Ketegangan Meningkat di Indonesia Terkait Keramik Cina – Proyek China-Global South

Artikel ini disusun bersama oleh Yeta Purnama, Peneliti di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dan Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur Lembaga Penelitian Hukum dan Kebijakan Publik (LPHK). Meja Kerja Tiongkok-Indonesia di CELIOS.

Keramik Tiongkok telah lama menjadi landasan hubungan rumit antara Tiongkok dan Indonesia, yang telah berlangsung selama ribuan tahun melalui pertukaran budaya dan hubungan ekonomi. Sebagai negara yang telah membuat kerajinan keramik sejak 2.500 SM, Cina telah mengekspor motif tradisional dan cerita rakyatnya ke seluruh dunia melalui bahan tersebut.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pesatnya pertumbuhan impor keramik Cina telah menimbulkan tantangan tersendiri bagi industri keramik dalam negeri Indonesia. Jika tidak diatasi, hal ini dapat memicu potensi ketegangan antara kedua negara.

Salah satu permasalahannya adalah ketika keramik impor China masuk ke pasar Indonesia dengan harga hingga 100% lebih murah dibandingkan keramik produksi dalam negeri. Sementara Indonesia biaya misalnya, produk keramik China berharga antara $4 dan $5 per meter persegi harga hanya $2,3 hingga $2,7 per meter persegi.

Impor keramik Cina secara ilegal Tantangan lainnya adalah. Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan harus memusnahkan 4,57 juta unit keramik peralatan makan ilegal yang nilainya hampir $5.000. Produk-produk tersebut tidak memiliki label yang sesuai atau memiliki tanda Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah kedaluwarsa.

Keramik peralatan makan yang tidak sesuai standar dapat mengandung logam berbahaya seperti timbal dan kadmium, yang menimbulkan risiko kesehatan jika meresap ke dalam makanan dan minuman. Pada tahun 2018, Tiongkok dikurangi ketebalan produk keramiknya dari 9,5 – 10 mm menjadi 7,2 – 8 mm untuk mengurangi biaya produksi, yang memengaruhi kualitas produk.

Dari Pertukaran Budaya hingga Tantangan Diplomatik

Secara historis, motif Tiongkok diperkenalkan ke Indonesia melalui keramik dan guci yang diperdagangkan oleh pedagang Tionghoa. Seiring berjalannya waktu, artefak ini juga dibawa oleh para migran Tionghoa yang menetap di Indonesia, sehingga terjadi percampuran budaya yang terlihat dalam berbagai aspek kehidupan Indonesia, termasuk pakaian dan kuliner.

Keramik tidak hanya berfungsi sebagai komoditas tetapi juga sebagai hadiah diplomatik dipertukarkan antara kerajaan-kerajaan Cina dan kepulauan Indonesia, yang melayani hubungan politik yang lebih dalam. Seiring berlalunya abad, seni produksi keramik berkembang, terutama dengan munculnya porselen—bahan tahan lama yang dibuat dari kaolin dan petuntse. Porselen segera bergabung dengan sutra, teh, dan rempah-rempah sebagai komoditas ekspor yang penting dari China.

Saat ini, produksi keramik di Tiongkok mengalami kelebihan kapasitas. Hal ini mendorong negara-negara di Eropa dan AS untuk memaksakan pembatasan pada keramik China untuk melindungi industri mereka sendiri. Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina dan Vietnam, telah dikelola untuk mempertahankan harga yang kompetitif dengan menyesuaikan tarif impor mereka lebih dekat dengan harga domestik.

Sementara itu, Indonesia telah berjuang keras untuk secara efektif membendung masuknya keramik Tiongkok, yang memungkinkan Tiongkok untuk memanfaatkan dinamika pasar negara tersebut. Sepanjang tahun 2023, keramik Tiongkok kebanjiran pasar Indonesia. Situasi ini diperburuk oleh kendala ekonomi, seperti menurunnya daya beli akibat kenaikan harga bahan bakar.

