Kisah Hutan dari Indonesia

Dengan keberhasilan ekowisata, anggota masyarakat yang sebelumnya terlibat dalam penebangan liar telah beralih ke mata pencaharian berkelanjutan di sektor ekowisata. Selain itu, masyarakat juga telah melakukan diversifikasi usaha ke usaha agroforestri, dengan menjajaki berbagai komoditas seperti kakao, jamur, karet, kelapa, buah-buahan, rotan, dan hasil hutan bukan kayu lainnya.

Menjelajahi Jahe dan Rotan: Gerbang Menuju Mata Pencaharian Berkelanjutan dan Konservasi Hutan

Di Provinsi Maluku Utara, Indonesia, Mancelina Lobby, Kepala Desa Todowongi, telah memimpin model bisnis berbasis masyarakat setelah memperoleh izin perhutanan sosial pada Desember 2021. Izin ini memungkinkan pengelolaan yang bertanggung jawab atas kawasan hutan negara seluas 495 hektar dan telah membuka jalan bagi usaha-usaha seperti produksi minuman jahe merah dan furnitur berbahan dasar rotan.

Selama beberapa generasi, penduduk desa Todowongi telah membudidayakan jahe merah di kawasan hutan negara, dan menyadari manfaatnya bagi kesehatan. Dengan izin perhutanan sosial dan peningkatan kapasitas masyarakat, masyarakat memodernisasi metode produksi, meningkatkan nilai jahe merah, dan menciptakan sumber pendapatan. Izin tersebut juga melegalkan pemanenan rotan, yang memungkinkan masyarakat untuk mulai membuat dan menjual furnitur berbahan dasar rotan.

Pahlawan hutan Indonesia

Pembuatan produk bubuk jahe. Foto: Proyek Penguatan Perhutanan Sosial (PSS)

Pendapatan bulanan dari penjualan bubuk jahe mencapai Rp5 juta (US$320), yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak. Permintaan furnitur berbahan rotan juga meningkat, yang menunjukkan permintaan pasar yang meningkat.

Di bawah kepemimpinan Lobby, sebuah rumah produksi – fasilitas khusus yang ditujukan untuk penggunaan masyarakat dalam produksi barang-barang berbahan dasar jahe dan rotan – didirikan, dilengkapi dengan peralatan pemrosesan untuk berbagai produk. Lobby juga membina kemitraan di antara badan usaha milik desa, memanfaatkan platform media sosial untuk promosi produk, dan mengalokasikan dana desa untuk mendukung bisnis masyarakat setempat.

Perhutanan Sosial sebagai Mekanisme Inovatif untuk Pembangunan Ekonomi Hijau Daerah

Kehutanan sosial memberikan peluang untuk mengurangi emisi – dengan menjaga tutupan hutan – sekaligus meningkatkan perekonomian lokalseperti yang ditunjukkan oleh kisah sukses seperti yang dialami Uda Yadi dan Mancelina Lobby. Provinsi memiliki potensi untuk memajukan perhutanan sosial sebagai landasan bagi pembangunan ekonomi hijau regional. Di provinsi Sumatera Barat, pemerintah provinsi telah meluncurkan inisiatif yang dikenal sebagai Pembangunan Daerah Terpadu, yang menggabungkan perhutanan sosial ke dalam berbagai upaya pembangunan. Ini mencakup kehutanan, pertanian, pariwisata, ekonomi kreatif, industri, agraria dan tata ruang, serta infrastruktur.

Bank Dunia mendukung upaya Indonesia melalui program-program seperti Proyek Penguatan Kehutanan Sosial (SSF)Proyek ini memfasilitasi akses hukum dan mempromosikan pengelolaan berkelanjutan berbasis masyarakat terhadap 300.000 hektar hutan di 11 unit pengelolaan hutan di satu kota dan lima kabupaten di Sumatera Barat, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara. Proyek ini juga mendukung provinsi-provinsi dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip perhutanan sosial ke dalam rencana pembangunan daerah mereka.

Pada tahun 2025, program ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi sekitar 150.000 orang (termasuk sekitar 45.000 wanita), mengurangi 9,2 juta ton emisi CO2, dan meningkatkan tutupan hutan dengan merehabilitasi hutan terdegradasi yang penting untuk konservasi keanekaragaman hayati.

SSF telah membuahkan hasil nyata, dengan lebih dari 84.000 rumah tangga memperoleh akses legal ke lahan hutan negara, belajar tentang pengelolaan hutan berkelanjutan dan agroforestri, serta berpartisipasi dalam pengembangan bisnis masyarakat. Selain itu, proyek ini telah berkontribusi pada peningkatan tutupan hutan di lahan hutan negara seluas 3.700 hektar.

Program perhutanan sosial Indonesia menunjukkan bagaimana pemerintah, masyarakat lokal, dan masyarakat pembangunan dapat bekerja sama untuk mempromosikan nilai hutan, membangun mata pencaharian berkelanjutan, dan membantu memerangi perubahan iklim. Prakarsa ini juga menciptakan suatu pola yang dapat kita gunakan untuk meningkatkan dan mengulangi keberhasilan tersebut.

Sumber