Lima tahun terakhir telah terjadi penurunan tajam dalam jumlah orang Indonesia yang menikah. Statistik Indonesia melaporkan jumlah pernikahan terdaftar turun dari 2.016.071 pada tahun 2018 menjadi hanya 1.577.255 pada tahun 2023.
Beberapa pihak menafsirkan penurunan ini sebagai tanda kemajuan dalam mengurangi pernikahan diniPihak lain, termasuk para pembuat kebijakan seperti Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, khawatir tentang implikasinya terhadap tingkat kesuburan negara tersebut. Tingkat kesuburan total Indonesia telah mencapai tingkat terendah dalam empat dekade, yaitu sekitar 2,18 anak per wanita pada tahun 2020Diproyeksikan akan terus menurun ke 1,97 pada tahun 2045.
Tren ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia akan keluar dari periode bonus demografi — fase di mana jumlah penduduk usia produktif, yaitu mereka yang berusia 15 hingga 64 tahun, lebih banyak daripada jumlah penduduk yang tidak produktif — lebih awal dari yang diantisipasi sebelumnya.
Kemudian akan memasuki fase populasi yang menua, dengan Jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan meningkat dari 6,2 persen pada tahun 2020 menjadi 14,6 persen pada tahun 2045.
Memilih untuk Tidak Menikah Dini atau Sama Sekali
Penurunan angka pernikahan di Indonesia mencerminkan pergeseran sosial ekonomi yang signifikan, khususnya meningkatnya akses terhadap pendidikan dan kesempatan kerja bagi perempuan, serta meningkatnya biaya hidup di daerah perkotaan.
Faktor-faktor ini menyebabkan berkembangnya norma-norma sosial seputar pernikahan, sehingga banyak orang memilih untuk menunda pernikahan. usia rata-rata pada pernikahan pertama telah meningkat dari 19,3 dan 23,8 tahun untuk wanita dan pria pada tahun 1971, menjadi 22,4 dan 27,1 tahun pada tahun 2017.
Meskipun terjadi pergeseran ini, pernikahan masih memiliki nilai budaya dan sosial di Indonesia, yang seringkali menandai transisi dari masa muda menuju dewasa dan tetap menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. saling terkait erat dengan harapan agama dan keluarga.
Sementara nilai-nilai modern seperti pilihan pribadi dan pemenuhan diri semakin menonjol, pandangan tradisional tentang pernikahan sebagai penanda penting kedewasaan tetap ada, yang menciptakan dualitas dalam norma-norma masyarakat. Meskipun kaum muda sekarang memiliki lebih banyak kebebasan dalam memilih kapan dan dengan siapa mereka akan menikah, khususnya mereka yang berpendidikan tinggi dan mereka yang tinggal di daerah maju seperti Jakarta, pernikahan tetap menjadi nilai utama.
Namun demikian, tren di masa lalu menunjukkan adanya fluktuasi, seperti pada masa transisi dari Orde Baru ke era Orde Baru. Reformasi (Reformasi) pada tahun 1998, ketika usia perkawinan pertama semakin meningkat terhenti sementarakhususnya bagi wanita di daerah pedesaan.
Bahkan dengan perubahan hukum baru-baru ini, seperti menaikkan usia minimum menikah bagi pengantin wanita dari 16 menjadi 19 tahun, masalah pernikahan anak dan pernikahan dini masih tetap ada. Meskipun telah terjadi penurunan bertahap dalam tingkat pernikahan dini, Tingginya jumlah permohonan dispensasi pernikahan ke pengadilan agama menunjukkan tantangan yang berkelanjutan dalam menegakkan standar hukum baru secara penuh.
Gerakan seperti “Indonesia Tanpa Pacaran” (Indonesia Tanpa Pacaran) telah meromantisasi pernikahan dini sebagai alternatif moral terhadap pacaran tradisional, yang selanjutnya mempersulit upaya untuk menunda pernikahan dan mengurangi angka pernikahan anak.
