Popularitas Calon Tidak Lagi Jadi Faktor Kunci, Karena Pimpinan Partai Punya Kewenangan Lebih Besar

Jakarta. Keputusan Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus untuk menurunkan ambang batas suara bagi partai politik untuk mengajukan calon gubernur dimaksudkan untuk mendorong partisipasi yang lebih luas, meningkatkan proses demokrasi. Ambang batas diturunkan dari 25 persen suara menjadi kisaran 6,5 hingga 10 persen, tergantung pada jumlah penduduk provinsi tersebut.

Namun, dalam kasus Jakarta, putusan baru tersebut menimbulkan konsekuensi yang tidak diharapkan, sehingga menimbulkan keraguan mengenai apakah putusan tersebut benar-benar memperluas partisipasi.

Meski unggul jauh dalam jajak pendapat, mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan mendapati dirinya tidak mendapat dukungan dari pimpinan partai, meski popularitasnya meningkat di kalangan pemilih.

“Keterpilihan bukan lagi faktor utama bagi para pemimpin partai ketika memilih kandidat; mereka sekarang memiliki kewenangan penuh untuk membuat keputusan sendiri,” kata Yohan Wahyu, peneliti utama di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kompas.

Apa yang Terjadi di Jakarta?
Sebelum putusan pengadilan, tidak ada satu pun partai di DPRD Jakarta yang memiliki cukup suara untuk memenuhi ambang batas 25 persen yang diperlukan untuk mencalonkan seorang calon gubernur. Partai-partai diharuskan membentuk koalisi untuk mengajukan calon.

Koalisi empat partai, yang telah berhasil mendukung pencalonan presiden Prabowo Subianto untuk pemilihan umum bulan Februari, memperluas kemitraan mereka ke Jakarta dengan mencalonkan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Koalisi tersebut kemudian berkembang hingga mencakup dua partai besar lainnya, bersama dengan sedikitnya lima partai kecil.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berbasis Islam pada awalnya berencana untuk mendukung Anies tetapi gagal mengumpulkan cukup banyak sekutu untuk memenuhi ambang batas yang disyaratkan, akhirnya bergabung dengan koalisi Ridwan Kamil.

Hal ini menjadikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai besar terakhir yang tidak memiliki calon, karena jumlah pesertanya juga tidak cukup untuk ikut pemilu sendirian berdasarkan aturan ambang batas sebelumnya.

Kemudian, pada tanggal 20 Agustus, lanskap politik berubah drastis. Mahkamah Konstitusi memerintahkan penurunan ambang batas suara, sehingga ambang batas Jakarta turun menjadi 7,5 persen karena jumlah penduduknya sekitar 10 juta jiwa.

Tiba-tiba, kedelapan partai besar itu memenuhi syarat untuk mengajukan calon, tetapi tujuh di antaranya sudah berkomitmen mendukung Ridwan. Anies menaruh harapannya pada PDI-P, tetapi dalam waktu 48 jam dari batas akhir pendaftaran, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memberikan tiket pemilihan gubernur kepada pengurus partai Pramono Anung.

Popularitas Calon Tidak Lagi Jadi Faktor Kunci, Karena Pimpinan Partai Punya Kewenangan Lebih Besar
Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kiri, berfoto bersama Pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ady Widjaja di kantor PDI-P Cabang Jakarta di Cakung, Jakarta Timur, Sabtu, 24 Agustus 2024. ( Antara Foto/Fakhri Hermansyah)

Pada tahun 2017, Anies memenangkan pemilihan putaran kedua melawan kandidat PDI-P dan gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, dalam persaingan yang diwarnai ketegangan sektarian. Penahanan Ahok setelah persidangan kasus penistaan ​​agama, yang sebagian besar dipicu oleh pendukung Anies, kemungkinan memengaruhi keputusan PDI-P untuk tidak mendukung Anies di Jakarta kali ini.

Kalau putusan itu dikeluarkan seminggu lebih awal, Anies tentu akan mengamankan pencalonan dari PKS.

