Di tengah meningkatnya persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, lanskap geopolitik menyaksikan munculnya hubungan kontroversial lainnya, kali ini melibatkan Indonesia, kekuatan regional yang sedang naik daun di Asia Tenggara, dan Uni Eropa (UE).
Hubungan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir, terutama di sektor-sektor seperti nikel mentah dan minyak sawit. Salah satu masalah yang signifikan adalah penerapan larangan ekspor nikel mentah dan bijih mineral lainnya oleh Indonesia. Selain itu, Uni Eropa telah menerapkan peraturan deforestasi yang ketat yang memengaruhi ekspor minyak sawit dan produk pertanian lainnya dari Indonesia. Sementara ketegangan bilateral ini tidak diragukan lagi berdampak pada sektor industri terkait, yang lebih penting lagi adalah menggarisbawahi dinamika fragmentasi global yang terus berkembang dan pergeseran lebih lanjut menuju tatanan dunia multipolar.
Indonesia, yang memiliki cadangan mineral mentah utama seperti nikel, bauksit, dan tembaga, telah memanfaatkan sumber daya ini untuk memajukan nasionalisme ekonominya. Pemerintah menerapkan larangan ekspor nikel mentah pada Januari 2020, diikuti oleh larangan bijih bauksit pada Juni 2023, dengan rencana untuk sumber daya mentah lainnya dalam proses. Langkah strategis terkait nikel ini merupakan bagian dari kebijakan utama pemerintahan Joko Widodo yang akan berakhir, yang dikenal sebagai hilirisasi (hilirisasi) kebijakan. Meskipun kebijakan tersebut mencakup berbagai bahan baku, nikel memegang posisi prioritas dalam kebijakan tersebut.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan industri peleburan dan pemrosesan di negara ini, terutama untuk mengantisipasi peningkatan permintaan yang didorong oleh transformasi hijau, yang menekankan baterai dan produk terkait. Untuk nikel dan mineral utama lainnya, tujuan utamanya adalah untuk menarik investasi asing yang substansial untuk memajukan pemrosesan hilir untuk baterai dan secara signifikan meningkatkan produksi kendaraan listrik (EV), memposisikan Indonesia sebagai pusat regional untuk manufaktur EV. peningkatan yang nyata dalam investasi asing dalam industri peleburan dan pemrosesan setelah penerapan kebijakan ini, meskipun dampak jangka panjang dari kebijakan itu sendiri memerlukan tinjauan lebih lanjut.
Uni Eropa telah menentang kebijakan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pernyataan utama mereka adalah bahwa larangan Indonesia terhadap ekspor bijih nikel dan persyaratan untuk pemrosesan bijih nikel dalam negeri melanggar Pasal XI:1 GATT 1994, yang melarang negara-negara anggota memberlakukan pembatasan kuantitatif terhadap impor dan ekspor. Nikel, yang penting untuk baterai, memegang peranan penting yang signifikan bagi agenda transisi hijau UE. Memastikan pasokan mineral penting yang memadai merupakan hal mendasar bagi tujuan kebijakan mereka. Oleh karena itu, meskipun impor bijih langsung Uni Eropa dari Indonesia karena tidak luas, terdapat kekhawatiran yang mendalam tentang potensi gangguan pada rantai pasokan hulu di Indonesia, cadangan nikel terkemuka.
Pada bulan November 2022, panel memutuskan mendukung Uni Eropa, mendorong Indonesia akan mengajukan banding kepada Badan Banding pada bulan berikutnya. Namun, Badan Banding saat ini disfungsional karena Amerika Serikat telah menangguhkan penamaan anggota panel. Putusan tersebut secara efektif telah “ditarik ke pengadilan dan tidak berlaku lagi,” yang berpotensi memberi waktu dari sudut pandang Indonesia. Indonesia telah menyatakan bahwa kebijakannya dikecualikan dan diizinkan berdasarkan GATT 1994, dan menyatakan niatnya untuk melanjutkan pertempuran hukum.
Namun, di luar argumen hukum, ada klaim penting bahwa sekarang adalah kesempatan terbaik dan mungkin terakhir bagi Indonesia untuk mengembangkan industrinya, yang menurut sebagian orang sedang dihalangi oleh Uni Eropa atau Barat. Ada wacana yang menunjukkan bahwa situasi ini mencerminkan bentuk baru kolonialisme atau imperialismeBahasa Indonesia: menyamakan tindakan Uni Eropa dengan ekspor paksaserupa dengan perkebunan paksa di bawah kekuasaan Belanda. Perspektif ini tidak selalu radikal di Indonesia; perspektif ini dianut secara luas di seluruh spektrum politik. Ini menyiratkan bahwa aturan yang ada, sebagaimana ditafsirkan oleh UE, tidak dianggap adil oleh Indonesia, meskipun Indonesia sendiri tidak menolak tatanan berbasis aturan tersebut. Usulan Indonesia bagi organisasi pengelolaan sumber daya bergaya Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) adalah salah satu contoh niatnya untuk menantang tatanan saat ini sambil tetap berada dalam kerangka kerja berbasis aturan.
