ASIA/INDONESIA – Mengikuti Yesus di Tanah “Pancasila”. Wawancara dengan Kardinal Jakarta Ignazio Suharyo (I/II)

ASIA/INDONESIA – Mengikuti Yesus di Tanah “Pancasila”. Wawancara dengan Kardinal Jakarta Ignazio Suharyo (I/II)

ASIA/INDONESIA – Mengikuti Yesus di Tanah “Pancasila”. Wawancara dengan Kardinal Jakarta Ignazio Suharyo (I/II)

oleh Paolo Affatato

Jakarta (Kantor Berita Fides) – Memasuki kompleks katedral Jakarta – yang dinamai sesuai dengan nama Bunda Maria Diangkat ke Surga – terdapat pajangan dengan gambar Paus Fransiskus yang sedang menghitung mundur, memberi tahu umat berapa hari lagi sebelum kedatangannya di ibu kota Indonesia. Penghitung waktu yang sama ditemukan di dalam gereja, tempat umat berhenti untuk berdoa di depan patung Pietà, atau di depan Perawan yang berwajah Indonesia. Di seberang jalan, orang dapat melihat masjid Istiq 'lal yang megah, dan di sana, tempat pertemuan antaragama dengan Paus akan diadakan, persiapan juga sedang dilakukan.
Dalam suasana penantian atas kunjungan Paus Fransiskus, Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Uskup Agung Jakarta sejak 2010, dalam wawancaranya dengan Kantor Berita Fides (diterbitkan dalam dua bagian) menguraikan alasan di balik ziarah kepausan tersebut, dan harapan-harapan yang ditimbulkannya di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Kardinal Suharyo, dapatkah Anda melukiskan gambaran Gereja Katolik di Indonesia?

Indonesia adalah negara yang sangat luas dan situasinya sangat bervariasi, dari pulau ke pulau, di semua tingkatan: geografi fisik, konteks sosial, budaya dan agama, tingkat pembangunan dan pendidikan. Keragaman yang besar ini tentu saja merupakan kekayaan tetapi juga secara objektif merupakan masalah, yaitu tantangan yang harus dihadapi demi persatuan bangsa. Secara umum, umat Katolik di Indonesia hidup rukun dengan seluruh bangsa, dengan berbagai komponen masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Mengenai luas dan keberadaan Gereja Katolik di kepulauan ini, kita juga dapat melihat perbedaan yang luas: jika kita pergi ke Flores, di provinsi Nusa Tenggara Timur, kita menemukan sebuah pulau yang mayoritas penduduknya beragama Katolik; di Sumatera Barat, persentase itu mendekati nol. Dalam situasi yang sangat beragam, dengan demikian, kriteria umum adalah untuk hidup dan memberi kesaksian tentang iman kita dengan kesederhanaan dan kelembutan, dan menikmati hubungan baik dengan semua orang lainnya. Menurut data Konferensi Waligereja Indonesia, terdapat sekitar 10,5 juta umat Katolik di 34 provinsi di Indonesia, dari lebih dari 275 juta penduduk.

Bisakah Anda memberikan sedikit latar belakang sejarah tentang keberadaan agama Katolik di Indonesia?

Setelah kontak pertama dengan beberapa misionaris Fransiskan pada abad ke-14, misionaris Portugis pertama tiba di wilayah Maluku pada awal tahun 1500-an dan membawa Injil ke sana. Rasul besar Santo Fransiskus Xaverius, santo pelindung misi, juga mendarat pada pertengahan tahun 1500-an dan aktif di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Indonesia. Kemudian, dengan kehadiran penjajah Belanda yang mendukung Calvinisme (yang bertahan di sana selama 350 tahun), penyebaran iman Katolik terhambat dan mengalami kemunduran. Baru pada abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan misi kepada umat Katolik. Di Jawa, kita mengingat kehadiran misionaris Belanda Frans Van Lith, yang pada awal tahun 1900-an menyebarkan Injil di pusat pulau dan mendirikan Seminari pertama.
Kisah ini sangat panjang, dan periode terakhirnya, yang paling dekat dengan kita, dimulai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1947. Perlu diingat bahwa pada saat itu Takhta Suci adalah salah satu yang pertama mengakui negara baru yang telah memperoleh kemerdekaan. Sejak tahun 1947, perwakilan Vatikan telah hadir secara resmi di Jakarta. Ini adalah titik penting dalam sejarah Gereja Katolik di Nusantara. Dan, jika kita mundur selangkah, sebelum kemerdekaan, para misionaris Katolik yang hadir dekat dengan penduduk setempat dan berbagi kerinduan mereka untuk menjadi sebuah negara, yang telah terwujud pada awal Abad ke-20.

Bagaimana kedekatan ini terwujud?

Pada masa penjajahan, awalnya Belanda dan kemudian Jepang – pada masa Perang Dunia Kedua – para misionaris menyatakan visi mereka untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dengan sangat jelas. Terlebih lagi setelah Surat Apostolik Benediktus XV Maxixmum Illud. Saya ingin mengingat, misalnya, sosok seorang Jesuit yang pada tahun 1940 menjadi uskup Indonesia pertama: Alberto Soejapranata, seorang mahasiswa di Seminari Van Lith, yang saat ini menjadi salah satu pahlawan nasional yang diakui oleh Negara. Soejapranata secara eksplisit mempromosikan kemerdekaan bangsa, dalam sebuah gerakan besar yang mencakup banyak jiwa, seperti yang komunis, Islam, dan nasionalis.

