Pakar: Indonesia Kurang Mandiri dalam Teknologi Energi Terbarukan | DALAM

Minimnya penelitian dan pengembangan teknologi energi baru dan terbarukan menjadikan Indonesia hanya sekedar pasar bagi teknologi negara-negara maju dan menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap teknologi negara-negara maju, demikian peringatan para ahli.

Ekonom energi Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi mengatakan Indonesia memiliki sumber daya energi baru dan terbarukan yang melimpah, namun belum memiliki teknologi yang memadai untuk mengembangkannya.

“Contohnya (Perusahaan Energi Negara) Pertamina hanya bisa mengembangkan biodiesel sampai kategori B40. Sementara pengembangan biodiesel B100 dihentikan setelah mitranya dari Italia dan China menarik diri dari proyek tersebut dan meninggalkan Pertamina sendirian untuk melanjutkan program tersebut,” kata Fahmi kepada Indonesia Business Post pada Selasa, 17 September 2024.

Kasus serupa juga terjadi pada proyek gasifikasi batubara. Proyek senilai US$2,1 miliar ini dihentikan setelah perusahaan AS – Air Products and Chemical, Inc. – menarik diri dari proyek tersebut dan meninggalkan PT Bukit Asam dan Pertamina sendirian.

Sementara itu, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengatakan Indonesia terlalu bergantung pada teknologi asing dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. Ia mencontohkan, Indonesia hanya bisa menjadi perakit dalam produksi modul surya karena komponennya diimpor dari China.

“Indonesia belum bisa memproduksi komponen pembangkit listrik tenaga surya, seperti wafer silikon, sel surya, dan kaca tempered besi rendah untuk panel surya. Padahal, ekosistem pembangkit listrik tenaga surya bisa terbentuk dalam waktu singkat antara tiga hingga lima tahun jika pemerintah konsisten mengembangkannya,” kata Fabby.

Selain panel surya, Indonesia juga belum bisa memproduksi teknologi pembangkit listrik tenaga angin karena komponen seperti tiang, turbin, motor, dan magnet masih didatangkan dari luar negeri.

Mantan CEO PT Pertamina Geothermal Energy Abadi Poernomo mengatakan, Indonesia sebenarnya mempunyai kapasitas untuk mengembangkan teknologi di bidang panas bumi karena teknologi turbin dan pipa untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi tidaklah rumit.

Namun, kata Abadi, produksi massal komponen pembangkit listrik tenaga panas bumi tidak layak secara ekonomi di Indonesia karena pasar tidak dapat menyerap seluruh produk sekaligus sehingga produsen harus bersaing dengan produsen yang sudah ada dan lebih berpengalaman.

Kurangnya penelitian dan pengembangan

Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia perlu mengikuti jejak negara-negara maju dalam mengembangkan teknologi energi baru dan terbarukan.

Dia mencontohkan Tiongkok. Untuk memonopoli teknologi pembangkit listrik tenaga surya, Tiongkok telah memulai penelitian dan pengembangannya pada tahun 1950-an. Pada tahun 1990-an, modul suryanya dikomersialkan di Australia dan kemudian dikirim kembali ke Tiongkok.

“Jika kita mengunjungi Tiongkok, perusahaan seperti Goldwind, Sungrow dan Huawei memiliki ratusan ribu paten di bidang teknologi energi baru dan terbarukan. Hal ini menunjukkan perusahaan-perusahaan telah melakukan riset dan pengembangan yang serius untuk menguasai pasar,” kata Fabby.

Ia menambahkan, Indonesia belum serius mendanai dan melakukan penelitian dan pengembangan sehingga negara ini tidak memiliki teknologi energi baru dan terbarukan yang memadai dan orisinal.

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here