Pembiayaan Bangunan Hijau di Kota-Kota Indonesia

Sektor bangunan dan konstruksi memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Namun, sektor ini juga merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca.Sektor bangunan di negara ini menyumbang 23% dari total konsumsi energi pada tahun 2021 dan diperkirakan akan berkontribusi sebesar 40% pada tahun 2030.

Hal ini sebagian disebabkan oleh tingkat pertumbuhan konstruksi tahunan sebesar 5-6%, serta pertumbuhan populasi perkotaan sebesar 65% yang diharapkan pada tahun 2050. Pertumbuhan di sektor bangunan akan terkonsentrasi di kota-kota, terutama di pulau Jawa dan Sumatra, yang merupakan salah satu pulau terpadat di kepulauan Indonesia.

Iklim tropis Indonesia membuat pendinginan menjadi aspek penting bangunan hijau. Diperkirakan 550 juta unit pendingin udara (AC) akan terjual di Indonesia antara tahun 2022 dan 2060. Pendinginan yang efisien akan menjadi hal yang penting untuk mengurangi konsumsi listrik, termasuk melalui penggunaan sistem AC dan bahan bangunan yang efisien.

Laporan ini adalah bagian ketiga dari tiga bagian laporan oleh CCFLA untuk mendorong pemahaman yang lebih baik tentang hambatan pembiayaan dan solusi untuk menerapkan bangunan dengan emisi karbon nol bersih. Laporan ini mengkaji penggunaan instrumen keuangan saat ini yang dapat mendorong pengembangan sektor bangunan hijau di Indonesia. Laporan ini juga mengkaji bagaimana kerangka regulasi nasional dan subnasional dapat mengatasi hambatan yang teridentifikasi terhadap investasi swasta dan publik.

Kami menggunakan taksonomi CCFLA yang baru dikembangkan dari 75 instrumen keuangan dan kebijakan untuk membantu mengatasi hambatan dalam mencapai bangunan hijau (CCFLA 2023a). Kami telah mengadaptasi model ini ke dalam konteks Indonesia, berdasarkan penelitian pustaka dan wawancara dengan para ahli bangunan hijau. Hambatan terhadap bangunan hijau dinilai dari segi tingkat keparahannya di Indonesia, dan instrumen keuangan dan kebijakan dievaluasi untuk mengetahui ketersediaan dan potensi untuk memperluas sektor bangunan hijau di Indonesia.

Penyelaman mendalam juga dilakukan di kota Semarang, yang merupakan satu dari hanya enam pemerintah daerah di Indonesia yang telah mengadopsi peraturan daerah tentang bangunan hijau. Studi ini menganalisis konsumsi energi di apartemen, kantor, komersial, dan gedung publik serta memperkirakan potensi peningkatan energi dari penerapan regulasi bangunan hijau yang ada dan biaya investasi pada bangunan hijau.

Temuan Utama

Hambatan finansial dianggap sebagai tantangan terberat dalam penerapan bangunan hijau di Indonesia. Tiga jenis hambatan lainnya ditemukan memiliki tingkat keparahan sedang hingga rendah, berdasarkan penelitian dan wawancara ahli, seperti yang ditunjukkan pada Tabel ES1.

Tabel ES1. Kategori hambatan dan persepsi tingkat keparahannya

Tidak ada instrumen fiskal dalam taksonomi CCFLA yang telah diterapkan di bangunan hijau atau sektor energi terbarukan di Indonesia. Instrumen-instrumen ini – termasuk subsidi biaya modal, kredit karbon, dan mekanisme energi bersih yang dinilai berdasarkan properti – telah membantu memajukan pembangunan gedung hijau di negara-negara lain. Instrumen pembiayaan yang tersedia saat ini di Indonesia – termasuk hibah, utang, obligasi, dan pembiayaan ekuitas publik dan swasta – cenderung tradisional daripada inovatif; instrumen pembiayaan yang lebih khusus diperlukan untuk meningkatkan investasi dalam pembangunan gedung hijau.

Peraturan bangunan hijau Indonesia sudah semakin baik namun masih belum cukup memadai untuk diterapkan secara luas di perkotaan. Perkembangan tingkat nasional mencakup bagian khusus tentang bangunan hijau dalam peraturan pemerintah nasional (PP) tentang bangunan yang dirilis pada Februari 2021 (PP 16/2021), diikuti sebulan kemudian oleh peraturan yang mewajibkan penilaian kinerja untuk bangunan hijau.