Maka sejak awal umat Katolik Indonesia merasa terintegrasi sepenuhnya dengan bangsa ini.

Dapat dikatakan bahwa mereka telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya sejak awal. Bahkan hingga hari ini kita sama-sama mengenang dan mengingat semboyan Uskup Alberto Soejapranata: menjadi seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia. Kita dapat mengatakan bahwa di mana-mana, di seluruh Indonesia, umat Katolik mengalami semangat kebersamaan ini. Yang ingin disampaikannya adalah bahwa, sebagai umat Katolik, kita menyadari bahwa kita dipanggil untuk menjadi orang kudus, untuk mengikuti jejak Kristus, untuk menjadi saksi-saksi-Nya di belahan dunia ini. Dan sebagai orang Indonesia, kita mencintai negara kita, melihatnya dan menjalaninya dengan inspirasi iman kita. Dalam sejarah kita saat ini, semangat ini berarti menjadi murah hati, beramal, berbelas kasih terhadap negara kita, terhadap seluruh penduduk Indonesia yang sangat banyak.

Bagaimana pendekatan ini mengekspresikan dirinya saat ini dalam konteks Indonesia yang spesifik, yang begitu luas dan jamak?

Sikap cinta tanah air tersebut pada masa kini diwujudkan dan diperjelas dalam pengamalan sehari-hari nilai-nilai Pancasila, Piagam Lima Sila yang menjadi dasar Undang-Undang Dasar.
Saya ingin memberi contoh yang praktis: di Keuskupan Agung Jakarta, dalam kurun waktu lima tahun dari 2016 sampai 2020, setiap tahun kita sebagai jemaat merenungkan salah satu sila Pancasila, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, mempertimbangkannya dari sudut pandang iman kita yang khusus, sehingga makin memperkokoh iman kita dan juga rasa memiliki kita terhadap Indonesia.
Kami mempelajari prinsip pertama – iman kepada satu Tuhan – dalam terang dokumen Deus Caritas Est dan kami merayakan Yubelium Kerahiman tahun itu: Tuhan itu penuh kasih dan penyayang kepada kita. Prinsip kedua adalah kemanusiaan. Pertanyaan yang kami ajukan kepada diri sendiri adalah pertanyaan tentang Injil: siapakah sesamaku? Jika kita mempertimbangkan bahwa Indonesia terdiri dari lebih dari tujuh ribu kelompok etnis, dengan budaya, sejarah, tradisi yang berbeda. Sesamaku adalah setiap orang dari mosaik Indonesia yang luas ini.
Dalam mengaktualisasikan sila ketiga, persatuan Indonesia, kita telah melihat bahwa ada konsekuensi langsung: kita berbeda-beda tetapi semua terikat oleh kemanusiaan yang sama, dan ini membangun persatuan negara. Semboyan Indonesia adalah “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kita, khususnya, ingin mengungkapkannya dalam ibadat kepada Maria, yang mewakili Perawan Maria, ibu kita – yang memiliki berbagai macam figur dan wajah, tergantung pada gaya dan budaya Indonesia – dengan wajah yang sama untuk semua: maka lahirlah “Maria, ibu dari semua suku bangsa”, yang diwakili dengan warna-warna negara dan dengan burung garuda, burung elang nasional, dan patung itu ada di Katedral Jakarta. Kita juga berdoa dan membagikan ribuan karangan bunga rosario dengan warna putih dan merah, warna nasional kita.

Bagaimana Anda mengaktualisasikan dua sila terakhir Pancasila?

Untuk prinsip keempat, demokrasi yang digerakkan oleh hikmat, kita memperdalam pemahaman kita tentang hikmat Kristiani, berkat pembedaan komunitas, sebuah pengalaman sinodalitas mendalam yang membawa kita kembali ke asal-usul bangsa Indonesia, dan menuntun kita untuk memikirkan masa depan kita bukan secara individu tetapi bersama-sama, dan sebagai sebuah komunitas yang tertanam dalam sebuah negara yang lebih besar. Kita juga berkesempatan untuk merenungkan hierarki dalam Gereja, yang masuk akal hanya jika dipahami sebagai sebuah pelayanan, dan dialami melalui metode mendengarkan, karena Roh Kudus berbicara dalam komunitas: dengan demikian prinsip demokrasi masuk, dalam beberapa cara, juga ke dalam kehidupan komunitas gerejawi, dengan praktik sinodalitas.
Dalam menangani prinsip kelima, keadilan sosial, pandemi telah tiba dan kita menjadi jauh lebih mampu merasakan kepedulian terhadap orang miskin dan orang sakit, kepada mereka yang membutuhkan dan yang paling miskin dan rentan, tanpa membedakan keyakinan, suku, budaya. Untuk menyetujui pilihan istimewa ini, kami telah menempatkan sebuah patung di kompleks katedral yang melambangkan “Yesus tanpa atap”, untuk mengingatkan kita masing-masing bahwa Kristus hadir dalam diri orang miskin, yang terpinggirkan, yang dirampas haknya. (Kantor Berita Fides 22/8/2024)


Membagikan:

Sumber