“Sindrom teman sekamar” terjadi ketika hubungan yang tadinya saling mencintai mulai terasa lebih seperti sebuah perjanjian hidup daripada sebuah kemitraan. Pasangan dalam keadaan ini kemungkinan besar merasakan keterputusan emosional yang parah; mereka berfungsi sebagai teman serumah yang berbagi tanggung jawab, namun tidak memiliki kedekatan yang mendefinisikan hubungan yang sehat. Alih-alih menjadi kekasih atau sahabat, mereka menjadi dua orang yang sekadar berbagi tempat.
Berikut tiga cara munculnya sindrom teman sekamar, menurut penelitian psikologis—serta cara mengenali tanda-tanda dalam hubungan Anda sendiri.
1. Anda Menjalani Kehidupan yang Sepenuhnya Terpisah
Pasangan dengan sindrom teman sekamar kemungkinan besar memiliki hobi, rutinitas, dan lingkaran sosial yang sangat berbeda. Walaupun hal ini, jika dilihat secara langsung, mungkin tidak tampak seperti tanda bahaya, masalah nyata dapat muncul ketika pasangan menghabiskan sedikit atau tidak sama sekali waktu bersama di luar tugas atau tanggung jawab sehari-hari.
Pasangan seperti itu sering kali mendapati diri mereka melakukan hal-hal mereka sendiri—entah itu pergi bersama teman, melakukan hobi solo, atau bahkan sekadar menjalani kehidupan sehari-hari dalam isolasi. Ini bukan berarti menikmati waktu sendirian atau mengejar kepentingan pribadi itu bermasalah. Sebaliknya, kekhawatirannya adalah kehidupan mereka mungkin tidak saling tumpang tindih; mereka beroperasi seperti dua individu independen yang kebetulan tinggal di bawah satu atap.
Menariknya, penelitian mendukung gagasan bahwa menginvestasikan waktu dalam hubungan adalah kunci untuk menjaga kesehatannya. Sebuah tahun 2020 belajar diterbitkan di Buletin Psikologi Kepribadian dan Sosial menemukan bahwa pasangan yang secara aktif menginvestasikan waktu mereka pada satu sama lain memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih tinggi. Namun, hal ini hanya berlaku pada pasangan yang sudah memiliki hubungan yang berkualitas dan memuaskan. Jika fondasi hubungan goyah atau tidak memuaskan, investasi tersebut mungkin tidak menghasilkan peningkatan kebahagiaan—itulah sebabnya beberapa pasangan yang terjebak dalam sindrom teman sekamar tidak merasakan dorongan untuk menghabiskan waktu bersama.
Luangkan waktu sejenak untuk merenungkan hubungan Anda. Apakah menghabiskan waktu bersama terasa seperti sesuatu yang benar-benar Anda nanti-nantikan, atau malah menjadi tanggung jawab yang dengan enggan Anda penuhi? Saat berusaha demi pasangan Anda terasa lebih seperti sebuah kewajiban—sebuah tugas yang tidak ada habisnya—itu tandanya ikatan emosional di antara Anda telah melemah.
Meskipun tuntutan hidup kadang-kadang menarik Anda ke arah yang berbeda adalah hal yang wajar, suatu hubungan mungkin mulai terasa lebih seperti perjanjian bisnis jika Anda tidak lagi menjadikan satu sama lain sebagai prioritas. Pikirkan terakhir kali Anda benar-benar menikmati kebersamaan dengan pasangan Anda, tanpa gangguan atau rasa tanggung jawab. Jika hal ini sulit untuk diingat, mungkin ini saatnya untuk mengatasi betapa terputusnya hubungan Anda.
2. Jarang Berhubungan Intim Satu Sama Lain
Keintiman, baik seksual maupun kasih sayang, sangat penting dalam hubungan yang sehat. Namun ketika hal tersebut mulai terasa rutin atau performatif—atau jika hasrat mulai berkurang sama sekali—kedua pasangan pasti merasa tidak terhubung. Seks mungkin terasa seperti sebuah kewajiban dibandingkan momen yang penuh gairah, dan gerakan kecil—seperti berpegangan tangan, berpelukan, atau berciuman—mungkin terasa tidak menyenangkan atau tidak diperlukan.
