Menurut PwC, lanskap pelaporan keberlanjutan Indonesia menunjukkan kemajuan bertahap yang menjanjikan, dengan banyaknya bisnis yang merangkul inisiatif keberlanjutan dan pemerintah yang membuat peraturan baru untuk mempromosikan keberlanjutan.
Pembiayaan keberlanjutan di Indonesia mencapai lebih dari Rp913,15 triliun (US$56 miliar) pada akhir tahun 2020, dengan meningkatnya minat terhadap obligasi hijau, Yuliana Sudjonno, mitra dan pemimpin keberlanjutan di PwC Indonesia, mengatakan kepada The Jakarta Post dalam sebuah wawancara.
Hal ini menunjukkan meningkatnya minat terhadap investasi hijau, katanya, dengan konsumen menuntut lebih banyak transparansi, bank menawarkan produk keuangan berkelanjutan, dan pemodal ventura mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Dengan mengungkap metrik ESG, Yuliana menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia menunjukkan transparansi dan akuntabilitas, yang menjadi landasan bagi operasi yang berkelanjutan. Pendekatan ini membantu mengalokasikan sumber daya secara efisien dan menyelaraskan kinerja keuangan dengan tujuan keberlanjutan jangka panjang dan dampak sosial.
“Pelaporan ESG mencerminkan praktik terkini dan memandu perusahaan menuju model bisnis yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan,” katanya.
Penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan implementasi ESG yang baik sering kali mengungguli pesaingnya, seperti yang ditunjukkan oleh data historis dari NASDAQ OMX CRD Global Sustainability Index dan MSCI World ESG Leaders Index, yang menggambarkan manfaat finansial dari implementasi ESG yang kuat.
Selain tuntutan investor, Yuliana mengatakan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menjadikan praktik ESG lazim di Indonesia. Regulasi tersebut meliputi Peraturan OJK No. 51/2017 yang mewajibkan semua perusahaan tercatat di Indonesia untuk melaporkan keberlanjutan, yang menunjukkan dukungan politik yang kuat terhadap keuangan berkelanjutan, dan Surat Edaran OJK No. 16/2021 yang mengatur kriteria pengungkapan laporan keberlanjutan.
Terkait Kerangka Pelaporan ESG dan Peringkat ESG, Yuliana mengemukakan bahwa keduanya memainkan peran berbeda dalam membentuk keberlanjutan perusahaan. “Memahami perbedaan ini penting untuk keberlanjutan sejati,” katanya.
Kerangka Pelaporan ESG, seperti yang diterbitkan OJK dan Global Reporting Initiative (GRI), menyediakan pendekatan terstruktur bagi perusahaan untuk mengungkapkan upaya keberlanjutan mereka. Sebaliknya, ESG Ratings mengevaluasi dan memberi skor pada upaya ini, menawarkan analisis komparatif kinerja ESG perusahaan terhadap perusahaan sejenis.
Kerangka pelaporan merinci bagaimana dan apa yang dilakukan perusahaan untuk keberlanjutan, sementara Peringkat ESG menilai efektivitas dan dampak, memberikan metrik kepada investor untuk mengukur kematangan dan komitmen ESG. Yuliana menyoroti bahwa pelaporan yang kuat mendukung peringkat yang kredibel, yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan dan menarik investor.
Perbedaan ini penting bagi perusahaan-perusahaan Indonesia, yang memandu mereka dalam mendokumentasikan perjalanan keberlanjutan mereka dan memahami bagaimana upaya-upaya ini dipersepsikan dan dinilai. “Seiring dengan semakin matangnya praktik ESG perusahaan-perusahaan Indonesia, mengenali interaksi antara pelaporan dan pemeringkatan akan menjadi kunci untuk memaksimalkan dampak keberlanjutan dan nilai pasar,” katanya.
