“Namun, pembatalan ini menjadi peringatan untuk mengatasi masalah mendasar dalam iklim investasi, terutama dalam aspek keberlanjutan komoditas nikel,” kata Nizhar.
“Hal ini juga mendorong kami untuk meninjau kembali tata kelola industri hilir secara keseluruhan, yaitu meningkatkan kerangka regulasi, meningkatkan kemudahan berbisnis, dan menawarkan insentif yang lebih menarik bagi perusahaan internasional.”
Dengan mengatasi tantangan tersebut, Indonesia dapat menarik lebih banyak investor global, katanya.
Proyek yang dikenal sebagai Sonic Bay tersebut bertujuan untuk memurnikan nikel dan kobalt dari tambang nikel Weda Bay di Pulau Halmahera di Provinsi Maluku Utara, Indonesia bagian timur. Eramet memiliki saham minoritas di tambang Weda Bay.
Pembatalan usaha tersebut juga merupakan pukulan bagi upaya negara untuk memperluas investasi di luar China dalam industri nikel, di mana perusahaan China telah membangun lebih dari 90 persen pabrik peleburan nikel di Indonesia.
“Ini merupakan pukulan telak bagi ambisi Indonesia untuk membangun industri nikel dan mendiversifikasinya di luar investasi dari Tiongkok … (Indonesia) akan terus bergantung pada investasi dan pasar Tiongkok untuk membangun industri nikelnya,” kata Siwage Dharma Negara, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura.
BASF mengatakan tidak akan “mengeksekusi” proyek pemurnian nikel-kobalt “setelah evaluasi menyeluruh” dan bahwa sejak dimulainya proyek tersebut, “pasar nikel global telah berubah secara signifikan”. Perusahaan tersebut tidak menyebutkan penduduk asli dalam pernyataannya pada tanggal 24 Juni.
Kelompok hak asasi masyarakat adat yang berkantor pusat di Inggris, Survival International, mengatakan operasi di Teluk Weda telah merusak hutan hujan tempat tinggal penduduk asli Hongana Manyawa yang tidak terkontak, yang menghindari semua interaksi dengan orang luar.
Survival International mengatakan para pendukungnya telah mengirim lebih dari 20.000 email kepada BASF dan Eramet yang memprotes rencana tersebut dan telah berulang kali melobi BASF dan otoritas Jerman.
Pada bulan Juni, sebuah video yang memperlihatkan keluarga Hongana Manyawa datang ke kamp penambangan untuk meminta makanan setelah hutan hujan mereka diduga dihancurkan, menjadi viral di Indonesia.
Muhammad Habib Abiyan Dzakwan, peneliti di Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Jakarta, mengatakan pembatalan proyek tersebut menyoroti perlunya Indonesia untuk memastikan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang lebih tinggi jika ingin menarik investasi dari negara-negara industri.
“Standar ESG kini telah menjadi prasyarat yang berlaku bagi perusahaan-perusahaan dari negara-negara industri ketika mereka mendapatkan bahan baku penting, termasuk mineral penting,” katanya.
Praktik standar ESG yang tidak memadai akan menurunkan daya saing Indonesia di mata investor asing, terutama dari negara-negara industri, kata Habib, seraya menambahkan bahwa investor akan beralih ke pemasok alternatif seperti Australia dan Kanada.
“Jika Anda ingin memasuki pasar mereka (negara-negara industri) atau berpartisipasi dalam rantai pasokan mereka, maka standar ESG yang lebih tinggi harus diterapkan,” katanya.
“(Jika tidak) mereka akan menjauh dari investasi di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh pembatalan investasi BASF baru-baru ini di sektor nikel negara ini.”
“Kasus Tesla dan surat dari para senator (AS) tersebut seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita sejak awal,” kata Habib.
Pemerintah Indonesia telah mencoba selama bertahun-tahun, namun tidak berhasil, untuk menarik Tesla agar berinvestasi di industri kendaraan listriknya.
Oktober lalu, tiga senator AS memperingatkan pemerintahan Presiden Joe Biden tentang negosiasi kesepakatan perdagangan mineral penting dengan Indonesia, dengan menyatakan kekhawatiran atas standar hak-hak buruh, perlindungan lingkungan, keselamatan, dan hak asasi manusia.
Negara dari ISEAS-Yusof Ishak Institute memperingatkan bahwa turunnya harga nikel dapat membuat para penambang enggan mengadopsi praktik ESG yang baik.
“Harga yang lebih rendah mengurangi pendapatan dan profitabilitas perusahaan pertambangan. Oleh karena itu, perusahaan mungkin lebih mengutamakan kelangsungan hidup finansial dan profitabilitas jangka pendek daripada investasi jangka panjang dalam ESG,” katanya.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dengan perkiraan 21 juta ton, mencakup sekitar 22 persen cadangan global, menurut Survei Geologi Amerika Serikat.
Negara Asia Tenggara itu berharap dapat memanfaatkan persediaan dan produksi nikelnya yang besar untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasokan kendaraan listrik global.
Industri nikel Indonesia juga banyak dikritik karena standar keselamatan yang lemah yang mengakibatkan ledakan dan kebakaran di pabrik peleburan, yang menewaskan banyak pekerja dalam beberapa tahun terakhir.
Di Kabupaten Konawe di Sulawesi Tenggara, tempat banyak pabrik peleburan nikel berada, aktivis lingkungan Sulkarnain mengatakan kepada This Week In Asia bahwa kampung halamannya sekarang menderita polusi udara dan air serta sumur air mengering dan pabrik peleburan gagal menerapkan proses pembuangan limbah yang tepat.
Hingga Mei, terdapat 367 izin usaha pertambangan nikel yang tersebar terutama di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara, menurut World Resources Institute (WRI) Indonesia, sebuah organisasi penelitian independen.
“Banyaknya industri yang berpartisipasi menimbulkan tantangan signifikan dalam memastikan penerapan praktik pertambangan yang baik,” kata Egi Suarga, manajer iklim di WRI Indonesia.
Negara menghubungkan kerusakan lingkungan dan kecelakaan fatal tersebut dengan kurangnya kepatuhan industri dan lemahnya penegakan aturan dan regulasi oleh pihak berwenang.
“Pemerintah harus meningkatkan kerangka regulasi dan perlindungan hukum di sektor ini, meningkatkan infrastruktur, dan mempromosikan standar ESG,” katanya.
Nizhar dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan beberapa upaya utama telah dilakukan, termasuk penegakan peraturan lingkungan yang lebih ketat untuk kegiatan pertambangan.
Langkah-langkah tersebut mencakup penilaian dampak lingkungan wajib untuk proyek baru dan audit lingkungan berkala untuk operasi yang ada.
“Hal ini termasuk mendorong mekanisme pemantauan dan pelaporan yang kuat untuk melacak kinerja dan menegakkan pelaporan rutin mengenai metrik ESG dan audit pihak ketiga bila diperlukan,” katanya.