Jumlah penduduk kelas menengah Indonesia menyusut hingga hampir 9,5 juta jiwa karena para ahli memperingatkan agar tidak terjadi penurunan lebih lanjut

JAKARTA: Para analis memperingatkan bahwa populasi kelas menengah yang menurun di Indonesia telah membunyikan alarm peringatan di negara ini, bahkan ketika pemerintah memperkenalkan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mendukung kelompok ini.

Para analis menambahkan bahwa dukungan lebih besar diperlukan untuk memperkuat segmen populasi ini guna mencegah penurunan lebih lanjut.

Menurut angka terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang yang tergolong kelas menengah telah menurun hampir 9,5 juta dalam lima tahun terakhir.

Pada tahun 2019, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mencapai 57,33 juta jiwa. Data BPS menunjukkan jumlah tersebut turun menjadi 47,85 juta jiwa pada tahun 2024.

Bank Dunia mendefinisikan mereka yang berada di kelas menengah sebagai individu yang pengeluarannya setiap bulan – digunakan sebagai proksi pendapatan – berkisar antara 3,5 hingga 17 kali di atas garis kemiskinan, yang menurut data BPS setara dengan sekitar 2 juta rupiah (US$130) hingga 9,9 juta rupiah per kapita.

“Populasi kelas menengah mulai menurun pascapandemi (COVID-19), sementara kelas menengah aspirasi meningkat,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti seperti dikutip Kompas, Rabu (28/8) saat rapat kerja dengan DPR.

Sejalan dengan penurunan jumlah orang yang tergolong kelas menengah, jumlah mereka yang tergolong calon kelas menengah meningkat dalam periode lima tahun yang sama.

Mereka yang tergolong sebagai bagian dari segmen kelas menengah yang bercita-cita tinggi meningkat dari 128,85 juta pada tahun 2019 menjadi 137,5 juta tahun ini. Mereka merupakan 49,22 persen dari populasi Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, kedua segmen ini mencakup sekitar 66,6 persen dari populasi negara ini, dan menekankan pentingnya kelas menengah bagi perekonomian Indonesia, menggambarkannya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi.

Dalam sambutannya pada dialog ekonomi tentang peran kelas menengah Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045 pada 27 Agustus, Bapak Airlangga menekankan pentingnya penguatan daya beli masyarakat miskin dan kelas menengah, dan yang lebih penting lagi adalah calon kelas menengah.

Visi Indonesia Emas 2045 merupakan rencana jangka panjang yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera menjelang ulang tahun kemerdekaannya yang ke-100.

Untuk mendukung kelas menengah, Bapak Airlangga mengatakan bahwa pemerintah telah menerapkan berbagai inisiatif, antara lain program perlindungan sosial, insentif pajak, program Prakerja, serta skema Kredit Usaha Rakyat, dan lain-lain.

Salah satu insentif pajak yang perlu diperhatikan, katanya, adalah rencana pemerintah untuk mengembalikan keringanan pajak penuh atas pembelian properti senilai hingga 5 miliar rupiah untuk paruh kedua tahun 2024.

Kebijakan ini, yang mencakup biaya pajak pertambahan nilai hingga 2 miliar rupiah dari harga properti yang memenuhi syarat, sebelumnya dikurangi menjadi potongan 50 persen setelah cakupan penuh berakhir pada bulan Juni.

Bapak Airlangga menyampaikan bahwa perubahan kebijakan tersebut bertujuan untuk memperkuat daya beli masyarakat kelas menengah, dan telah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo.

Namun, para analis mengatakan bahwa di luar dampak COVID-19 yang masih ada, alasan lain yang berkontribusi terhadap penurunan populasi kelas menengah Indonesia meliputi fundamental ekonomi nasional yang lemah, kebijakan pemerintah yang memberatkan, serta tidak adanya jaring pengaman sosial yang kuat.

Bapak Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), mengatakan bahwa lemahnya kinerja sektor manufaktur merupakan faktor signifikan dalam menyusutnya kelas menengah.

Kepada Kompas, ia mengatakan, kelesuan sektor manufaktur telah menyebabkan banyaknya PHK dan turunnya kontribusi sektor tersebut terhadap produk domestik bruto.

Sejak awal tahun 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Nusantara memperkirakan PHK di sektor manufaktur padat karya dapat berdampak hingga 100.000 orang.

Bapak Bhima menambahkan, salah satu kebijakan pemerintah yang semakin membebani daya beli masyarakat adalah kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang mulai berlaku pada 1 April 2022.

“Kenaikan PPN berdampak pada kenaikan harga eceran,” kata Bhima kepada Kompas. Ia menambahkan, tingginya biaya hidup ini diperparah dengan minimnya jaring pengaman sosial bagi masyarakat menengah. Pasalnya, sebagian besar fokus pemerintah adalah penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat miskin.

Sementara itu, ekonom Yusuf Rendy Manilet dari Pusat Reformasi Ekonomi (Core) mengatakan, penting bagi pemerintah untuk mulai memberikan bantuan keuangan kepada masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah di tengah masyarakat.

“Baik dalam bentuk bantuan tunai maupun subsidi, (bantuan ini) bisa diberikan kepada masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah, kalau tidak, tren penurunan di kelas menengah bisa terus berlanjut,” kata Bapak Yusuf.

Sumber