Yuliana mengemukakan tantangan yang dihadapi perusahaan dalam menyeimbangkan persyaratan berbagai kerangka kerja ESG sembari berupaya memperoleh peringkat yang baik. Hal ini khususnya rumit bagi perusahaan karena kerangka kerja dan lembaga pemeringkat yang berbeda berfokus pada aspek keberlanjutan yang berbeda, yang mengharuskan perusahaan untuk memenuhi harapan pemangku kepentingan yang beragam.
“Hal ini dapat mengakibatkan perusahaan, baik UKM (usaha kecil dan menengah) maupun korporasi besar, berupaya keras untuk memastikan upaya keberlanjutan mereka yang sesungguhnya tercermin secara akurat dalam peringkat ESG mereka,” katanya. Mengatasi tantangan ini memerlukan pendekatan strategis, dimulai dengan menyelaraskan inisiatif keberlanjutan dengan peraturan nasional dan standar ESG yang diakui secara global, memastikan konsistensi dan keterbandingan di seluruh laporan.
Yuliana menekankan pentingnya proses, peran, tanggung jawab, dan teknologi yang jelas untuk pengelolaan data yang efisien guna menyederhanakan pelaporan. Selain itu, kesadaran dan kompetensi dalam organisasi, bersama dengan keterlibatan proaktif dengan para pemangku kepentingan, sangat penting untuk menyempurnakan strategi ESG.
“Di PwC, kami percaya bahwa menekankan transparansi dan komitmen terhadap peningkatan berkelanjutan dalam praktik keberlanjutan akan meningkatkan kualitas pelaporan ESG dan berdampak positif pada peringkat ESG.”
Pada bulan Juli 2023, laporan PwC Sustainability Counts mencatat bahwa banyak negara Asia dan ASEAN yang menjadikan IFRS ISSB wajib, dan Singapura serta Hong Kong mewajibkan pengungkapan yang mengutamakan iklim pada tahun 2025.
Yuliana menekankan pentingnya perusahaan-perusahaan Indonesia untuk segera menyesuaikan diri dengan standar IFRS ISSB S1 dan S2 demi transisi yang lebih lancar dan menghindari masalah kepatuhan. Penerapan lebih awal menawarkan keunggulan kompetitif dan pengelolaan data keberlanjutan yang lebih baik.
Laporan PwC menunjukkan bahwa penerapan ISSB akan meningkatkan konsistensi dan keterbandingan dalam pelaporan keberlanjutan, yang akan menguntungkan para pemangku kepentingan dan mendukung upaya keberlanjutan global. Sikap proaktif kawasan Asia dan ASEAN menjadi model bagi kawasan lain.
Sebagai respons, pemerintah Indonesia memperkenalkan Uji Stres Risiko Iklim bagi Bank pada tahun 2023 melalui OJK, yang sejalan dengan tren pengungkapan iklim global dan mempersiapkan adopsi IFRS ISSB. Yuliana, anggota Dewan Standar Keberlanjutan di Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), terlibat dalam inisiatif ini.
Survei CEO PwC mengungkap wawasan penting: Lebih dari 40 persen CEO global meyakini bahwa kemampuan beradaptasi sangat penting untuk kelangsungan hidup bisnis, dan mengidentifikasi hambatan terhadap perubahan sebagai ancaman utama yang dihadapi organisasi mereka dalam dekade berikutnya.
“Dalam lanskap yang berubah dengan cepat saat ini, perusahaan yang tidak mengadopsi prinsip-prinsip ESG berisiko kehilangan relevansinya. Mengadopsi ESG tidak hanya bermanfaat tetapi juga penting untuk kesuksesan dan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan,” tegas Yuliana.
“Para pemimpin harus memahami sepenuhnya risiko dan peluang yang melekat dalam ESG, mengintegrasikan keberlanjutan secara strategis ke dalam model bisnis mereka. Meminta pertanggungjawaban para pemimpin dan terus memantau kemajuan ESG adalah kuncinya. Ingat, ESG adalah lari maraton, bukan lari cepat. ESG membutuhkan upaya berkelanjutan, bukan perbaikan cepat.”