17 Juli 2024
JAKARTA – Pemerintah telah mengirimkan sinyal yang beragam mengenai rencana pembatasan penjualan bahan bakar bersubsidi mulai 17 Agustus, karena pemerintah tengah berupaya mengatasi polusi udara di Jakarta sambil berharap dapat menghemat triliunan rupiah dalam belanja subsidi.
Para ahli meyakini langkah tersebut, yang saat ini masih dalam pembahasan, dapat memicu inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat, sehingga berisiko mengguncang perekonomian.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pertama kali mengungkapkan rencana tersebut pada 9 Juli di akun Instagram miliknya, dengan mengatakan bahwa pemerintah akan menyediakan bahan bakar bersubsidi hanya bagi pelanggan yang memenuhi syarat, dengan alasan hal itu dapat membantu meringankan anggaran tahun ini di tengah menurunnya pendapatan.
Pemerintah juga akan memastikan bahwa bahan bakar yang dijual di Jakarta memenuhi standar emisi Euro 4 yang mengandung tidak lebih dari 50 bagian per juta (ppm) sulfur, dari sekitar 500 ppm saat ini.
Pemerintah telah mempertimbangkan pembatasan pembelian bahan bakar bersubsidi sejak tahun 2022 karena subsidi bahan bakar melampaui alokasi anggaran di tengah lonjakan harga minyak dan melemahnya nilai tukar.
Akan tetapi, kemudian pemerintah menunda rencana tersebut karena khawatir daya beli masyarakat akan terbatas, terutama setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar bersubsidi pada tahun 2022, yang sudah tidak berubah selama bertahun-tahun, guna mengendalikan subsidi yang terus membengkak.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kepada wartawan pada 11 Juli bahwa pemerintah belum mengambil keputusan terkait pembatasan tersebut dan menekankan bahwa pembahasan masih berlangsung.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan bahwa pemerintah masih menggodok spesifikasi kendaraan apa saja yang masih bisa membeli bahan bakar bersubsidi, namun memastikan tidak ada rencana untuk melarangnya pada pertengahan Agustus mendatang.
Juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agus Cahyono Adi menegaskan, pemerintah tengah menggodok program percontohan penyaluran bahan bakar solar rendah sulfur di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Tanah Air yang rencananya akan dimulai pada 17 Agustus mendatang.
Bahan bakar ini ditujukan bagi masyarakat yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi bahan bakar dan harganya akan lebih mahal. Rencana ini juga akan diperluas ke produk bensin di masa mendatang, karena pemerintah memiliki rencana jangka panjang untuk menghentikan penggunaan bahan bakar Pertalite yang kotor dan bersubsidi.
Namun, Menteri Arifin mengakui bahwa memproduksi bahan bakar dengan kadar sulfur yang jauh lebih rendah bisa menimbulkan biaya tambahan dan pemerintah perlu melihat kesiapan kilangnya.
Eddy Soeparno, wakil ketua Komisi VII DPR yang membidangi kebijakan energi dan anggota tim kampanye presiden terpilih Prabowo Subianto, menekankan urgensi pembatasan subsidi bahan bakar agar lebih tepat sasaran.
“Ini adalah keharusan, bukan pilihan. Sekitar 80 persen subsidi bahan bakar, atau sekitar Rp 130 triliun (US$ 8,03 miliar), digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak. Bayangkan penghematannya,” kata Eddy kepada The Jakarta Post pada hari Jumat.
Mencegah guncangan ganda
Abra Talattov, kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan di Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), mengatakan bahwa sebagian besar subsidi bahan bakar diberikan kepada individu berpenghasilan tinggi.
Simulasi yang dilakukan INDEF menunjukkan, 74 persen dari total subsidi BBM, sekitar Rp 200 triliun, diberikan kepada 60 persen kelompok pendapatan teratas.
Pemerintah telah memproyeksikan defisit fiskal negara akan mencapai 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini, hanya sedikit di bawah batas maksimum 3 persen dari PDB yang diizinkan oleh undang-undang keuangan negara tahun 2003, dengan alasan peningkatan subsidi dan belanja bantuan sosial.
Abra mengatakan, defisit yang mendekati batas maksimal dapat membatasi ruang fiskal Indonesia dalam menghadapi guncangan eksternal.
“Saya kira pernyataan (Luhut) itu sebagai “dorongan” kepada Presiden Joko (Jokowi) Widodo agar segera mengambil keputusan, supaya tidak menjadi warisan buruk bagi pemerintahan mendatang,” kata Abra kepada Post, Sabtu.
Namun, pembatasan penjualan bahan bakar bersubsidi dapat berisiko memicu lonjakan inflasi, yang akan menambah beban inflasi pangan jangka panjang, katanya, dan ini dapat menyerupai “guncangan ganda” bagi perekonomian.
Ia menyarankan agar pemerintah memberikan masa transisi yang jelas dan mengevaluasi dampak yang ditimbulkannya.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pembatasan tersebut diperkirakan akan berdampak pada daya beli dan menekan inflasi, terutama dari sektor transportasi. Namun, hal itu bergantung pada skema yang digunakan pemerintah.
“Pemerintah perlu menjelaskan skema dan potensi dampaknya jika pembatasan diterapkan pada bulan Agustus, serta sumber data yang dijadikan dasar,” kata Yusuf kepada Post, Senin.