Tim yang dipilih dengan cermat biasanya berlatih selama berbulan-bulan sebelum upacara dengan gaya militer, sehingga mereka yang terpilih dan dikirim ke Jakarta dipandang sebagai siswa terbaik yang menjadi sumber kebanggaan bagi keluarga dan sekolah mereka. Namun, tahun ini, kebanggaan atas keberhasilan masuk tim ternoda oleh aturan baru yang dianggap sebagian orang sebagai “merusak keberagaman”.
Pengurus Besar Paskibraka Nasional (PPI) yang menjadi panitia pengibar bendera mengatakan, sebanyak 18 santri melepas jilbabnya saat mengikuti acara pelantikan bersama Widodo di Istana Negara, Jakarta, 13 Agustus lalu.
“Mengapa 'dilarang' saat pelantikan untuk mengenakan jilbab? Mengapa (para gadis) diseragamkan untuk tidak mengenakan jilbab? Bukankah ini merusak keberagaman itu sendiri?” tanya Gousta Feriza, ketua PPI, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada 14 Agustus.
Aturan jilbab juga berdampak pada perubahan personel di dalam tim: Maulia Permata Putri, siswi asal Sumatera Barat yang mengenakan jilbab, awalnya ditugaskan membawa nampan bendera di dalam regu sebelum ia digantikan oleh Livenia Evelyn Kurniawan asal Kalimantan Timur yang tidak mengenakan jilbab.
Pada 14 Agustus, Yudian Wahyudi, kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang membina Paskibraka sejak 2022, membantah tudingan pihaknya memaksa siswa melepas jilbab.
Seluruh pelajar regu pengibar bendera tahun ini sepakat untuk “sukarela” mengikuti ketentuan yang ditetapkan BPIP, termasuk mengenakan “pakaian dan sikap berseragam saat melaksanakan tugas negara”, kata Yudian kepada wartawan.
Tanggapan BPIP tersebut memicu kemarahan, sebagian pihak menyerukan agar Widodo memecat Yudian.
Gugatan terhadap Widodo dan BPIP telah diajukan oleh Badan Pengawasan, Pengendalian, dan Penegakan Hukum Indonesia, bersama dengan organisasi masyarakat Yayasan Megabintang, di pengadilan kota Solo, Jawa Tengah.
Mereka menuntut ganti rugi sebesar 200 juta rupiah (US$12.800) untuk “biaya pemulihan” anggota Paskibraka yang melepas jilbab mereka saat pelantikan. Mereka juga ingin agar Widodo menyiarkan permintaan maaf publik secara nasional, baik di televisi maupun daring, dan agar Widodo memecat Yudian sebagai kepala BPIP.
Akhirnya, BPIP mengalah pada aturannya dan sejumlah gadis dalam pasukan pengibar bendera mengenakan jilbab mereka selama upacara Hari Kemerdekaan berikutnya di Nusantara dan Jakarta.
Dilema jilbab
Rina Tiarawaty, seorang aktivis hak-hak perempuan yang berbasis di Jakarta, mengatakan dia “terpecah belah” mengenai isu ini karena banyak siswa di Indonesia dipaksa oleh sekolah mereka untuk mengenakan jilbab.
“Kita perlu bertanya kepada para santri, apakah mereka merasa lega dan nyaman ketika BPIP meminta mereka melepas jilbabnya,” kata Rina.
Tekanan teman sebaya
Laporan LSM tersebut menemukan bahwa perempuan Indonesia yang tidak mengenakan jilbab, atau yang tidak mengenakannya dengan cara yang dianggap pantas, menjadi sasaran perundungan, pelecehan, dan tekanan psikologis. Perundungan lebih terasa bagi mereka yang telah meninggalkan jilbab mereka setelah bertahun-tahun mengenakannya, seperti yang terlihat baru-baru ini dalam kasus Camillia Laetitia Azzahra, putri Ridwan Kamil, mantan gubernur Jawa Barat dan seorang kandidat dalam pemilihan gubernur Jakarta tahun ini.
“Ketika saya melepas jilbab saya, orang-orang berkata kepada saya 'ayahmu yang malang akan menanggung dosa-dosamu, suamimu yang malang akan menanggung dosa-dosamu',” kata Merida, yang berbicara kepada This Week in Asia dengan menggunakan nama samaran karena sensitivitas isu tersebut.
Ibu satu anak berusia 34 tahun itu dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat, yang mengharuskannya mengenakan jilbab sejak berusia delapan tahun, katanya. Di universitas, Merida mengambil jurusan filsafat, di mana seorang dosen mengharuskan mahasiswanya untuk “membedah ayat-ayat Islam berdasarkan keyakinan masing-masing”.
“Ternyata kita memiliki perspektif yang berbeda terhadap ayat yang sama, meskipun kita semua beragama Islam,” katanya.
“(Saya tahu) tafsir tentang (ayat) hijab itu berlapis-lapis juga. Tapi saya pertanyakan kenapa (aturan) itu dikeluarkan oleh laki-laki? Ini kan menyangkut tubuh perempuan. Perempuan akan merasakan panas karena memakai baju panjang, mereka akan merasakan betapa tidak nyamannya memakai baju panjang. abaya (baju panjang) saat mengendarai sepeda motor atau sepeda, atau berolahraga,” kata Merida yang tinggal di Depok.
Ia akhirnya memutuskan untuk melepas jilbabnya pada tahun 2017, dan setahun kemudian berganti agama untuk menikahi pacarnya yang beragama Kristen. Di Indonesia, pernikahan beda agama dilarang. Keputusan tersebut dikecam oleh keluarganya yang beragama Muslim.
“Ibu dan ayah saya tidak menyetujui keputusan saya. Ibu saya tidak pernah bangga kepada saya karena ia melihat saya sebagai seorang pecundang. Baru hari ini, ibu saya berkata, 'Saya mengalami masa-masa sulit ketika mengandung dan melahirkanmu, tetapi kamu menjadi seperti ini',” kata Merida.
Merida, yang pernah bekerja di sebuah LSM yang fokus pada hak asasi manusia, mengatakan “tekanan dari teman-teman untuk mengenakan jilbab di Indonesia sudah tertanam di masyarakat sejak usia dini”.
“Saat hamil, masyarakat mengharapkan Anda untuk segera mengenakan jilbab. Seorang suami baru bisa menjadi suami yang baik jika ia telah membimbing istrinya untuk mengenakan jilbab,” katanya.
Rina, aktivis hak-hak perempuan, mengatakan pelepasan jilbab merupakan “isu sensitif” di Indonesia karena banyak yang menafsirkannya sebagai tanda menurunnya jumlah umat Muslim di negara ini.
“Sayangnya, umat Islam di Indonesia masih sangat terpaku pada angka. Ketika ada yang mengatakan bahwa jilbab tidak wajib (dalam Islam), banyak umat Islam langsung khawatir bahwa kaum perempuan akan melepas jilbab mereka dan meninggalkan Islam,” katanya.