“Kretek “Sangat dekat dengan masyarakat kita, dari Sabang sampai Merauke. Memasuki ceruk budaya,” kata Khoirul Atfifudin, juru bicara Komunitas Kretek, yang mengadvokasi kebijakan pro-tembakau. Kretek adalah rokok khas Indonesia yang memadukan tembakau dengan cengkeh, sehingga menghasilkan batang rokok yang rasanya manis dan kabut tebal saat dibakar.
“Kami menolak pasal-pasal terkait tembakau dalam peraturan kesehatan terbaru, yang salah satunya berisi larangan penjualan rokok eceran. Kami berpihak pada pedagang kecil, karena larangan ini akan (merugikan) mereka. Kami meminta pendapat pedagang kecil tentang larangan penjualan rokok eceran, dan mereka tidak setuju.”
Sebungkus rokok sekarang harus berisi setidaknya 20 batang rokok, yang pada akhirnya mengakhiri penjualan bungkus rokok yang lebih murah dengan isi 12 atau 16 batang rokok.
Usia minimum pembelian juga telah dinaikkan dari 18 tahun menjadi 21 tahun. Peraturan baru tersebut tidak mencakup hukuman atau sanksi bagi vendor atau produsen yang melanggar aturan.
“Penjualan eceran (bisa mempromosikan) produk-produk yang mudah dijangkau oleh perokok pemula, anak-anak, dan remaja, yang konsumsinya memang ingin kita kurangi,” kata Indah Febrianti, Kepala Divisi Hukum Kementerian Kesehatan, dalam keterangan tertulisnya, 2 Agustus lalu.
Kecintaan pada rokok
Indonesia memiliki salah satu tingkat perokok tertinggi di dunia: dari populasi 270 juta, 70 juta adalah perokok aktif, menurut Survei Kesehatan Indonesia tahun lalu. Merokok di bawah umur juga masih menjadi tantangan: 7,4 persen perokok tahun lalu berusia 10-18 tahun, dengan usia 15-19 tahun menjadi kelompok usia pertama merokok tertinggi yaitu 56,5 persen.
Berbeda dengan di negara-negara Barat, tidak ada stigma yang melekat pada rokok, dan Khoirul dari Komunitas Kretek mengatakan bahwa rokok adalah “seni” tersendiri.
“Dengan merokok, saya selalu punya teman. Saat saya mengantuk, saat saya harus bekerja, saat saya masih mahasiswa, saat saya mengerjakan tugas, rokok adalah teman saya,” kata perempuan berusia 23 tahun itu.
Khoirul, yang mulai merokok saat berusia 20 tahun, mengatakan kelompoknya mendukung upaya pemerintah untuk mengurangi perokok di bawah umur, tetapi tidak melalui tindakan yang merugikan usaha kecil dan pekerja tembakau.
“Mungkin pihak berwenang harus mewajibkan konsumen menunjukkan kartu identitas saat membeli rokok, dan memperkuat pengawasan (terhadap penerapan kebijakan), kami akan mendukung itu,” katanya.
Langkah-langkah yang lebih ketat
Namun, peraturan pengendalian tembakau terbaru disambut baik oleh aktivis antitembakau, meskipun mereka menuntut pembatasan lebih lanjut dari Jakarta.
Yolonda C. Richardson, presiden dan kepala eksekutif Campaign for Tobacco-Free Kids yang berpusat di Washington, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa organisasi tersebut memuji Widodo karena menandatangani peraturan tersebut, dan mendesak pemerintah untuk menerapkannya meskipun ada “campur tangan dari perusahaan-perusahaan tembakau yang pasti akan terus berlanjut.”
“Pemerintah Indonesia juga harus lebih melindungi masyarakat Indonesia dengan menaikkan harga tembakau secara drastis, menyederhanakan sistem pajak tembakau yang rumit, dan mewajibkan tempat umum dalam ruangan 100 persen bebas asap rokok,” kata pernyataan itu.
Di Indonesia, sebatang rokok hanya berharga 2.000 rupiah (12 sen) di kios yang dikelola keluarga, sementara sebungkus biasanya berharga sekitar 30.000 rupiah (US$1,86).
“Salah satu faktor penentu yang menyebabkan darurat rokok begitu mengkhawatirkan adalah 'keajaiban' iklan. Dalam penelitian (kami), 71 persen perokok pelajar mengatakan bahwa iklan rokok bersifat kreatif atau inspiratif, yang merangsang mereka untuk merokok. Di Asean, hanya Indonesia yang masih mengizinkan iklan rokok. Sulit untuk menghilangkan epidemi merokok tanpa kebijakan larangan iklan,” kata Fanani.
Ia juga mendesak pihak berwenang untuk mengharuskan produsen mencantumkan peringatan kesehatan bergambar yang menutupi 80 persen bungkus rokok, naik dari hanya 50 persen yang diamanatkan saat ini.
Ahmad Fuady, asisten profesor di fakultas kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan pengendalian tembakau merupakan hasil dari “tawar-menawar politik” antara pemerintah dan perusahaan rokok besar.
“Dalam peraturan pemerintah ini, meskipun sudah ada kemajuan, saya tidak melihat adanya keharusan untuk menaikkan cukai rokok, tidak ada mekanisme sanksi bagi mereka yang menjual rokok satuan. Ini tidak akan banyak mempengaruhi peredaran penjualan rokok di kalangan remaja,” katanya.
Di Indonesia, industri tembakau mempekerjakan banyak tenaga kerja dan menyumbang miliaran dolar bagi kas pemerintah. Hingga Mei, pendapatan dari cukai tembakau mencapai 77,94 triliun rupiah (US$4,8 miliar) dari total penerimaan bea dan cukai sebesar 81,2 triliun rupiah. Industri ini juga mempekerjakan 5,98 juta pekerja, hingga tahun lalu, menurut Kementerian Perindustrian.