Mengapa kelas menengah di Indonesia menyusut? – DW – 16/10/2024

Pada tanggal 20 Oktober, Prabu Subianto akan dilantik sebagai presiden Indonesia setelah ia memenangkan pemilu pada bulan Februari dengan menjalankan kampanye populis yang mencakup janji pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sekaligus mengakhiri kemiskinan dan kekurangan gizi.

Dalam beberapa dekade terakhir, negara di Asia Tenggara ini telah sukses dalam mencatat tingkat pertumbuhan yang pesat dan mengurangi kemiskinan ekstrem.

Menurut penelitian Bank Dunia, Indonesia perlu lebih meningkatkan ekspansi ekonomi dan menciptakan kelas menengah yang “lebih besar” untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi.

Namun, laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang tergolong kelas menengah mengalami penurunan.

Pada tahun 2019, data BPS menunjukkan 57,3 juta penduduk tergolong kelas menengah. Namun data Maret 2024 menunjukkan jumlah tersebut mencapai 47,8 juta orang.

Para ekonom mengatakan penurunan ini disebabkan oleh dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian yang masih ada serta meningkatnya inflasi dan beban pajak.

Bank Dunia mendefinisikan kelas menengah “sebagai mereka yang menikmati keamanan ekonomi, yang bebas dari kekhawatiran akan kemiskinan moneter, dan, sebagai konsekuensinya, mengalihkan pendapatan mereka untuk konsumsi yang bersifat diskresi dibandingkan untuk kebutuhan subsisten.”

Perekonomian Indonesia mengejar ketertinggalan di tengah booming

Untuk melihat video ini harap aktifkan JavaScript, dan pertimbangkan untuk mengupgrade ke browser web itu mendukung video HTML5

Kelas menengah berada di bawah tekanan

Kelas menengah Indonesia mempunyai peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui pengeluarannya. Menumbuhkan demografi ini sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Namun, beberapa warga Indonesia yang berbicara kepada DW mengatakan mereka tidak terlalu antusias dengan prospek jangka pendek. Meningkatnya pajak dan berbagai biaya hidup lainnya memberikan tekanan pada daya beli, yang telah melemah akibat inflasi.

“Kelas menengah berada dalam dilema. Kami tidak bisa dikatakan kaya, namun juga tidak cukup miskin untuk menerima subsidi yang bermanfaat bagi kami,” kata Dinar, seorang pekerja yang berbasis di Jakarta, kepada DW.

Riset yang diterbitkan pada Agustus 2024 oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial Universitas Indonesia (LPEM-UI) menunjukkan bahwa daya beli masyarakat kelas menengah, dan calon kelas menengah, di Indonesia mengalami penurunan selama lima tahun terakhir.

Mereka kini perlu mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk makanan, sehingga mengurangi pengeluaran untuk hal-hal lain.

“Pengeluaran non-makanan, seperti untuk barang-barang tahan lama, kesehatan, pendidikan, dan hiburan, lebih menunjukkan daya beli dan kesejahteraan ekonomi,” kata laporan itu.

“Pengeluaran ini cenderung meningkat seiring dengan pendapatan yang dapat dibelanjakan dan merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.

“Meningkatnya porsi pengeluaran pangan menunjukkan penurunan daya beli kelas menengah. Erosi daya beli ini mengkhawatirkan karena berdampak pada konsumsi agregat, yang merupakan pendorong penting pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini,” kata laporan tersebut.

Akankah Nusantara Indonesia menjadi ibu kota paling ramah lingkungan di dunia?

Untuk melihat video ini harap aktifkan JavaScript, dan pertimbangkan untuk mengupgrade ke browser web itu mendukung video HTML5

Daya beli berisiko

Selain inflasi, perlambatan ekonomi global secara keseluruhan telah memicu PHK besar-besaran Indonesia selama dua tahun terakhir, dan pekerja kelas menengah Indonesia mungkin akan mengalami penurunan pendapatan lebih lanjut pada tahun depan.

“Dalam dua tahun terakhir, banyak terjadi PHK massal karena industri kita, manufaktur kita, sekarang sudah tidak produktif,” kata Teuku Riefky, salah satu penulis studi LPEM-UI, kepada DW.

“Persoalan yang mungkin paling mendesak saat ini bagi kelas menengah adalah kita belum melihat adanya program khusus yang mampu menyasar ke arah tersebut,” tambah Riefky.

Kebijakan yang cenderung menekan daya beli masyarakat kelas menengah mungkin perlu dipertimbangkan kembali, ujarnya.

Mulai 1 Januari 2025, pemerintah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai dari 10% menjadi 12%.

Selain itu, akan terjadi kenaikan harga bahan bakar dan energi, serta kenaikan premi bulanan untuk asuransi kesehatan nasional dan biaya kereta api komuter yang lebih tinggi, yang akan berdampak pada jutaan masyarakat Indonesia yang bergantung pada moda transportasi ini setiap harinya.

Asri, warga Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah, mengatakan aktivitas baru yang ia dan anak-anaknya lakukan berpotensi menambah beban keuangan.

“Tidak apa-apa untuk membayar asuransi kesehatan, tapi jika meningkat, kita perlu mengurangi pengeluaran di tempat lain. Anggaran pangan akan menjadi pilihan terakhir,” kata Asri kepada DW.

Jebakan negara berpendapatan menengah?

Bhima Yudhistira, direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), sebuah lembaga pemikir ekonomi yang berbasis di Jakarta, mengatakan kepada DW bahwa ke depan, Indonesia memperkirakan pertumbuhan PDB tahunan di bawah 5%. Jumlah tersebut sesuai dengan proyeksi tahun 2024 yang dilaporkan dalam kajian LPEM-UI.

Sedangkan Indonesia sudah menetapkan sebuah tujuan yang ambisiusmenjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045.

“Dalam jangka panjang, Indonesia bisa saja terjebak dalam middle-income trap. Sulit menjadi negara maju karena jumlah masyarakat kelas menengah terus menurun sehingga berdampak pada peningkatan jumlah masyarakat miskin baru. katanya.

Algadri Muhammad dan Iryanda Mardanuz di Jakarta berkontribusi pada laporan ini

Diedit oleh: Wesley Rahn

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here