Nikel dan mineral mentah lainnya sangat penting bagi transisi hijau, yang menjadi prioritas Uni Eropa. Namun, isu-isu kontroversial lainnya antara kedua belah pihak berkisar pada deforestasi. Pada tahun 2023, Uni Eropa mengadopsi peraturan ketat yang disebut Peraturan Deforestasi Uni Eropayang akan mulai diterapkan pada Desember 2024 untuk perusahaan besar dan Juni 2025 untuk perusahaan kecil dan menengah. Langkah-langkah ini bertujuan untuk membatasi impor produk yang terkait dengan deforestasi dan memerlukan bukti bahwa produk impor tidak bersumber dari daerah yang mengalami deforestasi setelah Desember 2020. Dalam konteks yang lebih luas, peraturan ini merupakan bagian dari upaya UE untuk memberikan pengaruh melalui pembuatan peraturan, yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan otonomi strategis merekaPendekatan ini sering kali mengarah Uni Eropa akan mendorong pengembangan industri penggantiseperti industri biji bunga matahari.
Langkah-langkah ini telah dipenuhi dengan tanggapan keras dari Indonesiayang memandang hal tersebut sebagai hambatan lain bagi pertumbuhan ekonominya. Meskipun hal ini bukan larangan impor secara menyeluruh terhadap produk tertentu atau penargetan negara tertentu, namun hal ini berdampak signifikan terhadap Indonesia sebagai eksportir utama produk-produk yang menjadi target, terutama minyak kelapa sawit. Deforestasi dan isu lingkungan yang terkait dengannya tentu saja dianggap sebagai masalah di Indonesia, tetapi pendekatan Uni Eropa dianggap terlalu radikal dan cepat di mata Indonesia. Untuk banyak produk pertanian termasuk minyak kelapa sawit, mayoritas produsennya adalah skala kecil atau menengah, dan ada banyak kesulitan dalam memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan. Dari pengertian tersebut, kebijakan tersebut dipandang sebagai larangan impor atau larangan akses pasar secara de facto.
Perselisihan antara Indonesia dan Uni Eropa terkait masalah nikel dan penggundulan hutan bukanlah hal yang berdiri sendiri; melainkan mencerminkan tantangan yang lebih luas yang dihadapi tatanan global. Indonesia, seperti negara-negara ekonomi berkembang lainnya, memperoleh pengaruh dengan memanfaatkan pasar domestiknya yang terus tumbuh dan sumber daya alam yang penting secara strategis. Bersamaan dengan itu, tren global seperti disfungsi WTO dan transisi energi mendorong kebangkitan negara-negara ekonomi berkembang ini. Sebaliknya, Uni Eropa, yang berupaya mengamankan ruang strategisnya melalui pembuatan aturan, mendapati kepentingannya semakin ditantang oleh negara-negara ekonomi berkembang ini. Ketika Amerika Serikat dan Tiongkok terus memperdalam jurang pemisah global, negara-negara ekonomi berkembang dan Uni Eropa juga berupaya untuk menegaskan kepentingan dan keunggulan strategis mereka, yang tak pelak lagi berujung pada bentrokan.
Hubungan Tiongkok-AS sering dianggap sebagai isu utama dalam geopolitik global. Meskipun perspektif ini mengandung beberapa kebenaran, dinamika Indonesia-UE menawarkan dimensi penting lain pada lanskap global saat ini. Dunia tidak hanya terbagi menjadi dua kubu yang berlawanan; negara-negara ekonomi berkembang dan UE juga berjuang untuk mendapatkan otonomi guna memprioritaskan kepentingan mereka sendiri. Upaya ini mendorong dunia yang lebih terfragmentasi dan multipolar.
Meskipun ada konsensus umum tentang pentingnya mematuhi tatanan berbasis aturan, legitimasi dan imparsialitas aturan yang ada semakin dipertanyakan. Uni Eropa berpendapat bahwa aturan-aturan ini mewujudkan nilai-nilai universal, namun negara-negara ekonomi berkembang seperti Indonesia berpendapat bahwa hal ini belum tentu demikian. Ketika konteks historis dan nilai-nilai seperti perlindungan lingkungan atau hak asasi manusia dipertimbangkan, penyelesaian sengketa ini menjadi sangat rumit.
Ketika tatanan yang mapan mulai hancur, memulihkannya akan menjadi tantangan tersendiri. Sementara inisiatif plurilateral seperti Pengaturan Arbitrase Banding Sementara Multi-Pihak (MPIA) dapat menawarkan solusi sementara bagi beberapa negara, dunia multipolar menjadi norma baru. Akibatnya, konfrontasi seperti yang terjadi antara Indonesia dan Uni Eropa kemungkinan akan muncul di belahan dunia lain di masa mendatang.