5 Agustus 2024
JAKARTA – Produsen Indonesia menjadi pesimis terhadap prospek pertumbuhan akibat melemahnya permintaan, kendala rantai pasokan, dan meningkatnya biaya, yang memicu saling tuding di antara politisi dan seruan untuk bertindak dari perwakilan bisnis.
Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur negara itu merosot ke wilayah kontraksi pada bulan Juli untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun.
Indeks utama, pengukur utama aktivitas manufaktur, turun menjadi 49,3 poin dari 50,7 pada bulan Juni, menurut laporan PMI yang diterbitkan oleh S&P Global yang dirilis pada hari Kamis.
Ini menandai kontraksi pertama sejak Agustus 2021, pada puncak pandemi COVID-19, dan terjadi setelah 34 bulan berturut-turut mengalami ekspansi.
Angka di bawah 50 menunjukkan penurunan aktivitas, sementara nilai di atas ambang batas tersebut menandakan ekspansi.
“Perlambatan pasar menyebabkan penurunan marjinal dalam kondisi operasional pada bulan Juli, dengan pesanan baru turun dan produksi menurun untuk pertama kalinya dalam dua tahun,” kata Paul Smith, direktur ekonomi di S&P Global Market Intelligence, dalam siaran pers yang diterbitkan pada hari Kamis untuk menyertai hasil survei terbaru.
Produsen menjadi lebih berhati-hati, mengurangi pembelian dan ketenagakerjaan pada tingkat tercepat sejak September 2021, Smith menambahkan, sementara kendala pasokan telah memperburuk situasi dengan waktu pengiriman yang lama karena tantangan pengiriman yang sedang berlangsung.
Baca juga: Produsen mobil akan merevisi target karena penjualan semester pertama mengecewakan
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengaku tidak terkejut dengan hasil survei tersebut dan menyalahkan kebijakan Kementerian Perdagangan yang melonggarkan pembatasan impor sebagai penyebab penurunan tersebut.
“Kami melihat (penurunan) itu wajar, karena semua itu sudah diprediksi ketika kebijakan pelonggaran impor dikeluarkan,” kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Kamis.
Ia menghimbau agar ada sinergi kebijakan pemerintah dalam mendukung sektor manufaktur dan berharap hasil survei PMI ini dapat mendorong para menteri dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyelaraskan langkah dan pandangan guna memperkuat industri dalam negeri.
“Kementerian Perindustrian tidak bisa bekerja sendiri,” kata Agus.
“Sektor manufaktur sudah dalam posisi sulit karena kondisi global, termasuk logistik, yang sangat tidak menguntungkan bagi sektor ini,” lanjutnya. “Oleh karena itu, menteri jangan sampai mengeluarkan kebijakan yang justru merugikan industri.”
Berbicara kepada The Jakarta Post Pada hari Jumat, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bobby Gafur Umar memperingatkan bahwa sektor manufaktur yang sedang lesu dapat menyeret turun pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua tahun ini.
“(Penurunan) itu tidak bisa dianggap enteng, dan (pemerintah) harus mengambil langkah-langkah konkret,” ujarnya.
Sektor ini, yang menyumbang hampir seperlima dari produk domestik bruto (PDB) negara ini, telah bergulat dengan melemahnya permintaan dan melonjaknya biaya produksi meskipun ada berbagai langkah pemerintah, tambah Bobby, yang bertanggung jawab atas industri manufaktur di Apindo.
Ia menyerukan “koordinasi yang lebih baik” antara kementerian perdagangan, industri, dan keuangan selama masa-masa sulit saat ini dan menyarankan untuk fokus pada “menjaga konsumsi dalam negeri” hingga pemerintahan berikutnya mengambil alih.
Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif sebelumnya menyebutkan faktor lain yang melatarbelakangi penurunan indeks tersebut, antara lain pelepasan massal kontainer impor oleh pemerintah dari Bea Cukai melalui Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan pada bulan Mei lalu “tanpa pertimbangan teknis dari kementerian teknis terkait”, yang semakin menghambat kinerja sektor manufaktur.
Baca juga: Harapan penurunan BI Rate meningkat seiring inflasi yang lebih rendah, sinyal Fed
Kontraksi adalah 'peringatan dini'
Sektor manufaktur di Tanah Air yang terperosok ke zona kontraksi bisa jadi jadi hal yang perlu dikhawatirkan, kata Josua Pardede dari Bank Permata The Jakarta Post pada hari Jumat, tetapi kepala ekonom bank terdaftar itu menambahkan bahwa data tersebut belum tentu merupakan pertanda penurunan berkepanjangan.
Tren jangka panjang sektor ini tetap positif, kata Josua, sebagaimana tercermin dalam Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kementerian Perindustrian yang dirilis pada Rabu.
“Meskipun melambat, dengan indeks turun sedikit menjadi 52,4 dari 52,5 pada bulan Juni, namun masih dalam wilayah positif,” kata Josua, seraya menyarankan bahwa angka PMI tetap harus berfungsi sebagai “peringatan dini” bagi para pembuat kebijakan.
Ia mendesak pemerintah untuk menyempurnakan kebijakan perdagangan dengan berfokus pada peningkatan keterlibatan dalam rantai pasokan global, diversifikasi pasar ekspor untuk produk dalam negeri, dan berinvestasi dalam sumber daya manusia.
Dendi Ramdani, Kepala Riset Industri dan Regional Bank Mandiri, mengatakan pada hari Jumat bahwa tren jangka panjang kinerja manufaktur “akan membaik” karena penurunan suku bunga yang diharapkan pada bulan September atau paling lambat pada kuartal keempat menandakan optimisme terhadap pertumbuhan.
Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/Fed) dan Bank Indonesia (BI) dijadwalkan mengadakan pertemuan kebijakan berikutnya pada 17-18 September.
Pada rapat dewan gubernur terakhir, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bank sentral mungkin mulai memangkas suku bunga pada kuartal keempat, berdasarkan proyeksi pemangkasan suku bunga The Fed pada bulan November.
Bank sentral AS tidak mengubah suku bunga dana federal pada pertemuan kebijakannya hari Rabu, tetapi Ketua Fed Jerome Powell memberikan sinyal terkuatnya bahwa siklus suku bunga tinggi mungkin akan segera berakhir, menurut para analis. Pemangkasan suku bunga di AS akan memudahkan BI untuk memangkas suku bunganya sendiri, yang pada gilirannya akan membantu bisnis Indonesia mendapatkan pendanaan yang lebih murah.
Dendi menghimbau pemerintah untuk menjaga stabilitas dan menghindari kebijakan-kebijakan yang dapat memberatkan pelaku usaha maupun masyarakat.
“Kebijakan impor yang berlaku saat ini terkesan mengancam dan menyesatkan (bagi pelaku usaha), dan operasi-operasi yang tidak perlu yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Kementerian Keuangan) merupakan salah satu bentuk intervensi yang tidak tepat dan berdampak negatif terhadap pelaku usaha.”
Kementerian Perdagangan tidak segera menanggapi Pospermintaan komentar.