Dua warga negara Ukraina, seorang warga negara Rusia, dan seorang warga negara Indonesia ditangkap awal bulan ini karena menjalankan laboratorium narkoba gelap yang menurut polisi memproduksi ganja hidroponik, mephedrone, dan kokain dari sebuah vila di kawasan wisata trendi Canggu di Bali selatan.
Tersangka Ukraina, saudara kembar Ivan dan Mikhayla Volovod, telah memperoleh visa investor pada bulan September dengan menyamar sebagai agen properti. Mereka diyakini bertanggung jawab atas pembuatan obat-obatan tersebut sementara tersangka Rusia, Konstantin Krutz, bertanggung jawab atas pemasaran, kata polisi Indonesia pada tanggal 13 Mei.
“Untuk transaksi narkoba, mereka menggunakan aplikasi Telegram. Itu (alamat situs) ditempel di mana-mana, orang awam bisa lihat, dan mereka tidak tahu, ternyata itu kode untuk orang membeli (narkoba),” kata Wahyu Widada, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Nasional.
Jika terbukti bersalah, para tersangka dapat menghadapi hukuman minimal lima tahun penjara dan maksimal hukuman mati, serta denda hingga 10 miliar rupiah (US$622.000).
Operasi jaringan narkoba itu membuat marah banyak orang, termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, yang minggu lalu mengatakan pemerintah akan melarang wisatawan yang “bermasalah” untuk kembali.
“Orang-orang yang membuat kekacauan di negara kita, turis asing yang (menggunakan) narkoba atau (mempromosikan) perjudian daring atau menyebabkan kerusuhan, tidak boleh diizinkan masuk ke Indonesia lagi,” kata Luhut di Bali pada 14 Mei.
“Orang-orang akan merasa nyaman datang ke Indonesia jika mereka merasa nyaman, mereka terlindungi dari kejahatan seperti narkoba. Minggu depan, saya akan mengadakan pertemuan untuk menyusun aturan agar aturan tersebut dapat ditegakkan.”
Ia menambahkan, wisatawan bermasalah itu antara lain mereka yang menyalahgunakan izin, seperti izin tinggal terbatas atau visa investor, serta terlibat kasus narkoba.
Kantor Imigrasi Indonesia tahun lalu mendeportasi 340 warga negara asing dari Bali, naik dari 188 pada tahun 2022, karena menyalahgunakan izin tinggal, melebihi batas waktu, dan terlibat dalam kasus kriminal, menurut kantor hukum dan hak asasi manusia Bali.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan pada 13 Mei bahwa operasi laboratorium narkoba tersebut merupakan pelanggaran yang “tidak dapat ditoleransi” dan dapat merusak citra Indonesia sebagai tujuan wisata.
Penggerebekan narkoba ini telah memperburuk persepsi negatif terhadap wisatawan Rusia dan Ukraina di kalangan warga Indonesia, sehingga beberapa pihak menyerukan agar mereka dimasukkan dalam daftar hitam.
Debat hukuman mati
Kasus ini juga memperbarui perdebatan tentang hukuman mati di Indonesia, yang sudah memiliki salah satu hukuman terberat di dunia untuk pelanggaran narkoba.
Hingga Oktober tahun lalu, terdapat 509 narapidana hukuman mati di seluruh lembaga pemasyarakatan dan pusat penahanan di Indonesia, dengan pelaku tindak pidana narkoba menyumbang sekitar 69 persen, menurut data dari Institut Reformasi Peradilan Pidana yang berpusat di Jakarta.
Indonesia telah memiliki moratorium tidak resmi dalam melaksanakan hukuman mati menyusul reaksi keras internasional yang meluas atas beberapa eksekusi yang dilakukannya, dengan eksekusi terakhir terjadi pada tahun 2016.
Setelah penggerebekan laboratorium narkoba, beberapa komentator menyuarakan dukungan agar pengedar narkoba dieksekusi. Mereka termasuk Ni Luh Djelantik, senator terpilih dari Bali dan pengusaha yang dikenal karena mengungkap perilaku buruk wisatawan di pulau itu.
“Saya mendukung hukuman mati, saya mendukung hukuman mati,” katanya dalam video yang diunggah di akun Instagram miliknya pada hari Senin.
Pengguna Instagram @bule_bolang menulis dalam komentar pada video tersebut: “Orang-orang mengatakan hukuman mati itu salah, tetapi mereka perlu menyadari bahwa itu adalah pencegah! Hukuman itu memang dibuat sedemikian ekstrem sehingga bisa menghentikan Anda untuk melakukannya sejak awal. Setelah melihat dampak penyalahgunaan narkoba dalam skala besar … Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakannya.”
Aktivis anti-hukuman mati mengatakan hukum Indonesia yang keras tidak menghalangi para penyelundup. Pada tanggal 30 April, seorang turis Ukraina tertangkap menyelundupkan 200 gram kokain di bandara Bali. Minggu lalu, seorang pria Australia ditangkap karena diduga mengonsumsi dan mencoba menjual sabu, kata polisi Bali.
“Pemerintah selalu mengatakan hukuman mati punya efek jera, tapi itu tidak mungkin, tidak masuk akal, peredaran narkotika tetap ada karena (penegak hukum) menyasar orang yang salah,” kata Yosua Oktavian, koordinator penanganan kasus di Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, organisasi masyarakat sipil dalam kelompok advokasi Jaringan Menentang Hukuman Mati.
Di Indonesia, UU Narkotika sering menjerat orang-orang yang rentan, seperti “masyarakat miskin atau masyarakat yang tidak berpendidikan tinggi yang menjadi korban penipuan”, katanya.