Ekonom: Prabowo harus mengurangi ketergantungan pada investasi asing, mengatasi de-Industrialisasi | DALAM

Presiden terpilih Prabowo Subianto harus memperkuat investasi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada investasi modal asing dan pada saat yang sama mengatasi masalah deindustrialisasi, saran para ekonom.

Direktur Pelaksana Kajian Ekonomi Politik dan Kebijakan (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan, mayoritas sektor bisnis dan industri di Indonesia dikuasai oleh penanaman modal asing.

“Permasalahan yang terjadi saat ini adalah perkembangan industri hilir dan sektor keuangan seperti BCA, CIMB, Bank Permata, semuanya dikuasai oleh investor asing,” kata Anthony kepada Indonesia Business Post dalam wawancara pada 2 Oktober 2024.

Ia mengakui membanjirnya investasi asing ke Indonesia akan memacu pertumbuhan ekonomi negara, namun mengingatkan bahwa sebagian besar hasilnya akan dinikmati oleh investor asing sehingga Indonesia perlu merebut kembali kepemilikan perusahaan dalam negeri.

Dalam upaya untuk mendapatkan kembali saham perusahaan-perusahaan tersebut, Indonesia perlu memperkuat usaha kecil dan menengah (UKM) dalam negeri. Ia menyarankan pemerintah perlu meningkatkan kapasitas UKM dalam hal insentif permodalan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Menurutnya, cukup sulit bagi UKM untuk mendapatkan pendanaan di Indonesia. Ia mencontohkan plafon kredit UKM di Bank Rakyat Indonesia hanya sebesar Rp 50 juta (US$3.195).

“Plafon kredit ini harus diperluas. Harus dievaluasi kelayakan usahanya dan keperluan lainnya,” kata Anthony seraya menyebutkan, UKM di Indonesia punya kelayakan ekonomi, tapi modalnya tidak.

Di sisi lain, ia juga menyarankan agar pemerintahan Prabowo perlu mengembangkan sektor pertanian Tanah Air.

“Saat ini pangan Indonesia mayoritas diimpor. Kalau Indonesia bisa swasembada kebutuhan pangannya, maka pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak,” tuturnya.

Untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian, Presiden perlu melibatkan perguruan tinggi dalam prosesnya.

“Kalau kita lihat Belanda misalnya, pemerintahnya memberdayakan Universitas Wageningen untuk melakukan penelitian tentang cara meningkatkan produktivitas pertanian.
Hasilnya, mereka bisa mencari varietas baru atau menyempurnakan varietas yang sudah ada dengan melakukan penelitian kemurnian bibitnya dan bibit tersebut akan didistribusikan ke masyarakat,” ujarnya.

Permasalahan di Indonesia, lanjut Anthony, adalah bibit tanaman tersebut dimonopoli oleh konglomerat. Ada juga pencari rente yang berkolaborasi dengan unsur di Kementerian Pertanian. “Jadi pemerintah perlu menata ulang sistemnya.”

De-industrialisasi

Tarli Nugroho dari Institute for Policy Studies (IPS) mengatakan salah satu kunci untuk mendongkrak perekonomian Indonesia adalah sektor manufaktur atau industri. Ia mencontohkan, dalam 25 hingga 26 tahun terakhir, Indonesia mengalami deindustrialisasi. Akibatnya, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun dari sebelumnya di atas 20 persen, menjadi sekitar 18 hingga 19 persen.

“Indonesia saat ini memasuki era e-commerce, namun jika kita perhatikan fenomena tersebut, semua produk yang diperdagangkan di e-commerce tersebut adalah produksi China. Produk China membanjiri pasar Indonesia. Jadi, itu bukan produk lokal. Tidak ada multiplier effect dalam perekonomian kita,” kata Tarli.

Ia menyarankan agar Indonesia mengikuti strategi Tiongkok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen karena perkembangan sektor manufaktur.

“Untuk mendorong pertumbuhan sektor manufaktur, pemerintahan Prabowo perlu memberikan insentif besar bagi investasi di sektor tersebut,” kata Tarli, yang juga anggota Partai Gerindra.

Dia memuji fokus pemerintahan Prabowo pada pembangunan manusia melalui program makanan bergizi gratis, dengan alasan rendahnya konsumsi gizi masyarakat Indonesia.

“Bagaimana kita bisa memimpin di sektor manufaktur jika kualitas manusia kita rendah?” dia bertanya.

Ia menegaskan, program makan gratis bergizi ini bukan merupakan sumbangan negara, melainkan kebijakan strategis yang akan menciptakan permintaan di sektor pangan, pertanian, dan peternakan.

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here