Ibu kota baru 'hijau' Indonesia menyebabkan kerusakan lingkungan yang luas
  • Para ahli mengatakan, desain dan pengembangan ibu kota baru Indonesia, Nusantara, sama sekali tidak “hijau” atau “cerdas” seperti yang berulang kali diklaim pemerintah.
  • Pemerintah telah mensertifikasi istana presiden baru sebagai bangunan yang memenuhi standar bangunan hijau — yang ditetapkannya sendiri — tetapi penggunaan material dan energi menunjukkan hal sebaliknya.
  • Para ahli menyebutkan penggunaan tembaga dan kuningan yang “berlebihan” sebagai elemen dekorasi utama istana, mengingat jejak karbon dan polusi yang besar yang terkait dengan penambangan dan pemrosesan logam dalam jumlah besar ini.
  • Sebuah laporan juga mengidentifikasi penghancuran hutan pegunungan di Pulau Sulawesi untuk memasok batu bagi Nusantara di Pulau Kalimantan, serta dampak debu terhadap masyarakat yang tinggal di dekat tambang.

JAKARTA — Untuk pertama kalinya sejak mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia menyelenggarakan perayaan hari nasional resminya di luar Jakarta tahun ini. Upacara pengibaran bendera dilaksanakan secara serentak pada tanggal 17 Agustus di Jakarta, di Pulau Jawa, dan di Nusantara, ibu kota baru negara ini, yang saat ini sedang dibangun di tengah hutan Kalimantan.

Presiden Joko Widodo meninjau langsung perayaan di Nusantara, dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memimpin upacara di Jakarta. Beberapa hari sebelumnya, presiden yang populer dengan sebutan Jokowi, telah mengeluh bahwa Istana Negara di Jakarta, bekas tempat tinggal gubernur kolonial Belanda, “berbau kolonial,” dan membandingkannya dengan istana presiden yang baru dibangun di Nusantara.

Istana Garuda, yang diberi nama dan dirancang berdasarkan burung mitologi yang juga berfungsi sebagai lambang negara Indonesia, dimaksudkan untuk melambangkan nilai-nilai dasar negara yaitu “Bhinneka Tunggal Ika.” Ini juga dirancang untuk menjadi “bangunan hijau,” sejalan dengan klaim Jokowi yang lebih luas bahwa ibu kota baru akan menjadi kota yang ramah lingkungan dan “kota pintar”.

Namun hal tersebut tidak terjadi, menurut arsitek Tiyok Prasetyoadiwakil ketua Green Building Council Indonesia, yang memberi saran kepada pengembang tentang cara meminimalkan jejak lingkungan dan karbon mereka.

Struktur Garuda besar yang berfungsi sebagai latar belakang dramatis istana baru ini memiliki sepasang sayap yang dibangun dengan 4.661 bilah dari baja, tembaga dan kuningan. Setiap bilah beratnya 0,3 metrik ton, dengan berat total hampir 1.400 metrik ton per sayap.

Hal itu, kata Tiyok, “berlebihan.”

“Patung Garuda menggunakan banyak tembaga dan kuningan, yang sangat ekstraktif dan merusak Bumi,” katanya kepada Mongabay. Penambangan dan pemrosesan tembaga dan kuningan dalam jumlah besar hanya untuk patung tersebut kemungkinan memiliki jejak karbon yang signifikan, tambahnya.

Karena itu, klaim pemerintah bahwa istana presiden baru adalah bangunan hijau perlu dipertanyakan, katanya.

Istana Kepresidenan Garuda di malam hari. Foto milik Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto.

Hijau atau greenwashing?

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mengawasi pembangunan istana tersebut telah mensertifikasinya sebagai hijau dan cerdasPerusahaan milik negara yang dikontrak untuk melaksanakan pembangunan tersebut, PT Perumahan Pembangunan (PP), mengatakan standar kualifikasi tersebut tercantum dalam Peraturan tahun 2021 yang dikeluarkan oleh kementerian pekerjaan umum.

“Konsep bangunan hijau menekankan pada pemanfaatan sumber daya secara efisien, pengelolaan limbah yang baik, dan kualitas lingkungan dalam ruangan yang optimal,” kata Sekretaris PP Joko Raharjo kata seperti dikutip media lokal“Sementara itu, konsep bangunan pintar mengintegrasikan teknologi canggih untuk mengoptimalkan konsumsi energi dan air, serta seluruh infrastruktur bangunan.”

Oleh karena itu, Istana Garuda telah menjadi “contoh pembangunan berwawasan lingkungan,” ujarnya.

Namun, standar sebenarnya untuk bangunan hijau dan cerdas telah dikembangkan secara independen, dan bukan tugas Kementerian Pekerjaan Umum untuk menentukan standarnya sendiri lalu mengklaim bahwa istana yang dibangunnya telah memenuhi standar tersebut, kata Tiyok.

Hal itu membuat objektivitas dan kredibilitas penilaian diragukan, katanya.