Peraturan yang ada tidak cukup untuk mencapai ambisi dalam hal mencapai bangunan dengan emisi karbon nol bersih dan skalanya. Sektor perumahan, yang menyumbang 83% permintaan energi dari bangunan di Indonesia, tidak diwajibkan untuk mengikuti standar bangunan hijau. GR 16/2021 menetapkan serangkaian standar bangunan hijau tetapi hanya wajib untuk bangunan yang sangat besar (dengan luas lantai di atas 5.000 m2). Hal ini membatasi upaya untuk meningkatkan pembangunan bangunan hijau, sehingga memperlambat laju pengurangan emisi untuk bangunan.

Selain itu, peraturan saat ini tidak memuat rincian yang cukup untuk memfasilitasi penerapan di tingkat kota. PP 16/2021 tidak mencakup persyaratan tentang energi terbarukan, yang dibutuhkan untuk mencapai bangunan dengan emisi karbon nol bersih. Beberapa pemerintah daerah memiliki standar yang lebih ambisius – misalnya, Jakarta telah mengamanatkan agar sistem tenaga surya dipasang di atap gedung pemerintah daerah dan beberapa apartemen. Namun, peraturan ini dicabut pada bulan Desember 2023 untuk disesuaikan dengan peraturan nasional.

Studi kasus kami di Semarang menemukan bahwa peningkatan efisiensi energi untuk sistem AC dan bahan bangunan melalui perbaikan dapat menghasilkan penghematan energi yang signifikan. Simulasi kami menemukan bahwa sistem pendinginan dan bahan bangunan yang lebih baik dapat mengurangi penggunaan energi antara 32% dan 44%, tergantung pada jenis bangunan, menghasilkan penghematan biaya energi sekitar USD 3,19 juta (Rp 50,56 miliar) setahun.

Memenuhi mandat bangunan hijau Semarang dalam sepuluh tahun ke depan akan membutuhkan investasi besar.(1) Total investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi target ini diperkirakan mencapai USD 223,7 juta. Bahkan setelah memperhitungkan biaya energi yang lebih rendah untuk bangunan hijau, diperlukan lebih banyak pendanaan bagi Semarang dan kota-kota sejenisnya untuk mencapai target ini.

Rekomendasi

Rekomendasi kami bertujuan untuk membantu pemerintah pusat dan daerah sebagai pelaku utama dalam pembiayaan dan implementasi bangunan hijau. Pemerintah dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung bangunan hijau melalui tindakan berikut:

  1. Mendukung lembaga keuangan dan pengembang proyek melalui pengembangan kapasitas dan eksplorasi instrumen pembiayaan inovatif untuk pembangunan dan renovasi bangunan hijau di Indonesia. Ini dapat mencakup upaya untuk meningkatkan kesadaran di kalangan lembaga keuangan tentang peluang instrumen keuangan hemat energi.
  2. Mengembangkan instrumen fiskal untuk meningkatkan daya tarik investasi pada bangunan hijau melalui penghematan energi dan biaya. Insentif pemerintah atau peningkatan kredit yang diberikan kepada lembaga keuangan dapat membantu memacu inovasi di bidang ini. Pemerintah juga dapat memfasilitasi pertukaran antara lembaga keuangan, pengembang proyek, dan pemilik bangunan. Peraturan bangunan hijau nasional saat ini perlu:
    • Diwajibkan bagi bangunan tempat tinggal dengan luas lantai tertentu, mengingat bangunan tempat tinggal menyumbang 83% dari total permintaan energi dari bangunan di Indonesia.
    • Diadopsi dan diimplementasikan di tingkat lokal (kota atau provinsi).
    • Diperluas untuk mencakup persyaratan energi terbarukan (baik di lokasi, di luar lokasi, atau pembelian sertifikat energi terbarukan) untuk membantu Indonesia bergerak menuju bangunan dengan emisi karbon nol bersih.

(1) Rencana induk Kota Semarang menetapkan proyeksi pembangunan gedung yang diharapkan, peraturan daerah Kota Semarang menetapkan biaya satuan konstruksi, dan peraturan bangunan nasional menetapkan persyaratan bangunan hijau berdasarkan jenis bangunan dan luas lantai.

Sumber