Kondisi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, dan terjadi berulang setiap tahunnya Tahun 2018Bahasa Indonesia: Tahun 2021Bahasa Indonesia: Tahun 2022Bahasa Indonesia: Tahun 2023Dan Tahun 2024Ketua Umum Asosiasi Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto mengatakan, mendesak pemerintah untuk melindungi pasar keramik lokal dari praktik perdagangan tidak adil dan penetapan harga predator oleh Cina.

Kementerian Keuangan telah tindakan pengamanan yang diberlakukantermasuk penetapan kuota impor, peningkatan bea masuk, dan kombinasi keduanya untuk melindungi industri keramik dalam negeri. Namun, masalah keramik dalam negeri terus muncul, membuktikan bahwa perlindungan pemerintah tidak efektif.

Pemerintah Tiongkok menawarkan Pengembalian pajak sebesar 14% kepada setiap perusahaan eksportir China. Kebijakan ini telah memperlancar masuknya komoditas seperti keramik ke pasar Indonesia.

Pada gilirannya, Hal ini memaksa penjual di Indonesia untuk menetapkan harga jauh di bawah harga rata-rata agar tetap kompetitif dan memangkas biaya produksi, sembari tetap berusaha mempertahankan pekerja. Akibatnya, Indonesia mengalami kerugian finansial yang signifikan, yang terlihat dari laba yang menurun, harga domestik yang lebih rendah, penurunan utilisasi pabrik, dan berkurangnya laba atas investasi bisnis. Defisit transaksi impor-ekspor keramik dalam lima tahun terakhir telah mencapai $1,3 miliar.

Tekanan ekonomi ini menggarisbawahi hubungan langsung antara praktik dumping produsen Tiongkok dan kerugian finansial yang dialami produsen Indonesia. Impor murah dari Tiongkok membanjiri pasar, mengurangi volume penjualan dan menekan harga. Hal ini semakin melemahkan daya saing produk Indonesia dan mengurangi pendapatan bagi bisnis lokal.

Ketika pemerintah Indonesia mempertimbangkan langkah-langkah perlindungan seperti tarif setinggi 200%, bisnis lokal mendesak pemerintah mengambil tindakan cepat untuk mengurangi dampak buruk ini.

Rekomendasi Kami

Pemerintah Indonesia harus segera meningkatkan dukungan terhadap industri keramik lokal.

Ariawan Gunadi, seorang pakar hukum bisnis dan perdagangan internasional, menekankand bahwa langkah-langkah strategis sangat penting untuk memperkuat sektor keramik dalam negeri dan meningkatkan perlindungan. Kemampuan produksi keramik dalam negeri Indonesia yang kuat idealnya harus memenuhi semua kebutuhan keramik nasional tanpa perlu impor berlebihan.

Dengan mengambil contoh dari model yang berhasil seperti kebijakan antidumping ketat Uni Eropa, Indonesia dapat mempertimbangkan penerapan bea masuk serupa untuk mengekang impor. Atau, Indonesia juga dapat belajar dari Vietnam dan Filipina, di mana harga produk lokal sangat sesuai dengan harga produk impor.

Lebih lanjut, Ariawan menggarisbawahi pentingnya penguatan regulasi melalui Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan menegakkan standar tersebut secara ketat, Indonesia dapat memastikan produk impor dari Tiongkok yang adil dan berkualitas tinggi.

Meskipun penerapan tarif impor berpotensi mengekang impor keramik Cina yang berlebihan, diperlukan pendekatan yang hati-hati. Daripada langsung mengenakan tarif setinggi 200%, pemerintah harus melakukan penilaian menyeluruh untuk menyeimbangkan kebutuhan pasar dan kepatuhan terhadap standar.

Selain itu, pengelolaan hubungan ekonomi yang proaktif dengan Tiongkok dan Indonesia sangat penting untuk mendorong kerja sama yang konstruktif dan menjaga hubungan diplomatik.

Strategi lain yang dapat dilakukan adalah peningkatan persentase perlindungan yang seimbang berdasarkan perhitungan yang komprehensif. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan yang memadai tanpa mengenakan tarif yang terlalu tinggi yang dapat menimbulkan dampak ekonomi yang merugikan bagi kedua pihak yang terlibat.

Sumber