Masa depan energi Indonesia berada dalam ketidakpastian. milik bangsa ketergantungan pada batu bara – yang bertanggung jawab untuk menghasilkan sekitar dua pertiga listrik di negara ini – merupakan hambatan besar dalam mencapai tujuan iklimnya.
Meskipun telah berjanji berdasarkan Perjanjian Paris pada tahun 2015, kapasitas batubara Indonesia sejak itu telah meningkat lebih dari dua kali lipat. Indonesia mencatat peningkatan tertinggi dalam penggunaan bahan bakar fosil yang terus berlanjut selama lima tahun terakhir di negara-negara berkembang, termasuk India, Brasil, dan Meksiko.
Lambatnya kemajuan dalam peralihan dari bahan bakar fosil disebabkan oleh tingginya permintaan energi akibat pertumbuhan ekonomi dan populasi, ditambah dengan kurangnya kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan domestik dan internasional telah muncul untuk mendukung transisi energi di negara ini. Indonesia telah menetapkan tujuan untuk mencapai nol emisi pada tahun 2060, bersamaan dengan Peningkatan Kontribusi Nasional (NDC) yang bertujuan untuk membatasi emisi hingga 32-43 persen di bawah kondisi bisnis seperti biasa pada tahun 2030. NDC Kedua, yang akan diumumkan pada tahun 2025, diharapkan dapat mencapai emisi nol bersih (net zero) pada tahun 2060. memiliki target tahun 2035 yang lebih ambisius. Komitmen-komitmen ini mencerminkan semakin besarnya kesadaran akan kebutuhan mendesak akan transisi energi dan kebutuhan Indonesia potensi yang belum dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga surya, panas bumi, dan pembangkit listrik tenaga air.
Namun, membuka potensi ini bukanlah tugas yang mudah. Biaya pendanaan yang tinggi terus menjadi hambatan besar dalam memperluas proyek energi ramah lingkungan. Misalnya, biaya pendanaan memperhitungkan sekitar setengah dari rata-rata biaya listrik untuk pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas di Indonesia, dibandingkan dengan hanya 25-27 persen di Eropa dan Amerika Serikat.
Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) tahun ini di Baku, Azerbaijan, menghadirkan peluang penting untuk menggalang upaya internasional dan multilateral, khususnya melalui Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia (JETP). Mekanisme pendanaan JETP senilai $20 miliar, yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Jepang, menargetkan puncak emisi pada tahun 2030 dan mencapai net zero di sektor ketenagalistrikan Indonesia pada tahun 2050.
Meskipun JETP pada awalnya dipuji sebagai sebuah terobosan, penerapannya di Indonesia menghadapi banyak rintangan. Kemitraan itu Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) memperkirakan dibutuhkan sekitar $97 miliar untuk membiayai lebih dari 400 proyek prioritas yang bertujuan mencapai tujuan iklim Indonesia pada tahun 2030. Namun, JETP hanya menyediakan $20 miliar, sehingga menimbulkan kesenjangan pendanaan iklim yang sangat besar.
Selain itu, sebagian besar dana JETP juga diharapkan masuk dalam bentuk pinjaman hanya kurang dari 2 persen yang akan dicairkan sebagai hibah. 14 persen pembiayaan JETP bersifat non-konsesi, artinya tarif yang diberikan tidak lebih baik dari tarif yang tersedia di pasar terbuka. Pengaturan keuangan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan inisiatif ini untuk mengirimkan sinyal kebijakan dan keuangan yang kuat kepada pemangku kepentingan dalam negeri, sehingga membuka kunci transisi energi ramah lingkungan.
Yang penting, JETP diharapkan dapat memberikan pembiayaan jangka panjang yang lebih murah di Indonesia, namun ternyata tidak. Bahkan Cirebon-1, pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 660 MW di Jawa Barat, yang akan dibiayai untuk pensiun dini melalui JETP telah berjuang untuk mencapai kesepakatan untuk ditutup karena risiko hukum dan keuangan.
Pada saat yang sama, kebijakan dalam negeri, termasuk mekanisme penetapan harga karbon yang sangat dinantikan, belum cukup ketat untuk memberikan sinyal kuat akan semakin banyaknya investasi swasta.
Sistem Perdagangan Emisi Indonesia, dijadwalkan berkembang menjadi sistem hibrida “pajak-pajak-dan-perdagangan”.memberikan alokasi gratis 100 persen kepada para penghasil emisi dan saat ini hanya melayani pasar sukarela dalam negeri yang jauh dari likuid dengan permintaan yang sangat rendah. Undang-undang pajak karbon belum berlaku karena tarif pajak bergantung pada harga pasar karbon.
Menaikkan harga karbon dari nilai yang rendah saat ini menimbulkan tantangan ekonomi dan politik. Sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh Lab Kebijakan Iklim di Sekolah Fletcher, Universitas Tufts, dan Pemandangan Indonesia di Jakarta menunjukkan bahwa para ahli di Indonesia khawatir bahwa penetapan harga karbon akan meningkatkan pengeluaran pemerintah, meskipun mereka mengakui efektivitasnya dalam mencapai target iklim jangka panjang.
Lebih jauh lagi, sebagian besar ahli menilai bahwa mencapai target dalam Peningkatan Kontribusi Nasional akan menjadi sebuah tantangan, sebagian karena adanya kepentingan di antara para pemangku kepentingan bahan bakar fosil.
Pada saat yang sama, hasil survei menunjukkan bahwa peningkatan kebijakan lain – seperti feed-in tariff untuk energi terbarukan, REDD+, dan inisiatif penangkapan dan penyimpanan karbon – dapat membantu Indonesia mencapai net zero pada tahun 2060. Mereformasi subsidi bahan bakar fosil dapat lebih membantu transisi ini. jauh dari batu bara.
Dengan kebijakan yang ada saat ini dan kegagalan JETP di Indonesia, biaya pendanaan energi terbarukan di Indonesia sepertinya tidak akan turun dengan cepat untuk meningkatkan produksi energi ramah lingkungan. Kemitraan internasional seperti JETP sangat penting bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mengurangi biaya modal yang terkait dengan proyek energi ramah lingkungan.
Ketika Indonesia berupaya menjembatani kesenjangan antara kondisi saat ini dan tujuan net zero, COP29 di Baku menghadirkan peluang penting untuk meningkatkan dukungan internasional dan meningkatkan komitmen terhadap JETP. Tindakan segera diperlukan untuk memastikan bahwa jalan Indonesia menuju net zero bukan hanya sekedar aspirasi belaka, melainkan sebuah kenyataan nyata.