Munculnya Gerakan Bebas Anak
Meskipun penurunan angka pernikahan mungkin mencerminkan pergeseran sosial ekonomi yang signifikan, faktor lain yang berkontribusi terhadap menurunnya angka kesuburan adalah maraknya gerakan untuk tidak memiliki anak di kalangan pemuda Indonesia. Gerakan ini telah mendapatkan perhatian, terutama di media sosial, di mana perdebatan terkini dipicu setelah seorang selebriti mengumumkan secara terbuka keputusannya untuk tidak punya anak, yang menuai dukungan sekaligus reaksi negatif.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya peningkatan jumlah perempuan yang tidak memiliki anak, dari 7 persen pada tahun 2019 menjadi 8,2 persen pada tahun 2022Mereka adalah wanita yang berada pada usia subur, belum memiliki anak, dan tidak menggunakan metode kontrasepsi apa pun.
Pergeseran ini telah memicu kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan, yang memperingatkan bahwa tren tanpa anak dapat mengancam stabilitas demografi Indonesia dengan berkontribusi terhadap penurunan angka kesuburan yang lebih cepat.
Penting untuk membedakan antara menurunnya angka kesuburan dan berubahnya sikap terhadap pernikahan dan peran sebagai orang tua.
Penurunan angka kelahiran sebagian besar disebabkan oleh keberhasilan program keluarga berencana yang mendukung keluarga dengan ukuran keluarga yang lebih kecil — situasi yang telah diterima secara luas di masyarakat Indonesia. Meningkatnya biaya membesarkan anak juga berkontribusi terhadap tren ini.
Penundaan perkawinan kemudian menggeser usia perempuan melahirkan anak pertama mereka dari antara 20 dan 24 tahun menjadi antara 25 dan 29 tahun, yang mencerminkan perubahan masyarakat yang lebih luas, termasuk perempuan yang memprioritaskan pendidikan dan karier sebelum memulai sebuah keluarga.
Tingkat pendidikan tinggi, terutama di kalangan perempuan, dikaitkan dengan menurunnya angka perkawinan dan kesuburanSeiring dengan meningkatnya pendidikan masyarakat, mereka cenderung menyadari biaya ekonomi dan pribadi dalam memiliki anak, yang menyebabkan pergeseran fokus dari jumlah anak ke kualitas pengasuhan.
Namun, di Indonesia, tren ini tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga mengalaminya. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan dalam bidang pendidikan saja mungkin tidak cukup untuk mendorong penurunan signifikan dalam angka fertilitas total, seperti yang terlihat di negara-negara Asia yang lebih maju. Mengingat keragaman Indonesia yang sangat besar, penting untuk mempertimbangkan faktor budaya dan kontekstual saat menganalisis hubungan antara pendidikan dan fertilitas.
Bagaimana Para Pembuat Kebijakan Dapat Merespons?
Untuk mengatasi pergeseran demografi ini, Indonesia dapat mencontoh negara lain yang telah berhasil menerapkan kebijakan untuk mengurangi biaya membesarkan anak. Negara-negara seperti Swedia telah memperkenalkan sistem dukungan keluarga yang komprehensif, termasuk cuti orang tua, subsidi pengasuhan anak, dan pengaturan kerja yang fleksibel, yang telah membantu mempromosikan tanggung jawab pengasuhan bersama dan membantu pasangan untuk menyeimbangkan kehidupan kerja dan keluarga.
Dengan mengadaptasi kebijakan serupa yang sesuai dengan konteks negara, Indonesia dapat mengurangi potensi dampak negatif dari tren ini dan mendukung pasangan dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga tanpa mengorbankan aspirasi keluarga mereka.
Sementara penurunan angka pernikahan di Indonesia dan meningkatnya aspirasi beberapa pasangan untuk tidak memiliki anak mencerminkan pergeseran norma sosial dan meningkatnya otonomi individu, tren ini juga menghadirkan tantangan yang harus ditangani oleh para pembuat kebijakan.
Meskipun ada kemajuan di bidang pendidikan dan reformasi hukum, masih adanya pernikahan dini menyoroti kompleksitas norma budaya dan tekanan ekonomi yang terus membentuk demografi negara tersebut.
Awalnya diterbitkan di bawah Hak Cipta Creative Commons oleh informasi 360™.