Para Ahli Menyoroti Tantangan Implementasi Skema Power Wheeling di Indonesia

JAKARTA – Pakar energi terbarukan dari Universitas Indonesia, Eko Adhi Setiawan, menyoroti sejumlah tantangan yang perlu diatasi sebelum skema power steering atau pemanfaatan bersama jaringan listrik dapat diterapkan di Indonesia.

Dalam diskusi daring yang digelar IESR di Jakarta, Rabu, 25 September, Eko mengatakan skema power steering yang memungkinkan produsen listrik swasta (IPP) menjual listrik langsung ke konsumen memiliki potensi besar untuk meningkatkan persaingan dan mendorong penggunaan energi terbarukan. Namun, implementasinya menghadapi sejumlah kendala yang kompleks.

Tantangan pertama adalah kompleksitas perhitungan tarif. Eko mengatakan, penetapan tarif yang adil untuk power steering harus melibatkan banyak pihak, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PLN, dan IPP. Proses ini dinilai sangat kompleks dan memerlukan regulasi yang jelas dan terperinci.

Kedua, renegosiasi kontrak. Menurut Eko, perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA) antara PLN dan IPP yang sudah ada pada umumnya sulit diubah. Proses renegosiasi berpotensi menimbulkan konflik dan sengketa.

Persoalannya makin kompleks karena skema power steering itu katanya bisa menurunkan pendapatan PLN karena IPP bisa menjual listrik langsung ke konsumen.

“Ini juga sulit bagi PLN karena mereka sudah punya kontrak PPA dalam jangka panjang. PLN harus mendapat bantuan dari pemerintah. ESDM harus turun tangan mengatasi ini,” kata Eko yang juga Lektor Kepala Universitas Indonesia, dikutip dari Antara.

Ketiga, perlunya modernisasi jaringan. Eko menjelaskan, untuk mendukung power steering, PLN perlu melakukan modernisasi jaringan kelistrikan secara signifikan, termasuk penerapan smart grid.

Investasi besar dan pengembangan teknologi baru, menurutnya, diperlukan untuk mengelola energi terbarukan yang terputus-putus atau tidak stabil karena sangat bergantung pada cuaca.

Keempat, perluasan jaringan transmisi dan distribusi. Eko mengatakan, perluasan jaringan transmisi dan distribusi, terutama di daerah terpencil, membutuhkan investasi besar yang harus ditanggung PLN dan pemerintah.

Tantangan kelima adalah kompleksitas regulasi dan mekanisme transaksi. Pemerintah, katanya, perlu menyusun regulasi baru yang mengatur tarif, audit, dan mekanisme perdagangan yang adil dan efektif. Perubahan besar dalam kebijakan energi juga diperlukan untuk mendukung transaksi listrik di luar monopoli PLN.

Eko juga mengatakan bahwa ada resistensi dari PLN dalam penerapan skema power steering. Ia memahami bahwa PLN melihat skema ini sebagai ancaman terhadap model bisnis mereka yang saat ini mendominasi jaringan transmisi dan distribusi.

“Dan itu wajar karena mereka (PLN) sudah punya kontrak PPA jangka panjang,” pungkasnya.

Pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik merupakan mekanisme yang memungkinkan pemilik pembangkit tenaga listrik untuk menyalurkan tenaga listrik kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi yang telah ada dan dimiliki oleh pihak lain.

Dalam konteks pasar ketenagalistrikan Indonesia, PLN sebagai pemilik jaringan ketenagalistrikan merupakan pemangku kepentingan utama dalam pelaksanaan mekanisme ini, di samping konsumen dan pemilik pembangkit listrik.

Konsep power steering menjadi salah satu poin penting yang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) di DPR RI. Namun, hingga saat ini RUU tersebut belum disahkan karena belum tercapai kesepakatan terkait mekanisme pelaksanaan power steering.


Versi bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Arab, dan Prancis dibuat secara otomatis oleh AI. Jadi mungkin masih ada ketidakakuratan dalam penerjemahan, mohon selalu gunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama kami. (sistem didukung oleh DigitalSiber.id)



Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here