Malam yang Kacau di Jawa Barat
Setelah kalah dalam pemilihan presiden dan kehilangan perwakilan signifikan di DPR, PDI-P membutuhkan kandidat terkemuka seperti Anies Baswedan untuk mendapatkan kembali dukungan politik.

Pada hari terakhir pendaftaran calon, para petinggi PDI-P cabang Jawa Barat mengumumkan bahwa Anies telah terpilih sebagai calon gubernur di provinsi dengan lebih dari 50 juta penduduk.

Namun, hanya dua jam menjelang batas waktu tengah malam, Anies menolak pencalonan tersebut. Dalam pernyataan melalui juru bicaranya, Anies menyebutkan bahwa permintaan publik terhadap kepemimpinannya tidak sekuat di Jawa Barat seperti di Jakarta, dan karenanya, ia menolak untuk mencalonkan diri.

Popularitas Calon Tidak Lagi Jadi Faktor Kunci, Karena Pimpinan Partai Punya Kewenangan Lebih Besar
Calon gubernur Ridwan Kamil, tengah, dan pasangannya Suswono tiba di Komisi Pemilihan Umum di Jakarta untuk mendaftarkan pencalonan mereka, Rabu, 28 Agustus 2024. (Foto B-Universe/Joanito De Saojoao)

Keputusan di menit-menit terakhir ini memaksa PDI-P untuk mencari pengganti dalam waktu dua jam yang sempit. Partai itu buru-buru mencalonkan mantan Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata, seorang tokoh yang relatif tidak dikenal di kancah nasional. Jeje dan pasangannya, Ronal Surapradja, mendaftarkan pencalonan mereka melalui konferensi video, karena keterbatasan waktu membuat mereka tidak dapat secara langsung datang ke kantor Komisi Pemilihan Umum di Bandung.

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memanfaatkan putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan calon mereka sendiri pada jam-jam terakhir sebelum batas waktu.

Empat partai besar lainnya telah mendukung mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebagai calon gubernur mereka sebelum putusan pengadilan tersebut berlaku.

Ketua PKS Ahmad Syaikhu dicalonkan sebagai calon partai, sementara Nasdem memilih Ilham Habibie, putra mendiang Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sebagai calon wakil presiden. Sementara itu, PKB mencalonkan kadernya sendiri, Acep Adang Ruhiyat dan Gitalis Dwi Natarina, sebagai pasangan gubernur.

Jawa Timur
Sebelum ambang batas diturunkan, mantan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa ditetapkan untuk pemilihan ulang tanpa pesaing dengan dukungan enam partai besar.

Namun, PKB dan PDI-P kesulitan untuk menuntaskan kandidat mereka karena batas waktu semakin dekat.

Putusan pengadilan tersebut semakin memperumit masalah, karena membubarkan koalisi potensial antara PDI-P dan PKB. PDI-P akhirnya mencalonkan Menteri Sosial Tri Rismaharini, sementara PKB memilih Luluk Nur Hamidah, yang mengakibatkan pemilihan gubernur Jawa Timur diikuti oleh perempuan.

Popularitas Calon Tidak Lagi Jadi Faktor Kunci, Karena Pimpinan Partai Punya Kewenangan Lebih Besar
Calon Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (kiri) dan pasangannya Emil Elestianto Dardak saat tiba di Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur, Surabaya, untuk mendaftarkan pencalonan mereka, Rabu, 28 Agustus 2024. (Foto: Antara/Rizal Hanafi)

Sementara putusan pengadilan tersebut mencegah skenario seorang kandidat tunggal maju melawan suara kosong dengan memudahkan partai untuk mengajukan pesaing mereka sendiri, putusan itu juga menempatkan kekuasaan yang signifikan di tangan para pemimpin partai, yang memungkinkan mereka untuk memilih kandidat berdasarkan preferensi mereka sendiri daripada preferensi para pemilih.

“Kehendak rakyat telah dirusak oleh elit politik,” kata Saidiman Ahmad dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Tag: Kata Kunci:

Sumber