Kelas menengah Indonesia mengeluhkan keadaan yang 'memburuk', karena penurunan tajam jumlah penduduk mereka memicu tanda bahaya ekonomi

JAKARTA: Sudah empat tahun sejak Tn. Muhammad Yudhi terakhir kali memiliki pekerjaan tetap. Pengemudi ojek motor berusia 33 tahun itu dulunya bekerja di sebuah pabrik tekstil yang berjarak satu jam di sebelah timur Jakarta sebelum ia diberhentikan pada tahun 2020 karena perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.

Saya sudah mencoba melamar pekerjaan di pabrik lagi, tetapi mereka bilang saya sudah terlalu tua. Semua orang mencari anak muda yang baru lulus SMA yang bisa mereka bayar dengan harga murah,” katanya kepada CNA.

Menjadi seorang Pengemudi ojek tidak menawarkan stabilitas keuangan dan tunjangan seperti yang diperoleh dari pekerjaan pabrik, kata Yudhi.

“Bahkan jika Anda berada di jalan sepanjang hari, penghasilan maksimal yang bisa Anda peroleh adalah 100.000 rupiah (US$6,51). Setelah bensin dan makanan, penghasilan maksimal yang bisa Anda bawa pulang adalah 70.000 rupiah, bahkan sering kali kurang,” kata ayah dua anak ini.

Penghasilan Pak Yudhi sekitar 2 juta rupiah per bulan, hampir tidak cukup untuk membayar sewa di lingkungan padat di pinggiran Jakarta dan memberi makan anak-anaknya. Jumlah ini jauh berbeda dengan penghasilannya saat bekerja di pabrik saat ia memperoleh gaji bulanan sebesar 3,5 juta rupiah ditambah tunjangan kesehatan dan bonus tahunan.

Apa yang bisa kamu beli dengan uang 2 juta rupiah?” ” keluhnya. “Saya tidak bisa menjadi pengemudi ojek seumur hidup. Tidak ada jaminan kerja, tidak ada asuransi kesehatan, tidak ada apa-apa.”

Bapak Yudhi hanyalah satu dari jutaan orang Indonesia yang telah jatuh dari kelas menengah ke kelas menengah calon dalam lima tahun terakhir.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019, terdapat 57,33 juta penduduk kelas menengah Indonesia, atau sekitar 21,4 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 267 juta jiwa.

Namun, data BPS terbaru yang dikeluarkan pada 28 Agustus menunjukkan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori kelas menengah justru meningkat. turun menjadi 47,85 juta pada tahun 2024, atau 17,1 persen dari jumlah penduduk negara saat ini yang mencapai 289 juta jiwa.

BPS mendefinisikan kelas menengah sebagai mereka yang memiliki pengeluaran per kapita antara 2 juta hingga 9,9 juta rupiah per bulan, atau 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan Bank Dunia.

Mayoritas masyarakat yang dulunya berada di kelas menengah kini telah diturunkan ke kelas menengah. calon kelas menengah, kata pelaksana tugas kepala BPS Dr Amalia Adininggar Widyasanti dalam sidang parlemen pada 29 Agustus.

Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah calon kelas menengah – mereka yang berpenghasilan 1,5 hingga 3,5 kali lipat garis kemiskinan atau antara 874.398 hingga 2,04 juta rupiah per bulan – meningkat dari 128,85 juta pada tahun 2019 menjadi 137,5 juta tahun ini. Mereka merupakan 49,22 persen dari populasi Indonesia.

Saya sedih,” kata Bapak Yudhi saat ditanya bagaimana perasaannya tentang penurunan peringkat dari kelompok demografi kelas menengah. “Rasanya kita seperti mundur sebagai sebuah negara. Kesejahteraan rakyat seharusnya membaik, bukan malah memburuk.”

Istrinya bekerja sebagai pembersih rumah paruh waktu dengan penghasilan hanya 600.000 rupiah sebulan.

Putra bungsu mereka seharusnya mulai masuk taman kanak-kanak tahun ini. Namun karena tidak punya uang di bank, keluarga tersebut memutuskan untuk menunda pendidikan anak berusia empat tahun itu selama setahun lagi.

Menurunnya kelas menengah telah menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah pakar, yang mengatakan menurunnya jumlah dan daya beli mereka dapat memicu kemerosotan ekonomi karena permintaan terhadap barang menurun.

(Penurunan kelas menengah Indonesia) merupakan sebuah tanda bahaya yang menandakan bahwa ekonomi sedang dalam bahaya,” kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif lembaga pemikir Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) kepada CNA.

Pada tahun 2018, konsumsi kelas menengah menyumbang 41,9 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Pada tahun 2023, angka ini turun tajam menjadi 36,8 persen, sejalan dengan perlambatan konsumsi rumah tangga secara keseluruhan, menurut data dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).

Sumber