Peran hasrat, khususnya, ditekankan pada tahun 2019 belajar diterbitkan di Perbedaan Kepribadian dan Individu. Para penulis mencatat bahwa pasangan yang mempertahankan hasrat seksual yang kuat dan tersirat terhadap satu sama lain cenderung memiliki kehidupan seks yang lebih memuaskan dan responsif. Artinya, ketika pasangan benar-benar menginginkan satu sama lain secara fundamental, emosional, dan fisik, kehidupan seks mereka akan tetap bersemangat, aktif, dan menyenangkan bersama. Namun, ketika hasrat itu berkurang, mungkin juga terjadi penarikan diri secara emosional yang lebih dalam.
Renungkan bagaimana keintiman—atau ketiadaan keintiman—telah terlihat dalam hubungan Anda. Apakah kasih sayang fisik menjadi langka atau mekanis, lebih seperti tugas yang harus dilakukan daripada sesuatu yang Anda berdua idamkan? Penting untuk diingat bahwa keintiman tidak lebih dari sekedar seks. Sebaliknya, hal ini paling terlihat dalam cara-cara kecil Anda menunjukkan cinta dan perhatian satu sama lain—seperti pelukan setelah hari yang melelahkan atau ciuman selamat tinggal di pagi hari.
Ketika momen-momen keterhubungan itu hilang, mudah bagi pasangan untuk merasa lebih seperti kenalan jauh daripada sahabat romantis. Jika gagasan tentang kedekatan fisik terasa canggung, asal-asalan, atau sesuatu yang ingin Anda hindari, ada baiknya mempertimbangkan apakah hubungan emosional di antara Anda sudah mulai terurai menjadi dinamika seperti teman sekamar.
3. Anda Tidak Banyak Bicara Tentang Apa Pun
Komunikasi adalah tulang punggung hubungan apa pun, dan karena itu, jika tidak ada komunikasi, pasangan akan merasa sangat terpisah. Namun, pasangan dengan sindrom teman sekamar tidak akan menghindari percakapan yang sulit—mereka kemungkinan besar tidak akan membicarakan apa pun satu sama lain.
Pasangan dengan sindrom teman sekamar mungkin tidak melihat ada gunanya bertanya satu sama lain tentang hari-hari mereka atau berbagi pemikiran atau perasaan. Faktanya, mereka mungkin tidak mengobrol dengan santai sama sekali—mungkin karena mereka kehabisan hal untuk dibicarakan. Dan, tanpa dialog yang terbuka, bijaksana, atau bahkan sekadar menyenangkan, mereka akan segera merasa dirugikan secara emosional dan sosial.
Pentingnya komunikasi yang tulus dan terbuka dalam menjaga hubungan yang sehat ditonjolkan pada tahun 2021 belajar dari Jurnal Etika dalam Ilmu Sosial. Sebagaimana dicatat oleh penulis, “Komunikasi yang efektif didasarkan pada prinsip keterbukaan terhadap orang lain dan ketulusan.” Dengan kata lain, keterbukaan satu pihak akan melahirkan keterbukaan pihak lain. Namun ketika ketulusan itu memudar, hubungan itu bisa terasa hampa; mereka mungkin tidak lagi merasa aman atau terhubung secara emosional, apalagi seolah-olah mereka memiliki kesamaan atau berbagi satu sama lain.
Pikirkan tentang peran komunikasi dalam hubungan Anda. Kapan terakhir kali Anda melakukan percakapan bermakna dengan pasangan—yang melampaui urusan logistik kehidupan sehari-hari? Jika obrolan santai tentang pikiran, impian, atau bahkan bagaimana hari Anda menjadi jarang terjadi, ini merupakan indikator kuat bahwa jarak emosional telah terjadi.
Seiring waktu, kurangnya komunikasi ini dapat menyebabkan pasangan merasa seolah-olah mereka tinggal bersama orang asing, seseorang yang hampir tidak mereka kenal atau pahami lagi. Ketika pasangan berhenti membicarakan sesuatu yang penting—atau apa pun—itu adalah tanda jelas bahwa hubungan tersebut memudar. Tanyakan pada diri Anda: Apakah Anda masih merasa ada hal yang perlu dibicarakan dengan pasangan, atau apakah keheningan menjadi terlalu nyaman?
Apakah pasangan Anda lebih merasa seperti teman sekamar daripada kekasih? Ikuti tes berbasis bukti ini untuk mengetahui: Kesepian Dalam Skala Hubungan Intim