Pada bulan November 2019, Presiden Indonesia Joko Widodo menandatangani nota peringatan tentang Kona Electric sebelum terlibat dalam diskusi dengan Ketua Hyundai Motor Group Chung Eui-sun di pabrik Hyundai Motor Ulsan. Acara ini menandai dimulainya perjanjian investasi yang signifikan untuk pembangunan pabrik di Indonesia, yang menjadi landasan bagi hubungan ekonomi yang sedang berkembang antara Indonesia dan Korea Selatan.
Maju cepat ke kuartal kedua tahun ini (April hingga Juni), investasi Korea Selatan di Indonesia telah melonjak, menduduki peringkat ketiga secara global dan melampaui negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang. Skala penanaman modal asing (FDI) di Indonesia selama periode ini mencapai $13,35 miliar, yang mencerminkan peningkatan sebesar 16,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Singapura dan Tiongkok menempati posisi pertama dan kedua dengan masing-masing $4,6 miliar dan $3,9 miliar, sementara Korea Selatan mengamankan posisi ketiga dengan $1,3 miliar. Amerika Serikat dan Jepang menyusul dengan masing-masing $900 juta dan $800 juta.
Pada tanggal 30 Juli, media lokal seperti Jakarta Post melaporkan bahwa Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia menyoroti penyelesaian pembangunan pabrik patungan sel baterai HLI Green Power oleh Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution. Lahadalia mengatakan, “Merupakan fenomena yang sangat dinamis bahwa Korea telah melampaui Amerika Serikat dan Jepang,” yang menggarisbawahi pentingnya perkembangan ini.
Saat ini, KCC Glass tengah membangun salah satu pabrik kaca terbesar di dunia di kompleks industri baru di Batang, Jawa Tengah. Selain itu, LG Energy Solution berencana membangun pabrik baterai otomotif di kompleks industri yang sama, yang semakin memperkuat jejak investasi Korea Selatan di Indonesia.
David Sumual, Kepala Ekonom Bank BCA, memprediksi bahwa dalam jangka panjang, Korea Selatan akan menjadi salah satu investor terbesar Indonesia, setara dengan China. “Investasi Korea Selatan sejalan dengan kebijakan utama Indonesia untuk membangun ekosistem kendaraan listrik,” kata Sumual. Ia juga menjelaskan bahwa Indonesia mempertimbangkan Korea Selatan sebagai mitra nikel, bukan China, untuk menanggapi Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) AS. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, mineral utama untuk baterai sekunder, secara strategis memposisikan dirinya di pasar global.
Reuters melaporkan bahwa pemerintah Indonesia tengah berunding dengan perusahaan-perusahaan Korea Selatan untuk mengurangi saham perusahaan-perusahaan Cina di tambang atau peleburan nikel. Langkah ini merupakan bagian dari strategi Indonesia yang lebih luas untuk mendiversifikasi mitra investasinya dan mengurangi ketergantungan pada Cina, terutama mengingat ketentuan-ketentuan IRA yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan-bahan buatan Cina.
Perkembangan terkini merupakan bukti menguatnya hubungan ekonomi antara Indonesia dan Korea Selatan. Dengan investasi signifikan di sektor-sektor utama seperti kendaraan listrik dan manufaktur kaca, Korea Selatan siap memainkan peran penting dalam pertumbuhan industri dan ekonomi Indonesia. Seiring dengan terus tumbuhnya investasi ini, hubungan bilateral antara kedua negara diharapkan akan semakin erat, yang akan membawa manfaat bersama dan mendorong kemitraan ekonomi yang dinamis.