak Teater
Orang mungkin bertanya-tanya mengapa, mengingat besarnya permintaan, belum banyak bioskop yang bermunculan di seluruh negeri. Jawabannya terletak pada kombinasi biaya ekonomi, regulasi, dan real estate. Membangun teater di India bisa menjadi upaya berbiaya tinggi, seiring dengan melonjaknya harga properti, terutama di wilayah metropolitan. Selain itu, peraturan yang ketat mempersulit operator teater untuk tetap memperoleh keuntungan.
Pemerintah Tiongkok mensubsidi bioskop-bioskop di daerah-daerah kurang berkembang, menghadirkan bioskop ke masyarakat pedesaan dan menghasilkan jumlah box office yang besar. Contohnya, Tiongkok memiliki 3.527 layar pada tahun 2007 dan sekarang berjumlah lebih dari 80.000 layar.
Apa Selanjutnya untuk Sinema India?
Kekurangan teater di India bukan hanya masalah logistik; ini merupakan rintangan yang menghalangi pertumbuhan sinema India, baik secara artistik maupun ekonomi.
Untuk mencapai hal ini, diperlukan pendekatan multi-cabang. Pemerintah dapat memberi insentif pada pembangunan teater, terutama di daerah pedesaan, dengan keringanan pajak, sewa tanah, dan subsidi. Investasi sektor swasta, mungkin melalui kemitraan pemerintah-swasta, juga dapat memainkan peran penting dalam menjembatani kesenjangan perkotaan dan pedesaan. Yang terakhir, layar-layar baru perlu memenuhi kebutuhan terbawah dan menjadikan tontonan Bioskop terjangkau seperti dulu.
Paradoks sinematik India—yang memproduksi film terbanyak di dunia namun menyediakan layar per kapita paling sedikit—adalah pengingat yang tajam akan potensi yang belum dimanfaatkan dalam industri film di negara tersebut. Dengan investasi yang lebih besar, dukungan pemerintah, dan komitmen untuk memperluas infrastruktur bioskop bagi masyarakat umum, India dapat segera mengubah paradoks ini menjadi kenyataan baru. Lagi pula, di negara yang menganggap bioskop lebih dari sekedar hiburan, menyediakan akses yang lebih mudah ke bioskop sama pentingnya dengan membuat film itu sendiri. Negara pembuat film terbesar di dunia juga layak menjadi negara pembuat film terbesar di dunia.