Untuk benar-benar menentukan apakah istana presiden baru itu ramah lingkungan atau tidak, perlu ada penilaian independen yang melihat berbagai hal seperti apakah bangunan itu menggunakan lampu LED dan pendingin udara hemat energi. Meskipun data tentang energi yang digunakan gedung baru itu belum diungkapkan ke publik, gedung itu tampaknya tidak hemat energi, dilihat dari jumlah pencahayaan yang digunakannya, terutama di sayapnya, kata Dwi Sawung, yang mengawasi masalah zonasi dan infrastruktur di Walhi, LSM lingkungan terbesar di Indonesia.

“Banyak orang protes mengapa istana itu memiliki banyak lampu dan terang (di malam hari). Itu berarti bangunan itu menghabiskan banyak energi karena terlalu banyak lampu,” katanya kepada Mongabay.

Tiyok mengatakan standar bangunan hijau juga harus mempertimbangkan material yang digunakan dalam konstruksi. Dan fakta bahwa Istana Garuda lebih mementingkan bentuk daripada fungsi berarti penggunaan materialnya bahkan tidak berusaha untuk menjadi efisien, katanya.

Tema penggunaan material yang berlebihan ini juga berlaku lebih luas pada pengembangan ibu kota baru itu sendiri, menurut Walhi.

Desain istana Garuda di ibu kota baru Indonesia, Nusantara. Istana ini dirancang oleh I Nyoman Nuarta, seorang pematung dan seniman Indonesia. Gambar milik I Nyoman Nuarta.

Berdampak pada pulau yang jauh

Sebagian besar material yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru, seperti pasir dan batu, berasal dari Pulau Sulawesi, sebelah timur Kalimantan, kata Presiden Jokowi awal tahun ini.

“Nilainya (materi) bukan miliaran (rupiah), tapi triliunan,” ujarnya. kata seperti dikutip media lokal“Jadi ketika kita membangun di Kalimantan Timur, (provinsi) Sulawesi Tengah juga (mendapat) keuntungan.”

Menurut Walhi, pada tahun 2021, Gubernur Sulawesi Tengah membuat kesepakatan dengan mitranya di Kalimantan Timur, tempat ibu kota baru berada, untuk memasok 30 juta metrik ton batu. Sejak saat itu, terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah izin yang dikeluarkan untuk pertambangan di Sulawesi Tengah, kata Yusman, Direktur Walhi Provinsi.

Pada 2020, hanya ada 16 izin pertambangan di Sulawesi Tengah. Tahun ini, jumlahnya meningkat menjadi 51 izin, katanya.

Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura membenarkan sebagian besar batu digunakan untuk membangun Nusantara.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi yang telah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Sekarang, gunung-gunung saya sedang dirobohkan. Itulah sumbangan pertama saya untuk Kalimantan,” ungkapnya. dikatakan pada bulan Maret seperti yang dikutip oleh media lokal.

Rusdy nanti dikatakan bahwa penambangan di wilayah tersebut dilakukan secara “bertanggung jawab” berdasarkan izin lingkungan yang dipersyaratkan.

Namun, Walhi telah menelusuri peningkatan aktivitas pertambangan di Sulawesi Tengah karena berbagai masalah lingkungan. Salah satunya, terjadi peningkatan banjir di wilayah tersebut karena pertambangan telah menurunkan kapasitas bumi untuk menyerap kelebihan air hujan, kata Yusman. Aktivitas pertambangan juga mengakibatkan timbulnya debu, yang berdampak pada masyarakat setempat, imbuhnya.

A laporan tahun 2024 Walhi Sulawesi Tengah menemukan bahwa masyarakat yang tinggal di dekat tambang harus menutup semua pintu rumah mereka untuk mencegah masuknya debu. Pengendara sepeda motor juga harus mengenakan masker dan kacamata karena debu yang mengganggu penglihatan mereka.

“Saya hampir menabrak bagian belakang truk karena (kurangnya) jarak pandang,” kata Amir, seorang pengendara sepeda motor, seperti dikutip dalam laporan tersebut.

Laporan tersebut juga mengutip data dari puskesmas setempat pada tahun 2023 yang mencatat 2.422 orang menderita infeksi saluran pernapasan atas. Walhi menduga aktivitas pertambangan berkontribusi terhadap banyaknya kasus tersebut.

“Oleh karena itu, Sulawesi Tengah menanggung beban ibu kota baru,” kata Yusman. “Pemerintah selalu menggembar-gemborkan ibu kota baru sebagai kota hijau, tetapi Sulawesi Tengah malah hancur (akibatnya).”

Gambar spanduk: Presiden Joko Widodo mengawasi upacara pengibaran bendera untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2024, di depan Istana Garuda di Nusantara. Gambar milik Sekretaris Kabinet Indonesia.

MASUKAN: Gunakan formulir ini untuk mengirim pesan kepada penulis postingan ini. Jika Anda ingin mengirim komentar publik, Anda dapat melakukannya di bagian bawah halaman.






Sumber