Perusahaan-perusahaan China telah bergerak untuk mengurangi kepemilikan mereka di pabrik peleburan nikel Indonesia dalam upaya agar produk mereka memenuhi syarat untuk kredit pajak kendaraan listrik AS.
Perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti Tshingshan Holding Group, Zhejiang Huayou Cobalt, dan Lygend Resources and Technology merupakan pemain kunci di sektor nikel Indonesia. Mereka telah berunding dengan calon investor untuk memangkas kepemilikan saham mereka hingga di bawah 25% dari entitas lokal, kata seorang pejabat Indonesia pada hari Jumat.
Di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi ASAgar memenuhi syarat untuk pemotongan pajak kendaraan listrik (EV), bahan untuk EV atau baterai harus dipasok oleh perusahaan dengan kepemilikan tidak lebih dari 25% oleh “entitas asing yang bersangkutan”. Ketentuan tersebut berlaku untuk perusahaan dari Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Iran.
LIHAT JUGA: Penjualan BYD Melonjak di Asia Tenggara Sementara Pertumbuhan Tesla Melambat
Indonesia, produsen nikel terbesar di dunia, telah merundingkan kesepakatan mineral penting dengan Washington sehingga nikelnya dapat dimasukkan dalam rantai pasokan yang diakui oleh IRA.
Namun industri nikel negara Asia Tenggara itu kini didominasi oleh perusahaan China seperti Tshingshan Holding, Zhejiang Huayou Cobalt, dan Lygend Resources and Technology.
Jadi, perusahaan-perusahaan Tiongkok telah mendekati perusahaan-perusahaan Indonesia dan Korea Selatan untuk kemitraan potensial di pabrik-pabrik pelindian asam tekanan tinggi (HPAL) yang sedang dibangun dan yang dalam tahap perencanaan, Septian Hario Seto, Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan pada hari Jumat.
HPAL adalah metode untuk memproduksi bahan nikel yang digunakan dalam baterai EV dari bijih nikel.
Tujuannya adalah untuk mengurangi kepemilikan perusahaan China dan agar memenuhi syarat untuk mendapatkan keringanan pajak di pasar AS, kata Seto, yang mengawasi sektor pertambangan di kementerian koordinator, seraya menambahkan perusahaan Indonesia juga berupaya memperoleh saham mayoritas dalam proyek tersebut.
“Perusahaan China akan berperan sebagai penyedia teknologi, investor Indonesia sebagai penyedia bijih nikel, dan investor Korea akan menjadi off-taker,” ujarnya.
Financial Times melaporkan pada hari Kamis bahwa pemerintah dan industri Indonesia sedang menyusun kesepakatan investasi baru dengan perusahaan-perusahaan China sebagai pemegang saham minoritas.
Seto mengatakan upaya tersebut merupakan usaha bisnis-ke-bisnis, tanpa campur tangan pemerintah.
Dalam kunjungannya ke Jakarta minggu lalu, pejabat AS Jose Fernandez mengatakan negosiasi kedua negara mengenai perjanjian mineral penting tersebut berjalan positif, tetapi ia tidak membagikan rincian mengenai waktunya.
- Reuters dengan penyuntingan tambahan oleh Jim Pollard