Sektor minyak sawit Indonesia mengkhawatirkan biaya dan keamanan setelah penundaan undang-undang deforestasi Uni Eropa
Itu Uni EropaKeputusan pemerintah untuk menunda penerapan undang-undang deforestasi telah menimbulkan reaksi beragam Indonesiaprodusen minyak sawit terbesar di dunia. Beberapa petani menyatakan kekhawatiran bahwa biaya kepatuhan akan meningkat karena penundaan tersebut, sementara yang lain melihatnya sebagai peluang untuk mengangkat isu-isu penting, seperti keamanan nasional.

Peraturan Deforestasi UE (EUDR) yang semula ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 30 Desember, mewajibkan komoditas seperti minyak sawit, kayu, kedelai, kopi, dan sapi yang dijual di pasar UE tidak boleh berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau terdegradasi setelah tanggal 31 Desember 2020.

Rabu lalu, Komisi Eropa mengusulkan penundaan pemberlakuan peraturan tersebut hingga 30 Desember 2025, untuk “memberi pihak-pihak terkait waktu tambahan untuk bersiap”, sambil menunggu persetujuan dari Parlemen dan Dewan Eropa.

Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, mengatakan penundaan tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh tekanan dari Indonesia, Amerika Serikat, Jerman, dan Organisasi Perdagangan Dunia.

“Bagi Indonesia, yang penting adalah implementasi kebijakan tersebut, bukan hanya ditunda,” ujarnya kepada wartawan, Kamis.

Minyak sawit dimuat ke dalam truk dari kapal tanker yang berlabuh di pelabuhan di Kalimantan Timur, Indonesia. Foto: Bloomberg
Minyak sawit dimuat ke dalam truk dari kapal tanker yang berlabuh di pelabuhan di Kalimantan Timur, Indonesia. Foto: Bloomberg

Menteri menyoroti kekhawatiran tentang permintaan UE akan data geolokasi rinci pada lahan pertanian. Dia memperingatkan bahwa akses asing terhadap data tersebut dapat menimbulkan risiko keamanan.

Sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here