Pleasure Marriages menjelaskan: ​Mengapa perempuan Indonesia memilih pernikahan yang 'ilegal' dengan turis?
Sebuah laporan terbaru oleh Waktu Los Angeles telah mengungkap tren yang berkembang di Indonesia, dimana jumlah perempuan di komunitas miskin semakin meningkat istri sementara bagi wisatawan pria dengan imbalan mahar. Praktik ini, yang biasa disebut sebagai “perkawinan yang menyenangkan”, telah berkembang sebagai sarana bagi sebagian perempuan untuk menghidupi keluarga mereka di tengah kesulitan ekonomi. Praktik ini banyak terjadi di wilayah Puncak, sebuah tujuan wisata populer yang terkenal dengan keindahan alam dan pengaruh Arabnya.

Perjuangan finansial yang dihadapi oleh para perempuan ini telah mengubah pernikahan untuk kesenangan menjadi sebuah industri yang sedang berkembang, yang pada gilirannya, telah meningkatkan pariwisata lokal. “Kami melihat sekarang praktik ini semakin meluas. Pariwisata memenuhi kebutuhan ekonomi ini,” kata Yayan Sopyan, seorang profesor hukum keluarga Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta. Meskipun ilegalitas pernikahan kontrak di Indonesia, penegakan hukum masih lemah sehingga industri ini bisa berkembang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran etika yang signifikan mengenai eksploitasi perempuan yang rentan.

Kisah seorang wanita memberikan contoh realitas mengerikan dalam industri ini. Cahaya, yang namanya telah diubah demi privasi, memulai perjalanannya pada usia 17 tahun ketika pertama kali menikah dengan pria berusia 50-an dari Arab Saudi dengan mahar $850. Sepanjang pengalamannya, dia telah melakukan 15 pernikahan seperti itu. Cahaya mengungkapkan kesulitan ekonomi yang mendorongnya melakukan praktik tersebut, terutama setelah suami pertamanya meninggalkan dia dan putrinya.

Kisahnya mencakup sebuah episode meresahkan ketika dia dibawa ke Arab Saudi dan diperlakukan kasar oleh suami sementaranya. Meskipun dijanjikan mahar sebesar $2000 dan tunjangan bulanan, dia dianiaya dan dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa bayaran.

“Saya diperlakukan seperti budak: dia meludahi makanan saya, berteriak kepada saya setiap malam, dan merusak barang-barang,” dia berbagi.


Setelah beberapa kali gagal melarikan diri, ia menghubungi Budi Priana yang awalnya mengenalkannya pada calo pernikahan. Dia mencari bantuan dari Kedutaan Besar Saudi di Jakarta, yang akhirnya memfasilitasi kepulangannya ke Indonesia. Budi Priana berbicara kepada Los Angeles Times, mengatakan, “Selalu ada gadis-gadis baru yang menghubungi saya untuk mencari pernikahan kontrak, tapi saya katakan kepada mereka bahwa saya bukan seorang perempuan.” agen. Perekonomian semakin buruk, dan mereka sangat putus asa untuk mendapatkan pekerjaan.” Dia mengklarifikasi bahwa meskipun dia tidak menjadi perantara pernikahan, dia bertindak sebagai penghubung untuk mendapatkan bayaran. Cahaya menjelaskan bahwa dia biasanya mendapat penghasilan antara US$300 dan US$500 per pernikahan, yang membantunya menutupi biaya hidup dan merawat kakek-neneknya yang sakit. Pengalamannya menyoroti motivasi ekonomi yang mendorong banyak perempuan melakukan praktik ini. Wanita lain, Nisa, berbagi kisahnya, mengungkapkan bahwa dia telah menikah setidaknya 20 kali sebelum bertemu dengan pria Indonesia dan akhirnya meninggalkan praktik tersebut. Nisa kini memiliki dua orang anak dan mengungkapkan tekadnya untuk tidak kembali ke kehidupan sebelumnya.

Apa itu pernikahan kesenangan?

Pernikahan kesenangan, atau 'nikah mut'ah,' berakar pada tradisi Islam Syiah, di mana durasi dan mahr (mas kawin) telah ditentukan sebelumnya. Namun, banyak cendekiawan Islam, termasuk dari komunitas Syiah, mengecam praktik tersebut sebagai tindakan yang tidak etis. Indonesia tidak mengakui nikah mut'ah sebagai bentuk perkawinan yang sah, karena bertentangan dengan definisi hukum negara tersebut, yang bertujuan untuk membangun hubungan keluarga yang stabil dan berjangka panjang. Pelanggaran dapat mengakibatkan denda dan hukuman penjara.

Terlepas dari undang-undang ini, praktik ini terus berkembang dan memicu kemarahan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Para kritikus mempertanyakan moralitas eksploitasi perempuan rentan, yang sering kali berasal dari latar belakang miskin, yang melakukan praktik ini karena kebutuhan ekonomi.

Tren yang meresahkan ini telah banyak dibahas di media sosial, dan sebagian besar reaksi masyarakat bersifat kritis. Salah satu pengguna berkomentar, “Industri gelap pernikahan kontrak ini dapat meningkatkan pariwisata dan perekonomian lokal; itulah mengapa hal ini mungkin membuat pemerintah merasa tidak berdaya.”

Masalah ini baru-baru ini mendapatkan perhatian di platform media sosial, terutama Weibo, setelah media Tiongkok melaporkan fenomena tersebut. Reaksi masyarakat sangat kritis, dengan komentar yang menyoroti implikasi moral dari praktik tersebut.

Salah satu pengguna berkomentar, “Industri gelap pernikahan kontrak ini dapat meningkatkan pariwisata dan perekonomian lokal, itulah sebabnya hal ini mungkin membuat pemerintah merasa tidak berdaya.”

Yang lain menunjukkan perlunya pendidikan dan keterampilan untuk memberdayakan perempuan, yang menggambarkan situasi serupa di desa-desa miskin di Tiongkok.

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here