Perjuangan kelas menengah Indonesia dapat merugikan perekonomian, 'kemungkinan' memicu kerusuhan: para ahli

Populasi kelas menengah Indonesia yang menyusut dapat menghambat ambisinya untuk mencapai status negara maju sekaligus memicu keresahan sosial jika pemerintah terus mengabaikan kelompok tersebut, para ekonom memperingatkan.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 30 Agustus lalu mengungkapkan, jumlah penduduk kelas menengah tahun ini mencapai 47,85 juta jiwa, turun dibanding tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Menurut data BPS, saat ini penduduk kelas menengah dan calon kelas menengah mencapai 66,35 persen dari total penduduk atau sebesar 185,35 juta jiwa.

“Dari 2014 hingga 2019, (kelas menengah) meningkat dari 41 persen menjadi 53 persen. Setelah pandemi, jumlahnya berangsur-angsur menurun (dan) ada 'long Covid' bagi perekonomian,” kata Pelaksana Tugas Kepala BPJS Kesehatan, Amalia Adininggar, kepada wartawan.

Menurut Amalia, anggota kelas menengah Indonesia sebagian besar adalah Generasi X dan milenial, yang berpendidikan SMA atau universitas, tinggal di kota, dan bekerja di sektor formal. Baik kelas menengah maupun calon kelas menengah menopang perekonomian Indonesia, katanya, karena mereka menyumbang 81,49 persen konsumsi domestik, pilar ekonomi Indonesia yang mencapai US$1,3 triliun.

Di Indonesia, kelas menengah diklasifikasikan sebagai mereka yang berpendapatan bulanan antara 2,04 juta (US$132) hingga 9,90 juta rupiah (US$640), sementara calon kelas menengah mencakup mereka yang berpendapatan antara 874.000 rupiah hingga 2,04 juta rupiah.

Sumber